September 14, 2014
Yohanes 3: 14-17
"... Demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya
beroleh hidup yang kekal (Yoh 3: 14-15)."
Salib selalu dikaitkan dengan
agama dan umat Kristiani. Namun,
dari sekian banyak simbol, mengapa harus salib? Jika kita melihat salib
dari sudut pandang orang-orang yang hidup di zaman Yesus, salib adalah sebuah metodologi penyiksaan yang sangat kejam dan mengerikan. Salib adalah hukuman mati bagi para pemberontak
dan pembuat onar terhadap otoritas kekaisaran Romawi kuno. Coba kita bayangkan sekarang penderitaan yang terjadi saat penyaliban: paku raksasa dan berkarat (karena dipakai berulang-ulang) menembus
tangan dan kaki kita; tubuh kita
ditelanjangi dan digantung pada sebuah kayu besar, kitapun dipanggang dibawah terik
matahari dan membeku oleh angin malam
yang sangat dingin; perlahan-lahan tubuh
kita kehilangan darah, air dan nafas, sementara lapar
dan dahaga menyiksa perut dan tenggorokan. Yang lebih menyiksa adalah kita menjadi tontonan
masa dan terkadang sanak keluarga dipaksa menonton proses penyaliban sampai
akhir. Kita beruntung jika kita meninggal secara cepat, tapi
terkadang kita akan tergantung selama beberapa hari sebelum kita menemui ajal kita. Salib menjadi simbol
sempurna dari sikap
brutal dan
kebiadaban manusia.
Namun, zaman telah berubah. Kaum muda di berbagai negara dengan bangga
mengenakan
kalung salib di leher mereka, entah
sebagai devosi atau sekedar fasion. Salib juga menandai bangunan Gereja dan berbagai
institusi Katolik. Setelah dua ribu
tahun,
salib telah dilucuti dari
kebrutalannya dan kita telah kehilangan
pandangan tentang realitas terdalam dari sebuah
salib. Sementara kita, umat
Katolik, mempertahankan corpus (tubuh
Yesus) yang tersalib, saudara-saudara kita
Protestan telah memisahkan Yesus dari salib. Alasan
mereka
sangat logis: Yesus telah
bangkit dan Dia sudah tidak ada
lagi
di salib. Juga terkesan bahwa
umat Katolik senang
untuk mengabadikan penderitaan
Kristus
di salib.
Hari
ini, kita menghormati salib suci, dan mungkin ini adalah
waktu yang tepat untuk bertanya pada
diri kita sendiri mengapa kita perlu menghormati salib dan
menempatkannya di tengah-tengah kehidupan kita. Saya tidak punya niat untuk mengembalikan
kekejaman salib, tidak juga
untuk menyalibkan Yesus sekali lagi, tapi
kita bisa menemukan keindahan dari sebuah
Salib Suci. Pertama,
salib tidak dapat dipisahkan dari Kristus. Almarhum Uskup
Fulton Sheen dari Amerika, salah satu uskup pertama
yang menggunakan media massa untuk pewartaan, mengingatkan kita bahwa Yesus tanpa salib adalah Allah yang jauh dan asing, dan salib tanpa Yesus
adalah
hanya sebuah tanda kekejaman manusia. Sentimen yang sama juga dimiliki oleh umat Katolik perdana. Pada saat
Pentakosta yang pertama di Yerusalem, Santo Petrus berkhotbah
tentang iman kepada Yesus yang disalibkan (Kis
4:10) dan di suratnya, St. Paulus mengingatkan kita bahwa ia hanya mewartakan Kristus dan Dia yang tersalibkan (lih 1 Kor 1:22). Jika
kita menganalisis keempat Injil,
kita menyadari bahwa tidak semua penginjil menulis kisah kelahiran Yesus (hanya Matius
dan Lukas), tapi empat penulis
suci setuju untuk menempatkan Penyaliban, Kematian dan Kebangkitan Yesus sebagai pusat tulisan-tulisan mereka. Kita mencatat juga bahwa
meskipun salib muncul
di semua Injil, penginjil tidak tertarik pada kekejaman berdarah di kayu salib, tetapi fokus pada Yesus yang mengasihi kita sampai
akhir. Sejak itu, kata “kerygma”
mengacu pada inti pewartaan
Kristiani yang merupakan sengsara, wafat dan kebangkitan
Yesus.
Kedua, salib tidak dapat dipisahkan dari
umat Kristiani. Yesus menuntut
murid-muridnya untuk memikul salib
mereka sehari-hari (Luk 9:23). Mengikuti
Yesus bukanlah jalan
yang mudah. Ini adalah jalan
salib. Untuk mentolerir
musuh-musuh kita sangat sulit,
tapi Yesus ingin
kita mengasihi mereka! Untuk
membantu diri kita sendiri kadang-kadang
melelahkan, namun Yesus meminta kita untuk juga memberikan tangan Anda
kepada orang-orang miskin di sekitar
kita.
Kita menghormati salib suci, bukan karena kita memuja kekejaman yang dibawanya, tetapi karena Tuhan ada di sana. Salib mendorong kita untuk
mengasihi
melebihi diri kita sendiri. Hanya karena
kasih, kita menemukan keselamatan
kita. St. Yohanes dari Salib
telah mengatakan bahwa pada akhir hidup kita, kita akan diadili oleh seberapa besar kita mengasihi. Romo Nicanor Austriaco,
OP, seorang ahli mikrobiologi dan pakar etika dari Amerika, mengusulkan bahwa pada
akhir hidup kita, Yesus akan
menyodorkan pertanyaan yang sama Dia ditujukan
kepada Petrus, “Apakah
engkau mengasihi Aku?” Dan kita hanya bisa menjawab pertanyaan ini
jika kita telah memanggul salib kita sampai akhir.
Frater Valentinus Bayuhadi
Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment