Saturday, April 27, 2013

To Hope More


5th Sunday of Easter
April 8, 2013
John 13:31-33; 34-35

“…all will know that you are my disciples, if you have love for one another (John 13:35)."
 
Few days ago, I engaged myself in a discussion over the Facebook. The topics were stretching from the necessity of religion to some scandals that rocked the Church. Standing on the other side of the ring, representing Christianity, I was tempted to launch a frontal attack. Yet, I might turn the discussion into a word war. Then, instead bridging the river of differences, I might build up an ever-taller separation wall. Thus, maintaining the attitude of listening, I dig out some grain of truth. Eventually, I come up with this simple conclusion: ‘It is true that both the good and not so good realities exist in our Church and the world. Now, it is up to us to see them in more optimistic light or view them in rather pessimistic way; to remain hopeful and repair the damages, or lose hope and toss everything to a garbage can.' 
  
Through years, I encounter some people who left the Church and even turn against her. They see no future in the Church because the Church herself has no future. Definitely we cannot simply blame them for upholding a gloomy perspective. Part and parcel of the cause lies on us, Christians! Some of us fail to become genuine Christians, and unfortunately, some other people choose to zoom in on these failures. There are hypocrites, thieves, sexual perverts and other scandal-makers inside the Church. Mahatma Gandhi once famously said that he chose Christ but not the Christians! His words point to the reality that Jesus taught love, but the some British Christians exploited India.

Today’s Gospel is familiarly known as the farewell discourse. Jesus made clear his will to his disciples before He left His earthly life. When Jesus reminded us that we need to be recognized as His disciples by loving others, Jesus passed a fundamental law. Graver than the law of gravity! Other people see us, our attitudes, and from us, they come a conclusion what kind of God we have. We project the image of our God since we were created in His image. Especially for us, religious and clergy, people all the more want to know God through the reflections of our conducts. Sadly, some priests fall into sexual-related issues. Then, some people find no Christ in Christians.

I believe, however, it is not the end. Today’s Gospel should re-energize us in following Christ. All of us fall short in various aspects, but we are called not to lose hope and rise anew. Church is indeed a congregation of sinners, but remember that a saint is once a sinner. The only thing is they do not lose hope in God’s mercy. Pope Francis starts his pontificate with a message that Church is not simply a social organization, but it is a Christ-centered and Spirit-inspired people of God.  In this new era of evangelization, I think, though very important, it is not enough to understand the basic dogmas of our faith. We are challenged to make ‘He’ whom we believe, a shining reality in our midst, which sometimes is pessimistically dark. We need to love one another in a very concrete and radical way; including to love those Christians who lost their hope and even people who now stand against us.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Menjadi Murid-Nya


Minggu Paskah kelima
28 April 2013
Yohanes 13:31-33; 34-35

“…semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi (Yoh 13:15).”
 
Beberapa waktu lalu, saya terlibat dalam sebuah diskusi di Facebook. Topik-topik yang kita berbincangkan antara lain tentang beberapa skandal yang mengguncang Gereja. Sebagai wakil Gereja, tentunya saya tergoda untuk membela Gereja sehabis-habisnya dan menyerang balik. Namun, saya sadar bahwa diskusi yang menarik tersebut dapat berubah menjadi perang kata-kata. Bukannya menjembatani perbedaan, saya justru membangun sebuah dinding pemisah yang lebih tinggi. Dengan demikian, saya mencoba mendengarkan dan menggali beberapa point kebenaran. Akhirnya, saya dapat mengambil sebuah kesimpulan: ‘Memang benar bahwa ada realitas yang baik dan juga kurang begitu baik di dalam Gereja dan dunia ini. Sekarang, terserah kepada kita untuk melihat ini melalui perspectif yang lebih optimis atau melihat mereka dalam mata yang pesimis; untuk tetap berharap dan memperbaiki keadaan, atau kehilangan harapan dan melemparkan semuanya ke tong sampah.

Beberapa tahun ini, saya bertemu beberapa orang yang meninggalkan Gereja dan bahkan berbalik menyerangnya. Mereka tidak bisa melihat masa depan mereka dalam Gereja karena Gereja sendiri tidak memiliki masa depan. Kita tidak bisa hanya menyalahkan mereka karena memiliki perspektif suram terhadap Gereja. Bagian dari penyebabnya terletak pada diri kita, orang-orang yang menyebut diri murid-murid Kristus! Beberapa dari kita gagal untuk menjadi orang Kristiani sejati, dan sayangnya, beberapa orang lain memilih untuk focus pada kegagalan tersebut. Benar, ada orang-orang munafik, koruptor, pelaku pelecehan seksual dan skandal lainnya di dalam Gereja. Mahatma Gandhi pernah mengatakan bahwa ia memilih Kristus, tetapi bukan orang Kristiani! Kata-katanya menunjukkan kenyataan bahwa Yesus mengajarkan kasih, tetapi beberapa orang Inggris, yang mengaku sebagai pengikut Yesus, mengeksploitasi India.

Injil hari ini akrab dikenal sebagai ‘amanat perpisahan’. Yesus membuat jelas kehendaknya kepada murid-murid-Nya sebelum Ia meninggalkan kehidupan duniawi-Nya. Ketika Yesus mengingatkan kita bahwa kita perlu untuk dikenal sebagai murid-murid-Nya dengan mengasihi sesama, Yesus mengesahkan sebuah ‘undang-undang dasar. Orang lain melihat kita, sikap kita, dan dari kita, mereka sampai pada kesimpulan Tuhan macam apa yang kita percaya. Kita memproyeksikan citra Allah kita karena kita diciptakan menurut citra-Nya. Terutama bagi kami, kaum rohaniawan, orang-orang lebih ingin mengenal Allah melalui refleksi perbuatan kami. Sayangnya, beberapa dari kita gagal, dan bahkan sejumlah imam jatuh ke dalam skandal seksual. Di dalam situasi yang menyedihkan ini, beberapa orang tidak menemukan Kristus dalam para murid-Nya.
 
Saya percaya, bagaimanapun, ini bukanlah akhir dari segalanya. Injil hari ini memberi semagat baru dalam mengikuti Kristus. Kita semua pernah gagal dalam berbagai aspek kehidupan, tetapi kita dipanggil untuk tidak kehilangan harapan dan bangkit lagi. Gereja memang jemaat yang terdiri dari orang-orang berdosa, tapi ingat bahwa orang kudus juga dulunya adalah pendosa. Satu-satunya hal yang para kudus miliki adalah tidak kehilangan harapan pada rahmat Tuhan. Paus Franciskus memulai masa kepausannya dengan pesan bahwa Gereja bukan hanya organisasi sosial, tetapi itu adalah umat Allah yang berpusat pada Kristus. Dalam era baru evangelisasi, saya pikir, meskipun sangat penting, untuk memahami ajaran dasar iman kita tidaklah cukup. Kita tertantang untuk membuat ‘Dia’ yang kita yakini, sebuah realitas yang bersinar di tengah-tengah dunia yang terkadang pesimistik. Kita harus mengasihi satu sama lain dalam cara yang sangat konkret dan radikal; termasuk untuk mengasihi orang-orang Kristiani yang kehilangan harapan dan bahkan orang-orang yang sekarang berdiri melawan kita.

Fr. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Saturday, April 13, 2013

God of the Ordinary


Third Sunday of Easter
John 21:1-19
April 14, 2013

Jesus said to them, ‘Come, have breakfast.’… they realized it was the Lord (John 21:12).
 
The best things in life are free and almost everywhere. Life, love, peace, friendship, and good health are something people most look for. Indeed, they are completely without any charge, but never get it wrong, they are not cheap. Their true values dawn upon us when these simple yet priceless things are taken away from us, and no amount of money can reclaim them. When we suffer from insomnia, we then realize how important sleep is. We may go shopping to malls around, and procure a cozy king-size bed, but no shop can afford you a tight and natural sleep. 

Unfortunately, because they are free of charge and oftentimes within our grasp, we prone to take them for granted. Oftentimes, they are richly abound and ordinary that we lose sight of their worth. Worse, we tag them as ‘usual’, ‘monotonous’ and even ‘boring’. Who among us truly appreciate our mother who everyday wakes up early morning to prepare a good breakfast for the entire family or value the regularity of our heartbeat? We fail to look after them and finally they slip pass through our hands. And, worst come to worst, we begin overlooking the most important reality in our life, God Himself, the Meaning of all meanings, simply because He is so ‘ordinary’. 

Fr. Roberto Reyes, a Filipino activist priest, recently marks that the sharp decline of church-goers is due to the ‘dull’ homilies and ‘dry’ liturgy. If Catholics move away from the Church because her liturgy is ‘tedious’, and thus, the ‘God’ the Church tries to offer must be a ‘boring’ one, Fr. Reyes would conclude. I do not totally agree with him, but there is a grain of truth in what Fr. Reyes expressed. We are so immersed in the mass media that every second spoon-feed us with instant and extremely sensual entertainments. Our generation constantly craves for something that amazes us and becomes so impatient with the ‘ordinary’ and ‘regular’. The looming danger is that we are easily irked by ‘ordinariness of life’ and especially by the ‘humble and slow-paced’ God.

The disciples in today’s Gospel carry us to another level of understanding God. They invite us to recognize God even in the simplicity and regularity of life. They encounter the Lord in a humble breakfast meal (John21:12)! The gesture of breaking the bread and sharing the fish are nothing but familiar, but the same gesture reveals the Risen Lord! The best things in life do not display any extraordinariness, but in their lowliness they unveil life and the source of life itself, God.

Be patient enough when the liturgy is rather ‘repetitious’ and the homilies turn to be the medicine for insomnia, since it does not mean God is absent. His grace just works and forms us in most humble ways, even beyond our consciousness. It will be presumptuous if you instantly change after reading this reflection, but I hope that my constant sending of reflections would contribute a little piece to that gradual transformation in God’s grace. Why don’t we pause a moment and count tremendous blessing we receive thorough free yet best things in life: our friends, family, educators, co-workers and even unknown farmers that planted the rice we eventually consume. God reveals Himself and shapes us through these ordinary and simple gestures, which turn to be the best things in life.
Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP           

Tuhan yang ‘Biasa-Biasa Saja’


Minggu Paskah Ketiga
Yohanes 21:1-19
April 14, 2013

Kata Yesus kepada mereka: “Marilah dan sarapanlah.” … mereka tahu, bahwa Ia adalah Tuhan
 (Yoh 21:12).

Hal-hal terbaik dalam hidup sejatinya gratis dan hampir ditemukan dimana-mana. Kehidupan, cinta-kasih, perdamaian, persahabatan, dan kesehatan adalah beberapa hal terbaik dalam hidup yang banyak orang inginkan. Sungguh, hal-hal ini tidak membutuhkan biaya apapun, tetapi jangan salah, bukan berarti hal-hal in murahan. Seringkali, nilai sejati dari hal-hal ini baru kita sadari ketika hal-hal sederhana ini diambil dari kita. Saat kita kehilangan kemampuan untuk ‘tidur’, kita mulai merasakan betapa tidak enaknya membuka mata lebih dari 24 jam. Kita mungkin bisa pergi berbelanja ke berbagai mal, dan membeli tempat tidur besar yang nyaman, tapi tidak ada toko yang mampu menjual ‘tidur’ yang nyenyak dan alami.

Sayangnya, karena hal-hal terbaik ini gratis dan seringkali berada dalam genggaman kita, kita cenderung untuk tidak memperdulikan hal-hal ini. Seringkali, kita melupakan hal-hal ini sangatlah berharga. Lebih buruk lagi, kita menyebut hal-hal ini sebagai hal yang ‘biasa, monoton dan bahkan membosankan. Siapa di antara kita yang benar-benar menghargai ibu kita yang bangun setiap pagi buta untuk mempersiapkan sarapan yang bergizi untuk seluruh keluarga? Siapa yang menghargai detak jantung kita yang sangat monoton dan hampir tak terdengar? Kita gagal untuk menjaga hal-hal terbaik dalam hidup kita dan akhirnya hal-hal ini terlepas dari tangan kita. Yang terburuk adalah kita mulai melupakan realitas yang paling penting dalam kehidupan kita yakni Tuhan sendiri, hanya karena Dia begitu biasa.

Rm. Roberto Reyes, seorang imam diosesan dan aktifis dari Manila, baru-baru ini berkomentar bahwa penurunan jumlah umat yang pergi ke gereja di Filipina adalah karena homili para romo cenderung membosankan dan liturgi kita kering. Rm. Reyes menyimpulkan bahwa jika umat Katolik menjauh dari Gereja, ini karena liturgi Gereja membosankan, dan umat lalu berkesimpulan bahwa ‘Allah yang Gereja coba tawarkan pasti juga ‘membosankan. Kita adalah generasi yang  begitu terhanyut dalam media massa yang setiap detik menyuap kita dengan hiburan-hiburan instan dan sangat sensual. Generasi ini menjadi selalu haus akan sesuatu yang menghibur dan menyenangkan, dan kita menjadi begitu tidak sabar dengan hal-hal yang ‘biasa dan ‘sederhana’. Kita bahkan tidak bisa lagi menghargai ‘kesederhanaan hidup dan bahkan melihat Allah di balik ‘kesahajaan hidup’.

Para murid dalam Injil hari ini membawa kita ke tingkat yang lebih dalam untuk memahami Tuhan. Mereka mengajak kita untuk melihat Allah bahkan dalam kesederhanaan dan rutinitas hidup. Mereka menemukan Tuhan dalam sarapan pagi yang sederhana (Yoh 21:12)! Gerakan memecahkan roti dan membagikan ikan adalah sangat ‘biasa’, tetapi gerakan yang sama mengungkapkan Tuhan yang telah Bangkit. Hal-hal terbaik dalam hidup tidak menampilkan sesuatu yang luar biasa, tetapi dalam kesahajaan, hal-hal ini mengungkap kehidupan dan sumber kehidupan itu sendiri, yakni Tuhan.

Bersabarlah jika liturgi Gereja cenderung ‘berulang-ulang dan homili berubah menjadi obat tidur, karena hal ini tidak berarti Tuhan kita juga ‘boring’. Rahmat-Nya sungguh bekerja dan membentuk kita dengan cara yang paling sederhana, bahkan di luar kesadaran kita. Saya juga tidak berasumsi bahwa anda akan berubah secara instan setalah membaca refleksi ini, tapi saya berharap untuk berpartisipasi dalam rahmat Tuhan yang membentuk kita secara perlahan-lahan. Cobalah kita berhenti sejenak dan menghitung berkat yang luar biasa yang kita terima dalam hidup: sahabat-sahabat kita, keluarga, rekan kerja, para pendidik dan bahkan petani yang kita tidak kenal tapi menanam padi, sumber makanan kita. Allah mengungkapkan diri-Nya dan  membentuk kita melalui hal-hal biasa dan sederhana, yang sejatinya adalah hal-hal terbaik dalam hidup.

Fr. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Monday, April 1, 2013

Easter Joy


Easter Sunday
John 20:1-9
March 31, 2013

“…and he saw and believed (John 20:8).”

 I have written a lot about sufferings and the meanings of hope in the midst of these human tragedies. Yet, not to lose hope is not really the terminal point of being a Christian. Blaise Pascal, a French Catholic philosopher, was once overheard that ‘Nobody is as happy as a real Christian.’ He said the truth, but how many of us, in practice, possess the happiness of which Pascal speaks?  More closer to our reality is the words of German Existentialist philosopher, Friedrich Nietzsche – a foremost critic of Christianity – that ‘Christ’s disciples should look more redeemed!’

True enough! We are redeemed people and it is the source of greatest and overflowing joy. Jesus indeed dies to redeem us from our sins and death, but what assures us that He truly redeems us, is His Resurrection. In the words of Antonio Cardinal Tagle, Archbishop of Manila, ‘we are Easter People!’ If the climax of Easter Triduum is Easter Sunday, and this Holy Sunday is all about Christ’s Resurrection, then joy is indeed the summit of our Christian characters. St. Thomas Aquinas once mentioned that ‘Joy is the noblest human act.’

Unfortunately, some of us do not manifest this Christian joy. Even, other complain precisely for being Christians! Some just sleep during the homily of the priest, and make a Church’s liturgy a good lullaby. In some countries where Christians are minority, being Christian sometimes is considered as a curse rather than a blessing. People with Christian name are discriminated if not persecuted. Yet, where the Christians are the dominant group, we turn to be perpetrators of these injustice and harassment. After all, how we can be really happy if human world is so broken and full of sufferings?
We might miss the entire point if we simply associate the joy of the redeemed with mere pleasant emotions or good feelings. It does not mean we are going to laugh out loud during the funeral and say to every one, ‘Hi, we are Christians, we should be happy all the time!’ Neither does it flow from alcohol, illegal drugs and illicit sexual acts. Christian joy has to be more substantial and deeper. 

Let us see today’s Gospel to have a glimpse of this joy. When the disciples found the tomb was empty, it was nothing but natural for them to be confused and greatly saddened. Where is the Lord? Who dared to take His Body? Peter looked at the tomb in confusion and went home puzzled. Mary Magdalene remained, yet she wept bitterly. Only the beloved disciple saw the bare sepulcher, and he believed. John gazed the emptiness, but he did not simply perceive nothingness. He saw beyond and discovered a meaning. The Easter Sunday begins with empty burial place, and indeed our faith in Resurrected Jesus commences in this very emptiness of the tomb! 

Our joy is not about feeling ‘great’ and ‘good’, but ours springs from God’s grace by which we are able to see meaning in our lives, and even in the emptiness of life itself. To remain faithful and hopeful in the bitterness of lives is indeed a finest quality of Christian, but to be able to unearth the meanings behind those events brings us to another decimal level of being Christian. Allow me to end this reflection to tell the story of Evelyn.

In 2006, after Zimbabwe president, Robert Mugabe, won the election, he decreed operation Murambatsvina, “the cleaning out of the rubbish”. He ordered the demolition of the houses of those people who refused to vote for him during the election. More than 700,000 people watched their home bulldozed. They became refugees in their homeland and begun their life again out of the rubbles of their home. At the heart of this place of refuge, was a small plastic tent, called ‘the young Generation pre-school’. This was a home of a young woman called Evelyn, and she used it as a school in the day. There were around a dozen of her students under the age of eight, nearly all HIV-positive and with TB. Sometimes there was food to eat, but usually, there was none. Yet, Evelyn never gave up taking care of the children and even the children sang welcome songs happily every time guests would visit them. Fr. Timothy Radcliffe, OP once visited her and seeing her condition, he asked her why she did that. She just had one simple reason that she loved the children so much and indeed found meaning and joy in what she was doing.  [1]
            Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP


[1] Timothy Radcliffe, Why Go to Church?, p. 115.

Suka-Cita Paskah


Minggu Paskah
Yohanes 20:1-9
31 Maret 2013
  
"...dia melihat dan percaya (Yohanes 20:8)."

Banyak telah saya tulis tentang penderitaan dan makna dari harapan di tengah-tengah penderitaan manusia. Namun, ‘berharap’ bukanlah benar-benar titik terminal menjadi seorang Kristiani. Blaise Pascal, seorang filsuf Katolik dari Prancis, pernah berkomentar bahwa ‘Tidak ada yang melebihi kegembiraan orang Kristiani sejati.” Sungguh benar! Tapi, berapa banyak dari kita, dalam kenyataan, memiliki kebahagiaan yang Pascal bicarakan? Lebih dekat dengan realitas kita adalah komentar dari filsuf eksistensialis Jerman, Friedrich Nietzsche – seorang kritikus terhadap Gereja – Menurutnya ‘Murid-murid Kristus harus lebih terlihat sebagai orang tertebus!’
 
Benar adanya! Kita telah ditebus dan ini adalah sumber sukacita terbesar dalam hidup kita. Yesus memang telah wafat untuk menebus kita dari dosa-dosa dan kematian, tapi apa sungguh meyakinkan kita bahwa Dia benar-benar menebus kita adalah Kebangkitan-Nya. Dalam kata-kata Kardinal Luis Antonio Tagle, Uskup Agung Manila, “Kita adalah Easter People!” Jika klimaks dari Tri Hari Suci adalah Minggu Paskah, dan Minggu Paskah adalah tentang kebangkitan Kristus, maka sukacita memang sungguh menjadi karakter kita. Oleh karena ini, St Thomas Aquino pernah berkomentar bahwa ‘Joy is the noblest human act.’

Sayangnya, sebagian dari kita tidak menampakan sukacita Paskah ini. Bahkan, yang lain mengeluh tepatnya karena mereka adalah seorang Kristiani! Beberapa dari kita hanya tidur selama imam berkhotbah, dan membuat liturgi Gereja seperti lagu pengiring tidur. Di beberapa negara di mana umat Kristiani merupakan minoritas, menjadi Kristiani kadang-kadang dianggap sebagai kutukan dan bukan berkat. Orang dengan nama Kristiani didiskriminasi dan bahkan dianiaya. Namun, di mana orang-orang Kristiani adalah kelompok yang dominan, kita beralih menjadi pelaku dari ketidakadilan dan korupsi. Akhirnya, bagaimana kita bisa benar-benar bahagia dan bersukacita jika dunia kita begitu rusak dan penuh penderitaan?

Kita akan kehilangan seluruh ini makna refleksi ini jika kita hanya sekedar mengaitkan sukacita umat tertebus dengan emosi yang baik atau perasaan yang menyenangkan. Ini tidak berarti kita akan tertawa terbahak-bahak saat ritual pemakaman seorang anggota keluarga dan berkata kepada setiap orang, ‘Hi, kita adalah umat Kristiani, kita harusnya senang sepanjang waktu!’ Kebahagian ini juga tidak mengalir dari alkohol, narkoba dan tindakan seksual yang terlarang. Sukacita Kristiani adalah sesuatu yang lebih substansial dan lebih dalam.

Mari kita lihat Injil hari ini untuk melihat lebih dalam kebahagian umat Kristiani. Ketika murid-murid menemukan makam yang kosong, sangatlah alami bagi mereka untuk menjadi bingung dan sangat sedih. Di manakah Tuhan? Siapa yang berani untuk mengambil Tubuh-Nya? Petrus menatap makam dalam kebingungan dan pulang kembali, tak tahu harus berbuat apa. Maria Magdalena tetap tinggal, namun dia hanya bisa menangis. Hanya murid yang dikasihi Yesus melihat makam yang kosong, dan ia percaya. Yohanes menatap kekosongan, tapi ia tidak hanya merasakan kehampaan. Dia melihat ke dalam kekosongan makam dan menemukan makna. Hari Minggu Paskah dimulai dari tempat pemakaman yang kosong, dan sungguh iman kita kepada Yesus yang bangkit dimulai dalam kekosongan yang makam ini!

Sukacita kita bukanlah tentang perasaan ‘baik’ atau ‘nyaman’, tetapi sukacita ini bersumber  dari rahmat Allah yang memampukan kita untuk melihat makna kehidupan kita, dan bahkan dalam kekosongan hidup itu sendiri. Untuk tetap setia dan penuh harapan dalam kepahitan hidup memang kualitas terbaik dari umat Kristiani, tetapi untuk dapat menggali makna di balik peristiwa-peristiwa ini akan membawa kita ke tingkat lain sebagai seorang Kristiani. 

Ini adalah sukacita seorang istri yang bisa melihat makna kesetiaan terhadap janji pernikahannya walaupun berbagai kepahitan kehidupan berkeluarga. Ini adalah kebahagian seorang guru yang melihat murid-muridnya berhasil dalam hidup, walaupun dia tetap hidup pas-pasan. Ini kegembiraan seorang imam yang memberikan yang terbaik bagi umatnya, walaupun banyak kesulitan dan cercaan yang ia harus tanggung.

Fr. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP