Minggu
Pertama Pra-Paskah
9
Maret 2014
Matius
4:1-11
“Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun…(Mat 4:1)”
Seorang rahib
pernah berkata bahwa kita perlu mengunjungi tempat baru setidaknya
setahun sekali.
Awalnya, ide ini
biasa-biasa saja. Saya senang
berkunjung ke berbagai tempat dan satu lokasi baru setahun sepertinya bukan hal yang
mustahil. Namun, mengapa
seorang rahib, yang bahkan tidak pernah keluar dari pertapaannya,
menyarankan ide ini? Hidup
di dalam pertapaan yang kecil, dia bisa melihat
semua sudut pertapaannya
kurang dari seminggu! Saya menyadari bahwa
ini bukanlah perjalan biasa. Ini
tidak hanya tentang berwisata
ke tempat menakjubkan seperti Piramida Giza
di Mesir atau Menara
Eifel di Paris, tapi
sebuah perziarahan menuju hati kita yang
terdalam. Bahkan,
ini adalah perjalan yang paling sulit dan langka bagi kita, manusia modern!
Kita adalah manusia generasi kontemporer, biasanya juga dijuluki ‘generasi
digital’. Orang-orang
dewasa yang berusaha untuk
beradapatasi teknologi-teknologi baru
disekitarnya disebut sebagai ‘digital migrants’,
sedangkan anak-anak yang lahir
dengan gadget-gadget ini
disebut ‘digital
natives’. Apakah kita adalah migrant ataupun native, kenyataannya
adalah bahwa kita tidak bisa lepas dari
jerat perangkat nirkabel ini. Seorang teman yang juga seorang manajer di sebuah bank,
menceritakan
bagaimana dia menerima 200 email setiap paginya. Sudah lazim untuk melihat anak-anak
kecil di Metro Manila
begitu asyik bermain
dengan iPad atau Tablet mereka sampai melupakan hal lainnya.
Saya sendiri bersalah dalam hal ini karena saya menghabiskan waktu saya di
depan laptop hanya
untuk menyelesaikan refleksi ini!
Rekan-rekan
terkasih, kita memasuki Masa
Prapaskah dan Yesus mengundang kita untuk berjalan
ke tempat yang tidak
biasa, sebuah
padang gurun. Saya belum pernah melihat gurun, tapi kita bisa berasumsi
bahwa ini adalah tempat yang
penuh kesunyian dan di mana kehidupan menghadapi bentuk paling sederhananya. Kita perlu
menghabiskan ribuan dolar untuk pergi ke Tanah Suci dan mengalami padang gurun karena
ada tempat dalam diri kita yang
bisa kita sebut sebagai padang guru: hati kita sendiri. Namun, masalah besar
yang kita hadapi adalah sebagai generasi digital, kita mudah terganggu. Teknologi
disekitar kita sungguh menguntungkan bagi kehidupan manusia, tetapi mereka membawa kita lebih
jauh dari diri kita sendiri. Benar, sekarang walaupun tinggal di Manila, saya bisa
dengan mudah berkomunikasi dengan keluarga saya di Indonesia melalui BlackBerry,
tetapi karenanya hampir
setiap jam, saya selalu tergoda untuk melihat BB saya tersebut, walaupun tidak ada pesan
di dalamnya. Manusia-manusia
modern seperti
kita lebih peduli dengan apa yang kita pegang di
tangan daripada apa yang ada dalam hati
kita.
Masa Prapaskah menjadi kesempatan bagi kita untuk menyisihkan identitas
‘post–modern’ kita,
meninggalkan perangkat
nirkabel kita
sejenak, dan masuk ke dalam keheningan hati. Di padang
gurun, kita mungkin menemukan
hasrat-hasrat kita yang tidak murni, menemukan bagaimana lemahnya
kita dan bahkan melihat
iblis bekerja di dalam kita. Namun, tanpa perjalanan ini, kita tidak pernah
menemukan para malaikat yang akan menghibur kita dan Allah yang setia berjalan
dengan kita melalui
suka duka kehidupan.
Frater
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment