Jumat
Agung
April
18, 2014
Yoh
18:1 – 19:42
“Sudah
Selesai (Yohanes 19:30)”
Setiap orang memiliki tujuan hidup dan kita
hidup untuk mencapai tujuan ini. Hanya melalui pemenuhan tujuan hidup ini, kita
dapat merasakan apa itu
kebahagiaan sejati. Pertanyaannya kemudian, apakah tujuan hidup kita?
Tuhanpun bersabda, “Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap akal
budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan, kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri (Markus 12:30-31).” Namun, tujuan hidup kita yang besar ini hanya
dapat dicapai dengan mencapai tujuan
hidup kita sehari-hari. Jika kita adalah pelajar, belajar
dengan ketekunan adalah tujuan hidup
kita. Jika Anda adalah seorang suami, maka kasih yang total
dan kesetiaan yang
tulus untuk istri anda adalah tujuan hidup Anda. Jika
saya seorang frater biasa yang memiliki misi untuk memberitakan Injil, tujuan hidup saya sekarang
adalah untuk menulis refleksi ini
denga baik dan untuk menunjukkan kepada anda semua kasih Allah yang bahkan lebih besar lagi
dalam hidup anda.
Sekarang, mari kita berhenti
sejenak dan mencoba untuk merefleksikan tujuan hidup Yesus. Tidak diragukan lagi, Ia dikirim untuk
menyelamatkan kita. Namun, pertanyaan yang membingungkan kita hari ini: Mengapa
Dia harus menderita dan mati di kayu salib untuk menyelamatkan kita? Dalam
Injil hari ini , Yesus mengalami siksaan mengerikan dan akhirnya meninggal
sebagai penjahat. Tentunya,
hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari ketaatan-Nya kepada
Bapa. Tunggu dulu! Apakah ini berarti bahwa Tuhan Allah menginginkan kematian Anak-Nya secara kejam? Tapi, mengapa?
Apakah Allah menghukum Yesus? Namun, Yesus tidak berdosa dan tidak layak dihukum. Apakah
ini berarti Allah menghukum Yesus karena kesalahan-kesalahan
kita? Jika kita setuju dengan pendapat ini, kita menempatkan Allah dalam
perspektif yang sangat negatif: jika kita melihat bahwa Dia merencanakan penderitaan
dan pembunuhan Anak-Nya, maka kita melihat
Allah sekedar
sebagai pembunuh!
Tentunya, untuk melihat Tuhan
sebagai pembunuh Anak-Nya sendiri sesuatu
yang tidak terpikirkan. Tapi kemudian, bagaimana kita akan memahami misteri penderitaan dan kematian Yesus ini
? St. Yohanes
mengatakan bahwa Allah adalah kasih dan hanya melalui kasih, kita dapat memahami jalan-Nya
(lih. 1 Yohanes 4:16). Allah
Bapa tidak pernah bertujuan pada kematian Yesus, tetapi apa yang Dia ingin adalah bahwa
Yesus mengasihi kita sampai akhir dan memberikan nyawa-Nya sendiri untuk demi
kasih adalah sebuah
kemungkinan dan konsequensi nyata. Pengkhianatan, siksaan
dan kematian fisik mungkin menjadi
konsekuensi yang tidak dapat dihindari, tetapi meskipun hal-hal terburuk
menimpa-Nya, Yesus mengasihi kita sampai akhir. Seperti St. Petrus berkata, “Tetapi yang terutama: kasihilah
sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa
(1 Pet 4:8).” Sungguh, kasih
Kristus tak terkira dasyatnya dan
menghapus semua dosa-dosa kita.
Untuk mengasihi secara total
adalah sangat sulit, berbahaya dan bahkan mematikan, tetapi tanpa itu, kita
tidak pernah mencapai tujuan hidup
kita. Saya ingat
cerita oleh Uskup Pablo David dari Philippines tentang seorang istri yang
ditinggalkan oleh suaminya dan
lari dengan wanita lain. Dia ditinggalkan sendirian untuk membesarkan
tiga anak kecilnya. Namun, alih-alih mencari pria lain, ia tetap setia kepada
janji pernikahannya. Kemudian, ketika suaminya dilanda penyakit serius dan
ditinggalkan oleh kekasih gelapnya, sang istri membawa suaminya pulang dan
merawatnya sampai kematiannya. Saat
pemakaman, seorang teman bertanya mengapa dia melakukan semua ini. Jawabannya
sederhana, “Dia adalah suami saya dan saya istrinya.”
Lihat apa yang kasih dapat lalukan
dalam hidup kita!
Jumat Agung tidak hanya
mengingatkan kita tentang penderitaan dan kematian Kristus, tetapi terutama
tentang kasih-Nya yang sungguh
besar. Ia memaafkan mereka yang mengolok-olok Dia, Dia membela orang-orang
yang menyalibkan Dia depan
Bapa, dan Dia memeluk sahabat-sahabat-Nya
yang mengkhianati dan lari dari-Nya. Di kayu salib, Dia mengajarkan kita
bagaimana mengasihi ditengah-tengah
penderitaan. Untuk mengasihi
pasangan hidup kita
yang semakin tua tidak
pernah mudah, tapi kasih
itu sabar (1 Kor
13:4). Untuk mengasihi
anak-anak kita
yang terkadang keras kepala dan tidak pernah menghargai kerja keras
kita untuk mereka
adalah sangat sulit, tapi kasih
sabar menanggung
segala hal (1 Kor 13:7) . Meskipun hal
terburuk di dunia ini melanda kita, kasih-Nya tidak pernah gagal
dan tidak berkesudahan (1
Kor 13:8). Ini adalah kasih Kristus bagi Anda dan saya. Dan kemudian, ketika kita
telah mengasihi sampai akhir, bersama-sama dengan Yesus, kita berani berkata,
“Hal ini terpenuhi”.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment