Hari Minggu Paskah ke-6
25 Mei 2014
Yohanes 14:15-21
“Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh
Bapa-Ku dan Akupun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya (Yoh
14:21).”
“Cinta itu buta”. Apakah pepatah ini benar
adanya? Ketika berjalan-jalan
di mall, saya melihat sepasang muda-mudi
bergandengan tangan. Kombinasi sempurna: pemudanya tampan dan pemudinya cantik. Namun, ada kalanya, saya menemukan pasangan di luar
dugaan, seorang gadis yang
sangat cantik tapi dengan seorang pemuda yang wajahnya sulit digambarkan! Memperhatikan
mereka, saya mengerutkan dahi dan berkata pada diri saya sendiri, “Sungguh, cinta itu buta.”
Melihat realitas sosial kita saat ini, cinta benar-benar
bisa menutup “mata” kita dan membuat kita
gila. Bukan rahasia lagi jika di kota-kota besar seperti Manila dan Jakarta, banyak
anak-anak muda yang sudah aktif berhubungan seks pra-nikah. Menjadi muda dan petualang,
hubungan kasih yang murni dapat dengan mudah meledak menjadi hawa nafsu. Namun, kaum muda ini belum siap untuk menghadapi konsekuensi yang lebih besar dari kehidupan. Beberapa gadis hamil di usia
dini. Beberapa remaja laki-laki memiliki keberanian untuk bertanggung jawab, namun karena masih labil, mereka
akhirnya sangat kesulitan membangun
keluarga. Beberapa pria yang lain meninggalkan kekasih mudanya yang hamil. Gadis-gadis miskin ini
akhirnya menjadi korban utama dan dipaksa untuk menghidupi bayinya secara
mandiri. Dia beruntung jika dia
memiliki keluarga untuk mendukung, tapi jika tidak, dia akan
memilih pilihan yang tak terbayangkan sebelumnya
seperti pembuangan bayi di
panti asuhan atau bahkan membunuh bayi melalui aborsi. Impian muda
dan masa depan mereka hancur dalam
sekejap. Ini adalah cinta yang membutakan kita.
Namun, apakah itu cinta sejati? Kita setuju bahwa ini
bukanlah cinta sejati. Perasaan
yang intens di
antara pasangan muda mungkin menjadi bagian
dari asmara, tapi
itu bukanlah yang utama. Ini mungkin hanya nafsu yang menyembunyikan dirinya
atas nama cinta. Namun, apakah ini berarti
pepatah tua “cinta itu buta” benar-benar konyol? Mari kita lihat realitas lain di
kehidupan. Ketika kita melihat
pasangan suami-istri yang telah lanjut usia dan tetap
setia satu sama lain hari demi hari, kita pun bertanya kenapa. Sang istri tidak lagi cantik dan pasti penuh
dengan kerutan, dan pria itu tidak lagi
sehat dan besar perutnya. Mereka tentunya menhadapi banyak krisis dalam
kehidupan pernikahan mereka. Mungkin mereka memiliki anak-anak yang sangat keras
kepala dan suka memberontak. Semua yang mereka investasikan sepertinya tidak akan kembali kepada mereka. Jadi, mengapa mereka tetap
setia? Jawabannya
mudah, karena cinta itu buta.
Cinta membutakan mereka untuk melihat ketidaksempurnaan
dan kekurangan. Cinta menutup mata mereka terhadap penampilan fisik yang
terus menurun dan masalah keuangan yang tak
kunjung berakhir. Cinta menutup pandangan
mereka untuk sekedar melihat pernihakan sebagai untung-rugi. Tapi, mengapa
cinta harus membutakan kita? Karena Cinta memampukan kita untuk melihat lebih jelas. Untuk melihat apa? Untuk melihat
realitas yang lebih dalam dari cinta itu sendiri.
Membaca Injil hari ini, kita menemukan bahwa cinta
sebenarnya adalah kemampuan untuk melihat. Untuk mengasihi Yesus dan menjalankan
perintah-Nya membawa kita
untuk melihat-Nya dalam diri kita karena kita selalu di dalam Dia. Ya, Yesus
telah naik kepada Bapa, namun saat kita mencintai secara radikal, kita mulai
melihat Dia dalam orang yang sangat kita cintai. Yesus sekali lagi hadir di
tengah-tengah kita. Ingatlah bahwa Allah adalah kasih, dan ketika ada cinta,
Tuhan ada di sana.
Kita dapat dengan mudah mengatakan “I love
Jesus” dalam persekutuan doa-doa kita, tetapi jika cinta tidak menjadi aksi nyata, kita tidak pernah melihat Yesus. Mengasihi Yesus berarti mau merawat orang tua kita yang semakin tua; mencintai Yesus
berarti mau mendengarkan
teman-teman kita yang terkadang banyak menuntut; untuk mencintai Yesus berarti mau bangun ditengah malam
untuk menenangkan bayi kita yang terbangun
dan menangis. Jika cinta tidak membutakan kita pada ketidaksempurnaan ini, kita tidak
pernah mencintai sepenuhnya. Dan jika kita tidak cintai secara total, kita tidak pernah melihat Yesus
lagi.
Frater
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment