Saturday, August 31, 2013

Why Go to Church?



22nd Sunday in Ordinary Time
September 1, 2013
Luke 14:1,7-14

“On a sabbath he went to dine at the home of one of the leading Pharisees…(Luk 14:1)

When was the last time you went to the Church? Perhaps, few minutes ago, just this morning, last Sunday, barely a month ago, or we simply forget when it was. Why do you go to the Church then? Maybe, we aim at the spiritual nourishment, or we are conditioned to repeat our family tradition, or we merely want to appease our nagging mother. Why do we choose that particular Church instead? Well, it is our parish Church, or it is more convenient and accessible to our house, or it is fully air-conditioned and cozy, or there, we may listen to best preachers in town.
I would like to believe that our motivation going to the Church is not homogenous, rather a unique blend of a bunch of reasons, both the holy and not so holy ones. Allow me to make this little confession: I hear mass every morning at Santo Domingo Church, just few meters away from my room. I am fully aware that the Eucharist is the summit and fullness of my religious life. There I encounter His real presence and partake in His most holy sacrament. Yet, often, I bring with me other luggage as well. Well, daily mass is required by our superiors and thus, to avoid trouble with them, I better do not escape it. At times, I feel so excited knowing the priest is an energetic preacher, but I wish the mass ends soon when I know that the preaching is rather flat. 
I realize that I am just ordinary human, and like other persons, I bring my entire humanity to the Eucharist. In the Gospel, Jesus pointed out that people attend or host a banquet for various reasons: to celebrate life with friends, to mark the momentous life’s events, to seek popularity or to be pleased and delighted. Like the people around Jesus, we may have in our hearts varied intentions: to grow spiritually, to enjoy the moment with the Lord, or simply to be entertained by the fun homilies. Doubtless, Jesus asked us for purification of intention, but moreover, He still accepted the invitation and became part of that celebration despite all not so pure goals of ours.
Jesus did not condemn the celebration, rather he entered and actively participated in our imperfect gathering. We lose a lot if we merely consider the Eucharist as the repast of the angels! It is the celebration of humanity, in which we carry our all human love, strengths, struggles and pains. Yet, despite our constant struggles, we are assured that Jesus is also there with us, and struggling with us. He is there silently binding our wounds, slowly healing our broken hearts, and gently transforming our lives.
Be patient when we do not pass the angelic standards, but rejoice that in our humanity because we choose not to give up, but to invite Christ in our life’s celebration and allow Him to gradually shape our lives.
Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mengapa Kita Pergi ke Gereja?



Minggu Biasa ke-22
1 September 2013
Lukas 14:1,7-14

“Pada suatu hari Sabat Yesus datang ke rumah salah seorang pemimpin dari orang-orang Farisi untuk makan di situ... (Luk 14:1)”


Kapan terakhir kali Anda pergi ke Gereja? Mungkin, beberapa menit yang lalu, atau baru pagi ini, atau hari Minggu yang lalu, atau hampir sebulan yang lalu, atau kita bahkan lupa kapan terakhir kali kita ke Gereja. Lalu, mengapa Anda pergi ke Gereja? Mungkin, kita bertujuan untuk memperoleh santapan rohani dari Firman dan Tubuh Kristus, atau kita sudah dikondisikan untuk menjalankan tradisi keluarga kita, atau kita hanya ingin menenangkan ibu kita yang cerewet. Mengapa kita memilih Gereja itu dan bukan yang lain? Mungkin itu adalah Gereja paroki kita, atau karena Gereja ini lebih mudah diakses dari rumah kita, atau Gereja itu ber-AC dan nyaman, atau di Gereja itu, kita dapat mendengarkan pengkhotbah-pengkhotbah terbaik di keuskupan.
Saya percaya bahwa motivasi kita untuk pergi ke Gereja tidaklah homogen, melainkan perpaduan unik dari berbagai alasan, baik yang suci maupun yang tidak terlalu suci. Izinkan saya untuk membuat sebuah pengakuan: Saya mengikuti perayaan ekaristi setiap pagi di Gereja Santo Domingo, yang terletak hanya beberapa meter dari kamar saya. Saya menyadari bahwa Ekaristi adalah puncak dan kepenuhan hidup saya sebagai seorang biarawan. Di sana saya menemukan kehadiran-Nya yang nyata dan menjadi bagian dalam sakramen-Nya yang paling suci. Namun, seringkali, saya merasa motivasi saya tidaklah murni. Misa harian adalah sesuatu yang diharuskan oleh atasan kami dan dengan demikian, untuk menghindari masalah dengan mereka, saya lebih baik tidak absen. Kadang-kadang, saya merasa sangat senang mengetahui imamnya adalah seorang pengkhotbah energik, tapi saya kemudian berharap misa segera berakhir ketika saya tahu bahwa khotbahnya datar.
Saya menyadari bahwa saya adalah manusia biasa, dan seperti orang lain, saya membawa seluruh kemanusiaan saya dalam Ekaristi. Dalam Injil, Yesus menunjukkan bahwa baik tamu maupun tuan rumah menghadiri perjamuan untuk berbagai macam alasan: untuk merayakan hidup dengan teman-temannya, untuk menandai peristiwa penting dalam kehidupan, untuk mencari popularitas atau sekedar bersenang dan bergembira. Seperti orang-orang di sekitar Yesus, kita mungkin memiliki niat yang bervariasi: untuk tumbuh secara rohani, untuk menikmati waktu dengan Tuhan, atau hanya untuk dihibur oleh homili yang lucu, dan semua bercampur menjadi satu. Tidak diragukan lagi, Yesus meminta kita untuk memurnikan motivasi kita, tapi lebih dari itu, Dia tetap menerima undangan kita dan menjadi bagian dari perayaan hidup kita meskipun tidak semua intensi kita sungguh murni.
Yesus tidak menolak undangan maupun mengecam perayaan kita yang tidak sempurna, tetapi dia hadir dan berpartisipasi aktif dalam perayaan kita. Kita kehilangan banyak jika kita hanya mempertimbangkan Ekaristi sebagai santapan para malaikat! Ini adalah perayaan manusia biasa, di mana kita membawa semua cinta, kekuatan, pergulatan dan kelemahan kita. Namun, meskipun kita bergulat terus-menerus, kita yakin bahwa Yesus juga ada bersama kita, dan bergulat bersama kita. Di dalam keheningan, Dia ada membalut luka kita, dengan perlahan menyembuhkan hati kita yang terluka, dan dengan lembut mengubah hidup kita.
Bersabarlah ketika kita tidak mencapai standar para malaikat, tetapi bersukacitalah bahwa dalam kemanusiaan, kita memilih untuk tidak menyerah, tapi untuk mengundang Kristus dalam perayaan hidup kita dan mengijinkan Dia untuk secara perlahan membentuk kehidupan kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP