Minggu Paskah keempat/Minggu
Gembala yang Baik
11 Mei 2014
Yohanes
10:1-10
“…siapa
yang masuk melalui pintu, ia adalah gembala…(Yoh 10:2)”
Hari ini, dengan gembira kita
merayakan Hari
Minggu Gembala yang Baik. Tidak diragukan lagi, hati kita melihat Yesus
sebagai Gembala yang baik
di dalam hidup kita. Tetapi, jika
mencermati Injil hari ini, Yesus tidak secara eksplisit menyebut diri-Nya sebagai
Gembala yang Baik, melainkan Pintu
atau Gerbang
keselamatan. Jadi, siapakah
gembala baik yang
Yesus maksudkan?
Saya teringat
kata-kata dari Provinsial saya,
Rm. Gerard Timoner, OP dalam salah satu konferensi-nya kepada
frater-frater Dominikan
bahwa kita adalah “brother-shepherding brother”. Kita
adalah gembala bagi satu
sama lain terutama ketika formator tidak sekitar! Kebenaran yang mendasari perkataannya adalah
bahwa kita masing-masing adalah gembala
yang mengikuti Yesus sebagai pola dasar kita. Seorang uskup
adalah gembala utama dalam keuskupan dan sementara pastor paroki adalah gembala
yang mendedikasikan
diri untuk umat
lokal. Secara
khusus di Indonesia, seorang imam juga disebut ‘pastor’ (kata Latin
untuk gembala). Namun, menjadi seorang gembala bukanlah hanya untuk kaum tertahbis.
Seorang ayah dan ibu
adalah seorang gembala yang keluarganya. Seorang pekerja menjadi gembala bagi
rekan-rekan kerjanya. Bahkan seorang
kakak adalah gembala berpengaruh terhadap adik-adiknya. Sebuah
studi baru-baru ini dikutip National Geographic Indonesia mengungkapkan bahwa
anak yang lebih tua memiliki dampak yang lebih besar di dalam membentukan
bahasa dan karakter dari adik-adiknya.
Dalam dunia manusia yang berkaitan erat ini,
kita dipanggil untuk menjadi gembala yang baik. Sekarang kita lihat kembali Injil hari ini dan membaca
kata-kata Yesus dengan seksama. Dia menjelaskan beberapa tindakan seorang gembala: ia
masuk melalui pintu gerbang, memanggil domba dengan nama mereka, dan membawa
domba keluar. Singkatnya, ada keintiman dan rasa saling memiliki antara gembala dan kawanan domba. Ini adalah karakter and nilai utama yang
harus memiliki seorang
gembala baik. Namun, harus
diakui bahwa kurangnya keintiman yang tulus dan rasa
saling memiliki adalah problema mendalam dari masyarakat
kontemporer. Andrew Matthews, seorang penulis psikologis populer, menyebut
sebuah penelitian bahwa
banyak orang
merindukan seseorang yang
dapat dengan tulus mendengarkan mereka. Bagi sebagian orang, dunia ini adalah sebuah kesepian.
Lalu, bagaimana kita, para
gembala yang baik, mengatasi hal
ini? Paus Fransiskus pernah mengatakan kepada para kardinal dan uskup agar merekapun memiliki “bau” seperti
domba. Hanya dengan menjadi satu dan
berbaur dengan
domba-domba ini kita sungguh menjadi gembala yang baik. Paus
Fransiskuspun
memberi teladan yang baik. Sebelum ia terpilih sebagai Paus dan menjabat sebagai
seorang uskup agung, ia mengunjungi dan merayakan
misa di daerah kumuh di Buenos Aires secara rutin. Dia
dicintai oleh orang-orang karena dia ‘berbau’
seperti jemaat yang
dilayaninya.
Pada
dasarnya, saya adalah seorang introvert, yang berarti saya lebih
suka berada dalam kesunyian untuk menemukan makna dan kekuatan, daripada berada di dalam
kerumunan. Tapi, ketika saya diminta untuk menjadi koordinator Mukha Ad, sebuah kelompok pembinaan kaum
muda di seminari,
saya memutuskan untuk meregangkan diri dan melemparkan diri ke sebuah interaksi sosial yang
tak terbayangkan
sebelumnya. Menghabiskan hari Minggu saya dengan anak-anak muda, menyelenggarakan
acara bersama,
dan mendengarkan keluh-kesah mereka menjadi rutinitas saya. Walaupun sangat sulit, sayapun
menemukan makna dan kebahagian. Saya tidak bisa menjadi gembala
yang baik jika saya tidak pergi keluar dari comfort zone saya dan berbau seperti anak-anak muda ini. Yah,
setidaknya, aroma ini kaum
muda jauh lebih baik dari domba!
Melihat kembali ke dalam hidup
kita, apakah
kita menghabiskan waktu yang berkualitas
dengan mendengarkan sahabat-sahabat kita, atau kita hanya fokus
pada diri kita sendiri? Apakah kita memberi
perhatian yang
intensif kepada anak-anak kita, atau sekedar berpikir bahwa mengirim
mereka ke sekolah yang baik sudah cukup dari
cukup? sudahkah
kita menjadi gembala yang baik bagi sesama?
Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno,
OP
No comments:
Post a Comment