Minggu
Pra-Paskah keempat
30
Maret 2014
Yohanes
9:1-41
“Tuhan, aku percaya (Yoh 9:38)”
Ada mentalitas di zaman Yesus bahwa penyakit dan
penderitaan adalah hukuman dari Allah. Mereka dihukum karena dosa-dosa mereka atau orang tua mereka.
Inilah sebabnya mengapa dalam Injil hari ini kita mendengar bahwa para Farisi
bisa dengan mudanya
berkata kepada orang buta yang
baru disembuhkan, “Engkau ini lahir sama sekali dalam dosa dan
engkau hendak mengajar kami?” Dia dilahirkan
dengan cacat di matanya dan dia harus mengemis untuk hidup. Pastinya si buta ini adalah
pendosa besar dan layak menderita.
Ini adalah
sebuah penjelasan kuno terhadap realitas penderitaan, namun
percaya atau tidak, pola pikir
seperti ini masih
mencengkram pemahaman kita. Ketika hujan deras menyebabkan banjir besar di Metro
Manila bulan Agustus tahun lalu, beberapa orang mulai membuat hubungan dengan
murka Allah kepada pemerintah Filipina saat ini. Mereka berpendapat bahwa
rakyat Filipina dihukum karena
DPR and pemerintah Filipina bersekutu untuk membuat Reproductive Health Bill (yang mendukung kontrasepsi buatan) menjadi undang-undang.
Interpretasi lain
tentang banjir besar ini datang dari Nanay Lina (bukan nama sebenarnya). Dia
tinggal di dekat Gereja Santo Domingo, dan ketika rumahnya terendam banjir, ia
berlindung dan
mengungsi di Gereja Santo Domingo. Dia menceritakan kisahnya dengan
beberapa frater, “Tuhan menghukum
kita karena ada banyak pecandu
obat terlarang di dekat
rumah saya!”
Mengapa kita berpikir seperti ini? Realitas penderitaan
dan kematian memang tak terhindari dan menjangkiti semua orang, dan di dalam lubuk hati kita,
kita tidak bisa mengerti
misteri penderitaan
harus terjadi ini. Mengapa hal-hal
ini terjadi di
dalam hidup kita? Kemudian, untuk menemukan pelipur lara, kita mulai
memproyeksikan kelemahan ini kepada orang lain yang lebih menderita. “Oh, ia bernasib lebih
buruk, maka
saya harus bergembira!”
Lebih buruk lagi, kita mengalihkan ketidaksempurnaan kita kepada Allah. Kita membalas
dendam setiap kali kita menerima perlakuan buruk, dan karena itu, Allah kita pastinya akan juga membalas tindakan
jahat manusia dengan penderitaan yang setimpal. Namun, ini
adalah kesalahan fundamental! Tanpa disadari, kita membentuk Allah kita menurut
gambar dan rupa kita dan bukan kita menurut gambar dan rupa-Nya.
Untungnya, Tuhan
yang pendendam dan suke menghukum ini bukanlah
Tuhannya Yesus, Allah Israel yang sejati. Yesus menjadi sensasi instan bukan
hanya karena Dia menyembuhkan banyak orang dengan cara eksentrik
(Dia menggunakan lumpur yang dicampur dengan air liur-Nya!), tetapi juga
membebaskan mereka dari mentalitas negatif dan memuakkan ini. Yesus menantang status quo para pemuka agama Yahudi
dan Dia
memperkenalkan pemahaman yang benar tentang Allah. Dia tidak hanya memulihkan
kesehatan, tetapi lebih mendasar lagi, Dia menaanamkan iman yang benar di hati orang-orang yang
disentuh-Nya. Tuhan kita bukanlah pendendam ataupun Tuhan yang haus akan darah, tapi
penuh kasih dan siap
memaafkan kesalahan kita. “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar melainkan orang berdosa.”
Inilah sebabnya
mengapa setelah penyembuhan, Yesus meminta
pengakuan iman dari
mereka. “Apakah kamu percaya pada Anak
Manusia?” Yesus tanya pria itu. Dia kemudian menyerukan imannya kepada
Yesus, “Tuhan , saya percaya.”
Masa Pra-Paskah menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk
berintrospeksi, “Siapakah Allah kita?”
Ambil napas dalam-dalam dan berhenti sejenak. Dalam kedalaman hati kita, kita
mencari jawaban yang jujur: “ Apakah Dia sekedar refleksi kemanusiaan kita yang lemah? Atau Dia adalah Allah yang benar dan hidup?"
Kebenaran yang kita temukan mungkin menyakitkan,
dan kita mulai menolaknya
seperti halnya
orang-orang
Farisi di Injil hari
ini, tetapi kita juga berbahagia karena Yesus secara
perlahan telah
membuka mata kita dan
kita
dapat dibentuk menurut gambar-Nya dan rupa.
Frater
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment