Friday, January 29, 2016

Nothing is Impossible



Fourth Sunday in Ordinary Time
January 31, 2016
Luke 4:21-30

“Isn't this the son of Joseph? (Luk 4:22)”

‘Impossible’ is not part of Jesus’ vocabulary. He multiplied the bread and filled the hungry multitude. He walked on water and calmed the storm. He healed the woman with hemorrhage, opened the eyes of Bartimaeus, and expelled the demons. He forgave the adulterous woman and challenged the legalism of the authorities. He raised Lazarus and Himself resurrected. Not even death can limit Him.

Yet, ‘impossible’ and ‘limitation’ seemed to be the mindset of the people of Nazareth. When they saw Jesus came home and proclaimed the Word of God with authority, the Nazarene amazement was short-lived and they turned the tide against Jesus. One might say, ‘That’s impossible! He is Jesus, the son of the poor carpenter Joseph. He is lowly, ordinary, and incapable. Who does he think himself? God?’ Grace was just around the corner, but they closed their hearts, limited their possibilities, and hampered their own growth. Not only they boxed themselves in narrow-mindedness, they also tried to impose their limitations on Jesus. When Jesus refused to be placed under their closed-mindedness, they attempted to get rid of Jesus. Thus, nothing much happened in Nazareth. 

Jesus further explained that this refusal to God’s grace had been a perennial problems of Israel. The great prophets Elijah and Elisha could have done mighty deeds for Israel, but they did not because they were rejected by their own people. Now, this mentality of putting limits to oneself does not solely belong to the Israelites. Unconsciously, this attitude may creep into our lives. We may listen to the Word of God every Sunday in the Eucharist, but do we allow the very Word to be fulfilled in our lives? Is Sunday Worship all about feeling-good experience, and yet going home, we act as if nothing happens to us? We are celebrating the Jubilee Year of Mercy, but does it help us being more merciful and compassionate? Sometimes we are like ‘Shoe’, the main character in old comic strip Shoe by Jeff MacNelly. When Shoe is pitching in a baseball game, in the conference in the mound, his catcher says, “You’ve got to have faith in your curve ball.” “It’s easy for him to say,” grumbles Shoe. “When it comes to believing in myself, I am an agnostic.”

A friend of mine did the incredible in her young age. She finished her doctorate at the age of 27 in Japan. What makes her more incredible is she turned down lucrative offers of big companies and volunteered as elementary school teacher in a far-flung area. She is currently serving the people of Nunukan, North Borneo Province, at the border of civilization. Once she texted me and told how difficult it was to teach, especially when people do not really appreciate yet the importance of education. I was speechless, having no word of consolation, but she immediately replied, ‘It is difficult to love.” Her answer made me smile since I know that despite her troublesome situations, she never stops loving. In the Annunciation, archangel Gabriel said to Mary, “For God, there is nothing impossible.” We shall not put limit to God’s grace, to our own growth in faith and to our ability to love. When we believe and open our hearts to God’s grace, the ‘impossible’ things begin to happen in our lives.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno,OP

Friday, January 22, 2016

Surat dari Master Ordo Pengkhotbah di Tahun Yubelium Ordo Pengkhotbah

Saudara dan saudariku yang terkasih,

Pergilah dan wartakanlah!

Sejak hari perayaan pendirian dari biarawati-kontemplatif pertama dari Ordo Pengkhotbah di Prouilhe, Perancis, novena tahunan yang diusulkan oleh Romo Carlos Aspiros, OP [Master Ordo Pengkhotbah sebelum saya] telah mempersiapkan kita untuk mendengar perutusan ini. Tradisi Dominikan kita menceritakan bahwa Dominikus suatu hari mendengar Santo Petrus dan Santo Paulus berkata, “Pergilah dan wartakanlah, karena Allah telah memilih kamu untuk pelayanan ini.” Pada pintu Basilika Santa Sabina rumus yang sama ini digunakan oleh orang yang menulis ikon yang indah di mana Santo Dominikus, pada gilirannya, menyatakan kepada kita semua, saudara dan saudari dalam keluarga Dominikan: Pergilah dan wartakanlah! Vade Praedica!

Jawaban terhadap panggilan ini akan menjadi cara kita untuk membawa konfirmasi Ordo ke masa kini, tepat di saat kita merayakan delapan ratus tahun Ordo. Kita tidak menjawab hal ini secara individu tetapi kita semua bersama-sama, sebagai persekutuan persaudaraan, solidaritas kerasulan dengan komunitas kita, dan dengan membaktikan diri kita sendiri dengan cara-cara yang paling bersemangat dalam dinamika pewartaan suci yang adalah merupakan keluarga Dominikan. Atas permintaan Dominikus dari Osma, Paus Honorius III mengkonfirmasi Ordo sebagai Ordo Pengkhotbah di tahun 1216. Hari ini, atas permintaan kebutuhan dunia dan dengan tekad yang sama seperti Dominikus untuk melayani Gereja dan misteri persekutuan Gereja dengan Kristus, kesempatan datang kembali kepada kita untuk mengkonfirmasi Ordo Pengkhotbah ini pada zaman ini. Kepada Ordo, Honorius III menulis bahwa, dengan mengabdikan semua kekuatan mereka untuk mengerti Firman Allah dan penginjilan nama Tuhan kita Yesus Kristus di seluruh dunia, Dominikus dan saudara-saudaranya menanggapi kehendak-Nya, “siapapun membuat gereja-Nya berbuah dengan keturunan yang baru, ingin membuat zaman ini lebih baik dari zaman lalu, dan untuk menyebarkan iman Katolik.” (18 Januari 1221).

 Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil! Tentunya kita berada jauh dari waktu ketika Paulus menulis kalimat ini, tetapi melalui perwartaan dari begitu banyak saudara-saudari kita, Gereja telah memperbesar Kemah persahabatan dengan Allah! Tahun-tahun persiapan untuk Yubelium ada bagi kita semua, baik awam maupun religius, sebuah kesempatan untuk mengevaluasi cara-cara kita berkontribusi, menurut teladan Dominikus, untuk mendirikan Kemah persahabatan dengan Allah. Hal ini mungkin juga kesempatan untuk menyadari hambatan-hambatan yang mampu secara perlahan-lahan mengendorkan antusiasme hari-hari pertama kita di Ordo, berbagai beban institusi, ketakutan dan kebutuhan akan kenyamanan pribadi, kebutuhan untuk diakui, ketidakpedulian atau kekecewaan menghadapi kondisi-kondisi buruk yang menjelekan dunia. Tentu saja, kita perlu mengambil langkah-langkah untuk mengevaluasi apa yang telah kita lakukan dan dapat lakukan, untuk membangun rencana, di satu sisi, dengan mengembangkan pewartaan kita untuk memberikan cakupan penuh pada kreativitas yang dibawa oleh panggilan-panggilan baru, di sisi lain untuk menghadapi masa transisi, bahkan resesi. Namun, masa depan akan pewartaan Injil perdamaian, masa depan akan pewartaan bahwa dunia adalah tempat di mana Tuhan ingin menaburkan benih Kerajaan, mungkin bukan yang pertama dan terutama dari hasil dari rencana strategis, walaupun perencanaan adalah penting adanya. Sebagai Dominikus ingin membuat jelas kepada Paus ketika ia meminta dia untuk mengkonfirmasi intuisinya, api Injil pertama-tama harus membakar dan menerangi kehidupan dan keberadaan para Pengkhotbah: mereka ada untuk menjadipengkhotbah. Ini adalah ‘inner fire’ yang suatu hari akan memberi kita keberanian untuk meminta rahmat untuk mengabdikan seluruh hidup kita kepada Sang Firman. Ini adalah api yang sama yang dapat membangun dalam diri kita sebuah ketidaksabaran, insomnia, dengan harapan bahwa kita pergi dari kota ke desa, nama Yesus Kristus menjadi nama saudara dan teman yang datang untuk hidup akrab dengan manusia, menjadi inspirasi dalam semua kepercayaan diri untuk berjalan kepada-Nya (Summa Theologiae III q. 40 resp3).

Ketika Paulus mengungkapkan ‘keharusan batinnya yang mendalam’, dia memenuhinya dengan mengatakan bagaimana ia sendiri ingin mencoba untuk menjadi akrab dengan semua, bebas dalam semua hal, membuat dirinya budak untuk semua: “Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang.” (lih 1 Kor 9:19). Ini adalah api yang sama yang hidup di dalam Dominikus: semangat pewartaan. Tugas pertama dari seorang pengkhotbah tampaknya adalah ia perlu bergabung dengan mereka kepada siapa ia dikirim. Karena dia menginginkan agar Injil menjadi tempat tinggal bagi semua, pengkhotbah menghubungkan nasibnya dengan mereka yang adalah lawan bicaranya, sampai ia menerima bahwa kebebasannya tergantung pada persahabatan baru ini, sampai ia menerima kebebasan dan kreativitas dari ketergantungan ini ( bukankah ini berarti mengemis?). Bagi seorang rasul, api di dalam hati kita tidak hanya berarti kita memiliki sesuatu untuk dikatakan atau untuk dikontribusikan, tetapi api membuat kita tida sabar untuk berbagi dengan semua di dunia ini, dunia yang akan, pada hari dikehendaki oleh Allah, menerima transfigurasinya dari kebenaran Injil. Bagi Paulus, kita tahu, transfigurasi ini adalah sebuah bentuk misteri kesatuan kasih dalam Kristus (Ef 3-4). Janganlah kita lupa mosaik kenabian di Santa Sabina (Gal 3, 28; Kol 3: 11): kamu semua adalah satu hal dalam Yesus Kristus, karena Ia adalah semua, Ia dalam semua! Misi kita adalah untuk menyatakan janji persekutuan: bintang di dahi Dominikus mengingatkan kita pada bintang Betlehem yang muncul ketika sang Firman masuk ke dalam aliansi dan dalam persekutuan dengan umat manusia. Ini adalah cahaya yang sama dari Firman yang datang untuk hidup di hati komunitas manusia. Cahaya-Nya datang seperti api, dan ini adalah api ini yang kita bakar untuk kita sebarkan kepada orang lain. Api Pewartaan: simbol Yubelium dan misi kita. Tergerak oleh api ini, di dunia yang kadang-kadang tampaknya ditakdirkan untuk terpecah dan berkonflik, ketika identitarianisms dan polarisasi bersekongkol untuk menciptakan hambatan untuk persekutuan dalam keragaman, pada saat agama-agama tidak selalu tahu bagaimana untuk menghindar dari godaan ini, tergerak oleh api yang merindukan persekutuan yang telah dijanjikan, pergilah dan wartakanlah!

Dan sekarang citra visi Dominikus datang kembali: Tongkat milik Petrus dan Kitab milik Paulus. Pertama, tongkat Petrus berarti kita tidak pernah lupa bahwa hanya ada satu Gembala, di antara para pelayan Gembala, Petrus adalah yang pertama. Dengan demikian, pengkhotbah dikirim tanpa lelah untuk memberitakan anugerah keselamatan melalui Gereja, yang dalam kesatuan persekutuan, adalah sakramen. Tapi tongkat juga adalah simbol dari perjalanan keluar, keluar dari tempat-tempat yang kita bangun, untuk keluar dari batas-batas kenyamanan kita, melompati jurang yang memisahkan kebudayaan-kebudayaan dan kelompok-kelompok manusia, untuk menemani langkah umat manusia ketika berjalan menuju jalan yang tidak pasti. Ketika kita menyadari kelemahan dan dosa-dosa kita, kita meminta rahmat belas kasih, dan Tongkat kita dapat andalkan untuk mengajarkan kita untuk menjadi pengkhotbah. Tongkat dari seorang pengkhotbah pengembara dari rahmat belas kasih. Mobilitas pengembaraan ini, baik internal maupun external, berarti bahwa tongkat harus selalu disertai dengan Kitab yang dibawa oleh Paulus. Tentu saja, karena dalam Kitab ini menulis apa yang Tuhan ingin mengungkapkan bagi semua. Dan juga karena ini ada di dalam sang Firman yang harus berbaur di dalam pengalaman iman, percakapan evangelisasi, dan karya theologi untuk menjelaskan sang Firman. Tapi Kitab dengan tongkat, karena pertemuan ini, dialog, studi tentang budaya lain, penghargaan untuk bentuk-bentuk lain dari pencaharian kebenaran, semua ini merupakan pintu masuk untuk pengetahuan lebih dalam dan pemahaman tentang sang Firman, yang secara bertahap mengungkapkan dirinya melalui penelitian dan pembelajaraan akan Alkitab. Pergilah dan wartakanlah juga bisa terjemahkan sebagai “pergilah dan belajarlah”, tetapi ini bukan berarti menjadi ‘ahli’, atau juga tidak berpura-pura untuk ‘mengajar orang lain, tetapi belajar untuk meneliti tanda-tanda zaman, untuk membedakan jejak kasih karunia yang bekerja di hati dunia, untuk belajar bagaimana untuk bersukacita dan bersyukur dan memahami sedikit lebih baik setiap hari kedalaman misteri kehadiran-Nya yang adalah Firman dan Kebenaran. Pergilah, karena kasih karunia yang membuatmu memiliki hasrat menjadi pengkhotbah telah mendahului kamu ke Galilea, dan kamu harus belajar untuk mengenalinya, untuk mempelajarinya, untuk merenungkannya, sehingga kemudian memiliki sukacita untuk mewartakan Kabar Baik!

Kita berangkat, dibawa kepada kerumunan orang-orang yang telah mendahuli kita ke sekolah Dominikus. Banyak sekolah kekudusan yang ditawarkan kepada kita! Karena, seperti yang kita ketahui, ‘Pergilah dan Wartakanlah’, dengan mengutus kita ke jalan-jalan dari pewartaan, mengajak kita untuk menemukan bagaimana jalan ini akan menjadi penyelarasan kita terhadap Tuhan. Pada awal dari tahun Yubelium ini, saya seperti melihat memori akan komunitas pertama para murid dan teman-teman yang menemani Yesus di jalan Galilea tidak boleh meninggalkan kita. Saat mengikuti Dia, komunitas ini secara bertahap ‘dibentuk untuk mewartakan’. Dengan kembali pada masa-masa apostolik pertama inilah Diego dan Dominikus memiliki intuisi, kebutuhan untuk pembaharuan metode, semangat, dan pesan dari evangelisasi. Hari ini dan besok, pada gilirannya, kita diundang pada misi pembaharuan yang sama, dan memberikan kontribusi kita “membuat zaman ini lebih baik dari zaman lalu, dan untuk menyebarkan iman Katolik.”. Dan kita memiliki kesempatan untuk melakukannya dengan menerima di semua benua panggilan-panggilan baru yang juga merupakan panggilan untuk pembaharuan yang tak henti-hentinya dari dinamika pewartaan Ordo. Jadi apakah jalan-jalan ini yang kita dipanggil hari ini untuk hidup akrab dengan umat manusia? “Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah ke kota-kota lain juga, karena inilah mengapa saya diutus” (Luk 4, 43-44). Ordo Santo Dominikus, secara keseluruhan, harus dijiwai oleh rasa urgensi serupa akan ‘Visitasi Injili’ (Luk 1:39)! Tentu saja, kita semua memiliki alasan yang baik untuk mengatakan bahwa kita harus, di atas semua, menjamin apa yang kita sudah lakukan. Tentu saja, kita kadang-kadang bisa menjadi ‘lumpuh’ ketika kita memikirkan betapa besarnya tugas dan betapa sedikitnya kita. Tentu saja, kita benar saat kita menekankan bahwa, di mana kita sudah berada, tugas pewartaan sangat penting. Namun ‘Visitasi Injili’ mendesak kita untuk bergabung dengan sesame dan kelompok dan pergi ke tempat-tempat di mana pewartaan Kabar Baik Kerajaan harus, sekali lagi, juga diperdengarkan. Objek dari pewartaan ini adalah pendekatan penuh penghormatan kepada Dia yang datang dengan akrab menawarkan persahabatan dan Kerahiman Allah. Kita juga tahu bahwa Dominikus bukanlah pencipta’ dari Rosario. Tapi itu bukan suatu kebetulan bahwa Ordonya dipercayakan dengan meditasi dan pewartaan misteri Kristus dengan kontemplasi misteri Rosario. Dengan memapankan di jantung kehidupan Pengkhotbah, misteri kehidupan Yesus, hidup di antara manusia, mendirikan tempatnya di antara manusia, menghadapi pengkhianatan dan kematian, namun tidak berhenti untuk menawarkan pengampunan, memandu jalan bagi pengkhotbah, dengan kata-kata manusia kita, akan melayani kedatangan kerahiman yang akrab agar dunia bisa memiliki hidup.

Ordo, kemarin, hari ini, dan besok, menetapkan tema perayaan Yubelium tahun ini. Apa jadinya Ordo di hari esok? Ini tidak diragukan lagi kita akan menjadi pengkhotbah, bebas dan penuh kegembiraan. Seperti kemarin dan hari ini, tak diragukan lagi kita akan termotivasi oleh keinginan untuk hidup dan mewartakan persekutuan sebagaimana komunitas apostolik pertama tinggal bersama Yesus untuk membuat janji Kerajaan didengar sebagai Kabar Baik bagi semua. Tentu saja saya tidak ingin berpura-pura untuk menggambar bentuk konkret dari ‘pewartaan suci’ di hari esok: ini akan menjadi buah dari kreativitas apostolik para religius dan awam di semua level, didorong oleh kreativitas sang Roh sendiri . Tapi, apa pun bentuknya, tampaknya bagi saya bahwa Ordo akan, untuk masa depan, harus membuat sendiri beberapa pertanyaan penting yang saya ingin merumuskan berdasarkan kunjungan saya lakukan terhadap saudara-saudari di berbagai belahan dunia.

Bagaimana kita bisa mendengar dan memahami apa yang Tuhan katakan kepada kita melalui panggilan-panggilan baru yang Dia mempercayakan kepada kita? Melihat sejarah awal Ordo, saya dikejutkan oleh cara bagaimana saudara-saudari baru dibawa ke dalam pewartaan, melalui pengalaman iman mereka, formasi mereka, sejarah mereka, budaya mereka. Perubahan hati dari beberapa, studi ekstensif yang dilakukan oleh beberapa yang lain, dan pengalaman hidup ... semua ini secara bertahap membentuk keragaman dan kreativitas dari Ordo Dominikus. Bagaimana hari ini? Banyak saudara-saudari baru bergabung dengan Ordo setelah mereka terlibat dalam berbagai bentuk penelitian kontemporer pengetahuan yang baru, banyak datang dari latar belakang budaya dan keluarga yang Gereja tidak selalu mudah untuk terlibat. Banyak justru karena sebuah fakta bahwa mereka telah ‘tergerak’ oleh urgensi sang Firman di tengah-tengah kehidupan di mana mereka meninggalkan kenyamanan atau rencana untuk masa depan: bagaimana Ordo akan memungkinkan mereka untuk tetap setia kepada kemurahan hati ini dan memberikan sepenuhnya kreativitas mereka untuk kepentingan kreativitas apostolik seluruh Ordor? Kekayaan pada panggilan baru ini adalah tanggung jawab kita semua: terus memperdalam dan mendiversifikasi ‘pelayanan akan percakapan Allah dengan manusia’.

Pelayanan ini, jika ini adalah tanggung jawab kita bersama, diwujudkan dalam berbagai budaya dan Ordo pernah berhenti untuk menjadi lebih internasional dan antarbudaya. Pada saat yang sama, di Ordo seperti halnya di dunia, bahkan jika kita terus bicara tentang globalisasi (atau mungkin karena kita berbicara tentang hal ini) godaannya adalah untuk jatuh kembali kepada identitas yang lebih ‘terkendali’ dan tertutup untuk diri kita sendiri, dengan risiko selalu menjadi sedikit defensif ketika datang untuk bertukar, berkolaborasi, menghadapi pilihan untuk kebaikan bersama namun membuat kita mengambil risiko akan kerapuhan pribadi dan, terutama, karena tidak mampu mencapai proyek jangka pendek yang masing-masing entitas telah uraikan dan rencanakan untuk dirinya sendiri. Bagaimana kita, di masa depan, terbuka lebar kepada pertukarana budaya, pertukaran antara provinsi dan umat: bagaimana menempatkan realitas internasional Ordo lebih lengkap di pelayanan Gereja? Apakah kita berani mengambil risiko internasionalisasi komunitas kita, menyaksikan dengan simfoni yang mungkin antara budaya, antara modalitas kedekatan dengan dunia, antara sekolah-sekolah teologi, antara bentuk pengetahuan dan pemahaman akan Gereja? ... Bagaimana, pada kenyataannya, Ordo sendiri bisa menjadi, di jantung Gereja, sebuah ‘peracakapan’ yang Beato Paus Paulus VI telah memanggil kita?

Untuk mencapai hal ini, tampaknya bagi saya bahwa Ordo di masa depan harus semakin menjadi Ordo pewarta yang kontemplatif. Sebuah Paradoks tentunya, sementara kita tidak berhenti untuk mengatakan, dengan sebuah alasan, bahwa Gereja selalu membutuhkan lebih banyak pekerja untuk panenan, Ordo harus tanpa keraguan menawarkan pelayanan yang tidak hanya termakan oleh karya pastoral, tetapi juga menawarkan sebuah tempat kontemplasi, tempat pencarian akan kebijaksaan dan kebenaran. Artinya menjadi tempat yang peduli menjadi saksi dari persekutuan persaudaraan yang harus kita memiliki di masa depan, prioritas utama harus diberikan kepada meditasi Firman, untuk liturgi ibadat harian dan doa syafaat, untuk sabar menanti di hadapan Tuhan. Tetapi juga untuk berbicara tentang keyakinan yang menjadi dasar bagi kita untuk mengkonsolidasikan dan memperdalam intensitas studi, sebuah jalan istimewa kontemplasi tetapi juga pelayanan untuk Gereja yang, atas nama tradisi yang telah diwariskan kepada kita , kita tidak bisa tolak.

Ordo hari esok harus semakin teranimasi oleh hasrat untuk semakin menjadi ‘keluarga Dominikus yang dari awal, adalah sebuah inovasi bagi Gereja. Ini harus membawa kita jauh melampaui hubungan persaudaraan yang baik antara semua anggota Keluarga Dominikan. Pertanyaan tidak diragukan kita perlu hadapi adalah sebagai berikut: bagaimana menjadi ‘keluarga’ memungkinkan kita bersama-sama untuk mengidentifikasi lebih baik kebutuhan Gereja dan dunia, dan untuk merespon dan mengemban bersama-sama tanggung jawab kerasulan dan injili?

Sebagian besar melalui realisasi keluarga inilah Ordo akan mencari, di hari besok, untuk terus menjadi hamba akan persahabatan Allah dengan dunia. Untuk melakukan hal ini, baik para imam, bruder, suster dan juga kaum awam, akan perlu untuk menumbuhkan kesediaan mereka untuk mobilitas, untuk pengembaraan. Kebutuhan Gereja, kebutuhan dunia, berubah dengan cepat. Pada saat yang sama, kita telah mengemban tugas di lembaga dan proyek yang cukup berat, kehadiran biara yang sulit untuk mempertahankan, proyek pribadi yang berjuang untuk diintegrasikan dalam proyek bersama. Tantangannya adalah bagaimana kita memberi cara untuk selalu memperhatikan lebih untuk kebutuhan orang lain daripada kehendak kita sendiri untuk ‘mempertahankan’ apa yang ingin kita lakukan, atau ingin terus lakukan. Jangan lupa bahwa karakteristik dari Ordo, kemarin, hari ini dan esok, selalu melampaui situasi saat ia didirikan, untuk pergi keluar untuk menemui mereka yang belum memiliki sukacita perjumpaan pribadi dengan Yesus Kristus, mengambil risiko meninggalkan kenyamanan dan keamanan untuk menyaksikan kerahiman dan persahabatan Allah untuk mereka yang  jauh dan asing dengan Tuhan. Bagaimana kita bisa membiarkan diri dibawa oleh api kerinduan untuk pergi, sekali lagi, ke tempat-tempat lain, ke kebudayaan-kebudayaan yang berbeda? ...

Di Basilika Santa Sabina, di mana kita merayakan pembukaan tahun Yubelium, Dominikus suka berdoa untuk mengungkapkan kepada Tuhan perhatiannya terhadap orang miskin, untuk orang-orang berdosa dan orang-orang yang jauh dari Tuhan. Dia juga menyukai untuk mempercayakan kepada kerahiman Tuhan saudara-saudaranya yang ia utus keluar, menghadapi ketakutan dan ketidakpastian ... dia melakukannya dengan keyakinan bahwa hanya kerahiman Allah yang tanpa lelah ia renungkan dan nyatakan, akan menjadi kekuatan pewartaan. Pada Tahun Yubelium Ordo ini, dengan keyakinan santo Dominikus yang sama ini, kita pada gilirannya akan diutus untuk mewartakan Injil perdamaian.

Pergilah, dan wartakanlah!

Brother Bruno Cadore, OP
Master Ordo Pengkhotbah
Roma, 1 Januari 2016
Hari Raya Maria, Bunda Allah


[diterjemahkan oleh Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP]