Saturday, August 30, 2014

The Paradox in our Faith



22nd Sunday in Ordinary Time
August 31, 2014
Matthew 16:21-27

“Whoever wishes to come after me must deny himself, take up his cross, and follow me (Mat 16:24).”

There is a paradox in the center of our faith. We believe that God is the all-powerful creator of the universe as well as of the minutest microbes, but practically nobody can pinpoint where He is. We profess that Jesus is our mighty Savior that conquered sins and death, but He Himself was tortured and nailed on the cross just like other notorious criminals. We, Christians, called ourselves redeemed and happy people, but almost everywhere in the world, from the most developed nations to war-torn countries, we suffer constant persecutions. The essence of our religion is love, and yet again true love entails great sacrifice, commitment and pains.
In today’s Gospel, Jesus revealed the turning point of His life. His stout followers expected him to be the Messiah who would lead Israel in war against the Roman Empire and to bring them into political liberation and independence. His disciples would not accept anything less than Jesus as the victorious king that would restore the kingdom and territory of David. Thus, Peter, the leader and bravest among the apostles, dared to quarrel with his own Master when their fundamental reason of following Jesus was shaken. Yet, Jesus did not come as a triumphant war-monger. He told us frankly that he had to face persecutions, passion and eventually death. And, worse, He expected His followers to endure the same fate as He did. Who would follow this kind of insane teacher!
However, the history narrated us how the apostles faithfully carried their crosses to the end. Peter was crucified upside-down, James and Paul were beheaded and the rest of the apostles had no better fortune. The apostles were the finest examples of Jesus’ followers and the same cross was handed down to all Christians after them. We also pray for the Christians who are suffering a lot in war-inflicted Syria, Iraq and even in Palestine. Thousands have fled their homeland without any change of coming back and unsure of their future. Some died as innocent victims of wars, but other lost their lives simple because they are Christ’s followers.
Their deaths are precious in the Lord’s eyes said the Psalmist. Yet, the cross is not only happening in conflict-ridded areas, but also in our simple daily lives. The cross is in the woman who struggle to be faithful to his TB-infected husband, while working so hard to rear three little children. The cross is in a student who is bullied because she refuses to cheat during exam. The cross is in a religious sister who fights for her vocation despite the fierce opposition from the family and better opportunity outside.
Cross is a great paradox of our faith. It is stumbling block to the Jews and foolishness to the Gentiles, as St. Paul mentioned in his letter to the Corinthians (1 Cor 1:23). Yet, this is the way of salvation.  Cross of Christ offers us even greater paradox. Only through the cross, God empowers us to become selfless and opens us a possibility to love even greater. If we buy our beloved son an iPad because we have a lot of money, that is shallow kind of love. But, when we give up our share so that our children may have a plate of race to eat, nobody would dare to call this love as cheap. When Jesus said that He had to take up His cross and go to Jerusalem, He simply told us that He is going to love us even more radically. Therefore, my dear brothers and sisters, do not be afraid to take our daily cross because we are entering the beautiful paradox of our faith. Through cross, we are enabled to love even greater.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
       

Sebuah Paradoks Iman



Minggu Biasa ke-22
31 Agustus 2014
Matius 16:21-27

“Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku (Mat 16:24).”

Ada sebuah paradoks di dalam iman kita. Kita percaya akan Tuhan yang adalah pencipta alam semesta, tetapi tidak ada seorang pun yang bisa menentukan dimana Dia berada secara pasti. Kita mengakui bahwa Yesus adalah Juruselamat perkasa yang menaklukkan dosa dan kematian, tetapi Ia sendiri disiksa dan akhirnya dipaku di kayu salib seperti halnya para kriminal. Kita, umat Kristiani, yang menyebut diri kita telah ditebus dan diselamatkan, tapi di mana-mana, dari negara-negara yang paling maju sampai negara-negara miskin yang dilanda perang dan konflik, kita menderita penganiayaan tanpa henti. Inti dari agama kita adalah kasih, tetapi untuk mengasihi memerlukan pengorbanan, komitmen yang besar, dan seringkali kita terluka.
Dalam Injil hari ini, Yesus mengungkapkan titik balik dari kehidupan-Nya. Para pengikut-Nya mengharapkan dia sebagai seorang Mesias yang akan memimpin Israel dalam perang melawan Kekaisaran Romawi dan membawa mereka pada pembebasan politik dan kemerdekaan bagi bangsa Yahudi. Murid-murid-Nya hanya akan menerima Yesus sebagai raja agung yang akan mengembalikan kerajaan dan wilayah David. Selebihnya adalah kesalahan! Dengan demikian, Petrus, pemimpin para rasul, berani bertengkar dengan sang Guru ketika alasan mendasar mereka mengikuti Yesus terguncang. Namun, Yesus tidak datang sebagai jenderal atau komandan perang. Dia mengatakan kepada kita bahwa ia harus menghadapi penganiayaan, penyaliban, dan akhirnya kematian. Dan, lebih buruk lagi, Ia berharap para pengikut-Nya untuk menanggung salib yang sama seperti yang Ia lakukan. Siapa yang akan mengikuti guru gila semcam ini!
Namun, sejarah menceritakan bagaimana pada akhirnya para rasul setia memanggul salib mereka sampai akhir. Petrus disalibkan secara terbalik, Yakobus dan Paulus dipenggal dan rasul-rasul lain memiliki nasib yang tidak lebih baik. Para rasul adalah contoh terbaik dari pengikut Yesus dan salib yang sama diberikan kepada semua umat Kristiani termasuk kita sekarang. Kita juga berdoa bagi pengikut-pengikut Yesus yang menderita dalam perang yang terjadi di Suriah, Irak dan bahkan di Palestina. Ribuan orang meninggalkan kampung halaman mereka tanpa ada harapan akan pulang kembali dan tidak adanya kepastiaan akan masa depan mereka. Banyak meninggal sebagai korban tak berdosa dari perang, tapi yang lain harus kehilangan nyawa karena mereka adalah pengikut Kristus.
Kematian mereka berharga di mata Tuhan, sabda sang Pemazmur. Namun, salib ini tidak hanya terjadi di wilayah di mana konflik berkecamuk, tetapi juga dalam kehidupan kita sehari-hari. Salib ini juga ada pada seorang wanita yang berjuang untuk setia kepada suaminya yang terinfeksi TB, sementara ia harus bekerja keras untuk membesarkan tiga anaknya yang masih kecil. Salib ada dalam seorang mahasiswa yang di-‘bully’ karena dia menolak untuk curang saat ujian. Salib ada pada seorang biarawati yang berjuang untuk panggilannya meskipun mendapat penolakan keras dari keluarga dan hilangnya kesempatan yang lebih baik di luar biara.
Salib adalah sebuah paradoks besar iman kita. St. Paulus menyatakan dalam suratnya ke umat di Korintus bahwa Yesus tersalib adalah batu sandungan bagi orang Yahudi dan kebodohan bagi yang bukan Yahudi (lih. 1 Kor 1:23). Namun, ini adalah jalan keselamatan. Salib Kristus menawarkan kita paradoks yang lebih besar. Hanya melalui salib, Tuhan menguatkan kita untuk menjadi seorang yang tidak egois dan membuka kemungkinan bagi kita untuk mengasihi secara lebih besar. Jika kita membelikan anak kita sebuah iPhone karena kita memiliki banyak uang, itu adalah sebuah kasih yang biasa-biasa saja. Tapi, ketika kita tidak makan agar anak-anak kita memiliki sepiring nasi, tak seorang pun akan berani untuk menyebut kasih ini sebagai biasa-biasa saja. Ketika Yesus berkata bahwa Ia harus memikul salib-Nya dan pergi ke Yerusalem, Dia hanya mengatakan kepada kita bahwa Dia akan mengasihi kita secara lebih radikal. Oleh karena itu, rekan-rekan terkasih, jangan takut untuk mengambil dan memikul salib kita sehari-hari karena kita memasuki sebuah paradoks indah dalam iman kita. Melalui salib, kita dimampukan untuk mengasihi secara lebih besar.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP