Minggu Biasa ke-6
16 Februari 2014
Matius 5:17-37
“Setiap
orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia
di dalam hatinya. (Mat 529).”
Hukum adalah
hal yang mendasar bagi kehidupan manusia. Bahkan, tanpa hukum atau
peraturan, komunitas
manusia akan
lenyap seketika. Hukum membangun hubungan, menjaga harmoni, dan mencegah anarki.
Oleh karena itu, hukum dan peraturan diperlukan bagi setiap
komunitas manusia, dari yang paling sederhana seperti keluarga sampai yang
paling kompleks seperti
negara. Pada tahun 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia, dan mereka tidak lupa untuk memasukkan dalam pernyataan proklamasi tersebut sebuah kalimat
pendek: “Hal-hal yang mengenai pemindahan
kekuasaan, dll, diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya.” Para
proklamator cukup sadar bahwa tanpa adanya hukum dasar yang mengatur ‘kekuasaan’, Indonesia
yang baru lahir akan
segera jatuh ke dalam keadaan kacau. Hal ini tidak jauh dalam kehidupan
berkeluarga. Salah
satu kunci untuk pernikahan yang langgeng adalah pasangan mampu bersama-sama
membentuk aturan-aturan
dasar yang akan
mengarahkan hidup mereka bersama.
Namun, ada masalah kecil. Kita diciptakan dengan
kebebasan, dan dengan kebebasan ini,
kita tidak hanya memiliki kemampuan untuk mentaati
hukum, tetapi juga melanggarnya
dan mengunakannya sesuai dengan kepentingan kita pribadi.
Peraturanpun kadang dirasakan sebagai pembatasan dari kebebasan dan ekspresi kita. Dengan demikian, pelanggaran dan penyelewengan berlangsung hampir di mana-mana.
Untuk mengatasi masalah ini, penegak hukum dibentuk.
Namun, masalah terus berlanjut karena elemen
penegak hukum bukanlah
manusia super dan mereka juga mengalami godaan yang sama seperti orang biasa lainya.
Para bapak pendiri
Amerika Serikat membayangkan Negara
mereka akan menjadi Negara yang besar dan Kristiani, tetapi kita bisa
melihat sekarang bagaimana melalui struktur hukum yang diciptakan bapak pendiri mereka,
wakil-wakil rakyat AS telah melegalkan aborsi.
Yesus sepenuhnya menyadari tujuan sejati dari hukum
serta kecenderungan manusia untuk memanipulasinya. Dengan demikian, Yesus tidak
mengusulkan sebuah
hukum yang lebih ketat ataupun
juga menetapkan sebuah
badan penegak hukum lebih
tegas, tetapi Dia datang ke inti permasalahan. Dan sungguh, inti
permasalahannya ada di hati kita. Lokus semua keinginan untuk melanggar hukum sejatinya ada di
dalam hati kita. Yesus, oleh karena itu, menginstruksikan
kita untuk menyadari berbagai
gerakan di dalam
hati kita dan mengajak
untuk mendidik
hati kita. Tanpa pembentukan hati nurani, undang-undang yang tertulis
menjadi sarana kejahatan bagi mereka yang berhati jahat. Namun,
bagi mereka yang berhati
murni, hukum menjadi
panduan yang baik dan
pengingat ramah.
Saya
selalu ingat kata-kata profesor saya, Rm. Enrico Gonzales, OP, “Hati dari pendidikan
adalah pendidikan dari
hati kita.” Sebuah hukum ada untuk
mengatur harmoni hidup
dan menjaga kebebasan manusia,
dan hanya yang murni
hati dapat melihat ini. Apakah kita memahami esensi dari hukum? Apakah kita
menolak godaan untuk menghancurkan hukum? Apakah kita memiliki kemauan dan
waktu untuk mendidik hati kita?
Frater
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment