Monday, May 27, 2013

To Be a Little Trinity


Trinity Sunday
John 16:12-15
May 26, 2013

The distinctive mark of being Christian is Trinity. We share the claim of monotheism with other religions, yet our belief in one God in three divine persons enables us to stand unique among others. Doubtless our God is one, yet the same doubtless we give to three persons in this one God. The Father is different from the Son and the Holy Spirit. The Son is also totally unique. And, the Holy Spirit definitely maintains His personal identity. Yet, they remain always one! How is this possible?!
Relax! I spent an entire semester to understand the Trinity and not even a dot I could mark in my mind. This is the core of our faith, yet it is the most puzzling if not intriguing teaching of the Church. Why did God choose to reveal this truth?
Well, since God cannot create useless things, this must be necessary. Necessary for what? Since, it is related to our faith, so it is necessary for salvation. Next question: how concretely our belief in Trinity can save us then? Here is the missing link: that we are created in God's image and likeness.
Being made in God's image and likeness means we are called to be godly and destined to share the final beatitude with Him. But, who is our God? He is Trinity. Thus, more than just Godly, we are also called to be Trinitarian! We are fundamentally invited to reflect this perfect harmony of perfect diversity on earth as it is in heaven.
We are born and grow to be unique! I am male, Indonesian, Roman Catholic, Dominican, firstborn, student of Theology in Manila and more. How about you? Just yesterday, in my flight from Pontianak to Jakarta, I sat beside a French black man who spoke Indonesian well! We are different and we are many! But, don't worry. This diversity is never intended to be a source of conflict and enmity. It is perfectly mirrored God!
Yet, difference is only the beginning. We are also to finish the job.  As three persons are living as a community of perfect love, we are to make our differences a harmony of love. This is cute in theory, but in reality, it is a radical choice to love the diversity, to destroy the walls of hatred, to clear out the deep-seated misconceptions.
To be Trinitarian means to dare to sincerely talk with the majority who discriminated our group. To be Trinitarian means to lower our position to the level people we consider lowly and speak as equal. Yes, it is so hard! Yet, if we believe in Trinity, we need to meet God's expectation in us: to be a little trinity on earth.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP




 

Sunday, May 26, 2013

Menjadi Trinitas-Trinitas Kecil


Hari Raya Tritunggal Mahakudus
Yohanes 16: 12-15
26 Mei 2013

Kekhasan kita sebagai seorang Kristiani adalah keyakinan pada Allah Tritunggal Mahakudus. Kita berbagi klaim monoteisme dengan agama-agama lain, namun keyakinan kita pada satu Tuhan dengan tiga pribadi ini memungkinkan kita untuk menjadi unik diantara yang lain. Tanpa ragu, Allah kita adalah satu, namun tanpa ragu juga kita berikan kepada tiga pribadi di dalam satu Allah kita. Bapa berbeda dari Putra dan Roh Kudus. Sang Putra ini juga benar-benar unik dari yang lain. Dan, Roh Kudus pasti memiliki identitas pribadi-Nya sendiri berbeda dengan Bapa dan Putra. Namun, mereka tetap selalu satu! Bagaimana ini mungkin?!
Relax! Saya belajar selama satu semester untuk memahami Trinitas tetapi sedikit sekali yang saya pahami. Ini adalah inti dari iman kita, namun ajaran Gereja ini adalah yang paling sulit dimengerti. Mengapa Allah memilih untuk mewahyukan kebenaran semacam ini?
Jawabannya sangat mudah, segala hal yang diwahyukan Allah adalah diperlukan untuk kesalamatan kita. Pertanyaan berikutnya: bagaimana konkritnya keyakinan kita pada Trinitas bisa menyelamatkan kita? Kunci terletak pada hakekat kita yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
Diciptakan menurut citra dan rupa Allah berarti kita dipanggil untuk menjadi suci dan digariskan untuk berbagi kebahagiaan abadi dengan-Nya. Tapi, jika kita menelaah lebih dalam tentang Allah kita, kita tahu bahwa Dia tidak hanya Allah yang satu dan suci tetapi juga Allah Trinitas. Jadi, lebih dari sekedar suci, kita juga dipanggil untuk menjadi ‘trinitas-trinitas kecil'! Kita secara fundamental diundang untuk mencerminkan keselarasan sempurna akan keanekaragaman di bumi seperti halnya di sorga.
Kita lahir sebagai pribadi yang unik dan tumbuh menjadi lebih unik! Saya laki-laki, Indonesia, Katolik Roma, Dominikan, anak sulung, mahasiswa Teologi di Manila dan banyak lagi. Bagaimana dengan Anda? Bagaimana tentang orang-orang kita temui pagi ini? Dalam perjalanan saya dari Pontianak ke Jakarta kemarin, saya duduk disebelah orang Prancis yang berkulit hitam namun berbicara bahasa Indonesia dengan lancar. Kita berbeda dan kita banyak! Tapi, jangan khawatir. Keragaman tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi sumber konflik dan permusuhan. Hal ini sesungguhnya mencerminkan Tuhan kita yang Trinitas!
 Namun, perbedaan adalah hanya sebuah permulaan. Kita juga harus menyelesaikan pekerjaan yang selanjutnya. Seperti tiga pribadi ilahi hidup sebagai komunitas kasih yang sempurna, kita juga mendapat mandat ilahi untuk membuat perbedaan yang ada sebagai harmoni kasih. Tentunya hal ini sangat keren dalam teori teologis, tetapi dalam kenyataannya, ini adalah pilihan yang radikal untuk mencintai keragaman, menerobos dinding kebencian, untuk membersihkan kesalahpahaman yang telah berakar.
Percaya pada Trinitas berarti kita berani dengan tulus berbicara dengan mayoritas yang telah mendiskriminasikan kelompok kita. Percaya kepada Trinitas berarti berani menurunkan posisi kita ke tingkat orang-orang yang kita anggap rendah dan berbicara sebagai partner yang sederajat. Ya, sangat sulit! Namun, jika kita percaya pada Trinitas, kita perlu untuk memenuhi panggilan Allah di dalam kita: menjadi ‘trinitas-trinitas kecil’ di dunia.


Fr. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Saturday, May 11, 2013

“Goodbye”



The Ascension of Our Lord
Luke 24: 46-53
May 12, 2013
 


‘As he blessed them he parted from them and was taken up to heaven (Luke 24:51).’

Piscine “Pi” Molitor Patel, the main character of the movie “Life of Pi”, once beautifully said that life is actually as series of letting go, yet the hardest part is when we are not able to say goodbye. Indeed, the essence of this world is temporariness. People are born yesterday and gone tomorrow, or as the psalmist would write, “People disappear like sleep at dawn; they are like grass that dies. It sprouts green in the morning; by evening it is dry and withered (Psalm 90:6).”

Our relationship here on earth is bound to end. Even those persons whom we love most, sooner or later, we have to see them be away from us. I remember when I was about to enter the novitiate in the Philippines, my mother would cry and tightly hug me as if she would not let me go. Yet, she did. She gave me the freedom to live up my chosen vocation. 

Separation is inevitable and normally it hurts us much. Yet, our Lord today teaches us to embrace it, to learn to say goodbye and make it fruitful. As he ascends to heaven, he shows his disciples that separation is real and painful, but he also expresses his confidence in his disciples that they would fervently grow, precisely without he going around and policing them. Coming in and going out are two sides of the dynamism of life. Without one, we start decaying and human race faces its extinction. A pregnant mother needs to let her baby leave her womb and breathe with his own lungs and lives. Parents have to allow their children to go out from their home and build families of their own and lives. 

Let us go back to Pi. He reminds us to say ‘goodbye’ for a reason. Goodbye is not simply a word indicating separation, but ‘goodbye’ is actually a compressed version of ‘God be (with) ye’. It is originally a form of blessing and prayer. When we let ‘goodbye’ slip from out mouth, we entrust our loved ones to the Lord. We are assured that even without our real presence, they will mature all the more because God is with them. Jesus himself makes this gesture of blessing before his departure for heaven; a gesture that embodies Jesus’ love and trust in their disciples and Holy Spirit’s guidance. Indeed, after almost 2 thousand years left by Christ, the Church has transformed herself into the biggest living community in the world. In his deathbed, St. Dominic, whispered to his brothers that they must not weep because he will be useful for them in heaven. Undeniably, the Order of Preachers remains one of the most vibrant religious congregations up to now. 

In his Ascension, Jesus explains to us the deeper meaning of separation, of growth and of life. We are invited to embrace the moment of separation, to say blessing and make every letting go an opportunity of bearing fruits. We are Christians, and precisely we live as Christians because Christ dares to let us go and allow us to live and shine in the Holy Spirit.
Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Arti sebuah "Goodbye"


Hari Raya Kenaikan Tuhan ke Surga
Lukas 24: 46-53
12 Mai 2013
      
“Goodbye”

‘…dan ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia berpisah dari mereka dan terangkat ke sorga (Luke 24:51).’

Piscine “Pi” Molitor Patel, karakter utama dalam film Life of Pi, mengatakan bahwa hidup ini sebenarnya adalah sebuah rangkaian perpisahan, namun bagian yang paling sulit adalah ketika kita tidak bisa mengucapkan ‘goodbye’. Memang, hakekat dari dunia ini adalah kesementaraan. Manusia lahir kemarin dan pergi keesokan harinya, dan sebagai pemazmur menulis, “manusia seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu (Mazmur 90:6).”

Hubungan setiap manusia di bumi ini pasti akan berakhir. Bahkan orang-orang yang kita paling kasihi, cepat atau lambat, kita harus melihat mereka berada jauh dari kita. Saya ingat ketika saya hendak masuk novisiat di Filipina, ibu saya menangis dan memelukku erat seolah-olah dia tidak akan membiarkan saya pergi. Namun, ia melepaskan pelukannya. Dia memberi saya kebebasan untuk menghidupi panggilan saya.

Perpisahan tidak dapat kita dihindari dan biasanya hal ini sangat melukai kita. Namun, Tuhan Yesus hari ini mengajarkan kita untuk menerimanya, belajar untuk mengucapkan ‘goodbye’ dan membuat perpisahan ini berbuah. Saat Ia naik ke surga, Ia menunjukkan murid-Nya bahwa perpisahan adalah nyata dan menyakitkan, tapi Ia juga mengungkapkan keyakinan-Nya dalam murid-murid-Nya bahwa mereka akan sungguh-sungguh tumbuh, justru tanpa kehadiran fisik-Nya. Datang dan pergi adalah dua sisi dari dinamika kehidupan. Tanpa hal ini, kita akan memulai membusuk dan manusia akan menghadapi kepunahannya. Seorang ibu hamil perlu untuk membiarkan bayinya meninggalkan rahimnya dan bernapas dengan paru-paru sendiri dan hidup. Orang tua harus merelakan anak-anak mereka untuk keluar dari rumah mereka dan membangun keluarga mereka sendiri dan hidup.
 
Kembali ke Pi, dia mengingatkan kita untuk mengatakan ‘goodbye’ karena suatu alasan yang mendalam. ‘Goodbye’ bukan hanya sebuah kata yang menunjukkan perpisahan, tapi ‘goodbye’ sebenarnya adalah versi singkat dari ‘God be (with) ye’ (Tuhan besertamu). ‘Goodbye’ sesungguhnya adalah sebuah berkat dan doa. Ketika kita membiarkan goodbye’ keluar dari luar mulut, kita mempercayakan orang yang kita kasihi kepada Tuhan. Kita yakin bahwa bahkan tanpa kehadiran kita, mereka akan lebih bertambah dewasa karena Allah bersama mereka. Yesus sendiri memberkati murid-murid-Nya sebelum keberangkatannya ke surga, sebuah tindakan yang mewujudkan kepercayaan Yesus pada murid-murid-Nya dan bimbingan Roh Kudus. Memang, setelah hampir 2 ribu tahun ditinggalkan oleh Kristus secara fisik, Gereja telah berubah menjadi komunitas hidup terbesar di seluruh dunia. Saat mendekati kematiannya, St. Dominikus berbisik kepada saudara-saudaranya bahwa mereka tidak harus menangisi kepergiannya karena dia akan lebih berguna bagi mereka di surga. Tak dapat disangkal, Ordo Pengkhotbah tetap menjadi salah satu tarekat religius paling vibran sampai sekarang, hamper 800 tahun setelah Dominikus wafat.

Dalam Kenaikan-Nya, Yesus menjelaskan kepada kita arti yang lebih dalam dari sebuah perpisahan, sebuah pertumbuhan dan kehidupan. Kita diajak untuk merangkul moment perpisahan, berani mengatakan berkat dan membuat setiap perpisahan sebuah kesempatan untuk berbuah. Kita adalah orang Kristiani, dan kita bisa hidup sebagai orang Kristiani karena Kristus berani untuk memerdekakan kita dan memungkinkan kita untuk hidup dan bersinar dalam Roh Kudus.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP