Minggu Biasa ke-23
8 September 2013
Lukas 14:25-33
“Barangsiapa tidak
memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.”
Injil menceritakan bagaimana kerumunan orang-orang berduyun-duyun mengikuti Yesus. Mungkin, jika Yesus memiliki akun Twitter, jutaan orang
akan mengikuti Dia, bahkan lebih dari
jumlah pengikut Lady Gaga dan Justin Bieber digabungkan sekaligus! Namun, Yesus mengerti bahwa hanya menjadi bagian dari sebuah kerumunan itu sangat mudah dan biasanya termotivasi oleh alasan-alasan egois: untuk disembuhkan secara instan, untuk
makan
gratis dan untuk sekedar mendapat hiburan. Sangat dangkal memang! Sebagai bagian dari masa, orang terpikat oleh seorang pemimpin yang
karismatik seperti Yesus, namun saat kebutuhan mereka
terpenuhi atau
sang pemimpin tidak lagi memuaskan, kerumunan ini akan bubar
dengan sendirinya. Dengan demikian, Yesus mengkritik orang-orang dengan
mentalitas
‘masa’ ini.
Kita mungkin adalah seorang Kristiani dengan baptisan dan nama, tetapi tidak
berarti bahwa kita adalah murid-murid-Nya yang sejati. Kita mungkin memiliki
mentalitas
‘masa’ dalam mengikuti Yesus. Kita menjadi Kristiani karena kita dilahirkan ke dalam keluarga
Kristiani.
Kita tetap menjadi Kristiani
mungkin karena pelayanan Gereja selalu penuh semangat dan khotbah-khotbah
Pastor yang lucu. Kita adalah Kristiani karena kita tahu bahwa semua orang memeluk agama ini. Namun, bagaimana jika kita
adalah satu-satunya orang Kristiani dalam keluarga dan masyarakat, atau ibadah di Gereja membosankan, atau
menjadi Kristiani tidak lagi menguntungkan dan bahkan mengancam jiwa, apakah kita akan setia dengan identitas kita sebagai seorang
Kristiani?
Yesus
menantang kita
untuk menjadi murid yang sejati, “Barangsiapa
tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Jati diri
sebagai seorang murid yang otentik hanya dapat
dicapai melalui salib. Bahkan, jalan salib adalah jalan Yesus. Gereja selalu
mengajarkan kita bahwa penebusan kita dimenangkan melalui sengsara, wafat
(penyaliban) dan kebangkitan Yesus, dan tidak sekedar dengan mujizat-mujizat-Nya. Terlahir sebagai orang Kristiani tidaklah cukup, kita harus dilahirkan kembali dalam pengalaman iman dan salib
yang otentik.
Menjadi Kristiani, kita tidak mencari pemenuhan goal-goal pribadi kita, tetapi kita
harus berani untuk menanggalkan ambisi-ambisi pribadi
kita. Seperti Yesus membawa salib-Nya, sabar menanggung penderitaan
yang besar dan meninggal dengan cara
yang paling
mengenaskan, kita juga diminta untuk
menerima salib kita, jika
tidak, kita tidak akan pernah mengalami kebangkitan yang sejati. Menjadi satu-satunya orang Kristiani dalam keluarga dan masyarakat memang tidak mudah, tapi ini memurnikan kita dari
ambisi-ambisi pribadi. Ketika liturgi tampak begitu membosankan, kita sesungguhnya diajak untuk tidak
sekedar mencari kepuasan emotional dalam liturgi, tetapi untuk menghargai bagaimana rahmat Allah hadir bahkan
dalam peristiwa hidup yang paling sederhana. Ketika iman kita dipertanyakan dan ditantang, hal ini
ternyata menjadi kesempatan penuh rahmat untuk mencari jawaban dan memperdalam
pemahaman kita tentang iman kita. Jalan salib tidak pernah mudah, tetapi menantang dan menghancurkan mentalitas ‘masa’ dan membentuk kita menjadi murid Yesus yang sejati. Oleh karena
ini, jangan pernah takut memikul salib! Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment