Minggu Biasa ke-30
26 Oktober 2014
Matius 22:34-40
“Guru,
hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?”
Pastor Nicanor Austriaco, OP,
seorang imam pendamping di salah satu rumah sakit di New York City, pernah ditanya oleh seorang ateis
yang sedang sekarat, apakah ia telah menghidupi hidupnya dengan layak. Pastor Austriaco kemudian bertanya,
“Apakah
kamu telah membuat seseorang merasa bahwa hidupnya dihargai, bermakna dan dicintai?” Sang
ateis ini terdiam
sejenak,
lalu mengangguk dengan sebuah senyum kecil. Pastor Austriaco pun juga tersenyum, mengetahui bahwa dia telah mempersiapkan pria ini untuk meninggalkan kehidupan duniawi ini dengan tenang.
Pertanyaan pria ini adalah salah satu pertanyaan yang
paling mendasar yang pasti akan
datang menyapa kita. Pertanyaannya ini
terbukti menjadi pertanyaan yang paling sulit dijawab
karena hanya bisa dijawab oleh hidup
kita ini, bagaimana
kita menjalani hidup kita.
Jawabannya dapat berupa penyesalan
yang menyakitkan atau sukacita yang
mendalam. Pertanyaannya ini
adalah pertanyaan yang paling penting, dan ini menggemakan
pertanyaan dari para Farisi kepada Yesus
dalam Injil hari ini, “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?”
Bagi orang-orang Yahudi, Hukum Musa atau Taurat
adalah undang-undang
yang mengatur kehidupan
mereka (sebagai contoh adalah “Sepuluh
Perintah Allah” dan
masih banyak lagi). Ini adalah perjanjian
yang mengikat mereka sebagai Umat Allah, bangsa
yang terpilih. Ini adalah jaminan
bahwa Allah benar-benar menjaga mereka. Dengan
demikian, mereka memegang Hukum ini
sebagai sangat berharga, sesuatu yang harus dijaga
dari generasi ke generasi, dan dibela bahkan
oleh hidup
mereka sendiri. Seperti sabda
Musa kepada bangsa Israel, “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari
ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang
kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila
engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau
bangun (Ul 6:6-7)”
Sebagai seorang Yahudi, Yesus tahu hal ini dengan sangat baik, tetapi ketika Ia menghadapi pertanyaan
dari orang Farisi, ia mengunakan kesempatan
ini
untuk mengungkapkan kebenaran
mendasar dari Hukum Taurat, kebenaran yang
paling mendasar dalam kehidupan setiap
orang Israel dan memang kebenaran mendasar dari kehidupan kita semua. Orang-orang Farisi terkenal karena pengetahuan mereka dan ketaatan mereka terhadap hukum Taurat, tapi ada sebuah bahaya besar
yang mereka hadapi, bahwa mereka tidak
lagi melihat hal yang paling penting dalam Hukum Taurat karena mereka terlalu sibuk dalam hal-hal kecil dan rinci. Intinya bukanlah tentang beberapa banyak hukum yang mereka telah penuhi, tapi seberapa dalam mereka
telah mengasihi dan bagaimana kasih
mereka telah mempengaruhi hidup orang
lain. St. Paulus mengingatkan pentingnya sebuah kasih kepada jemaat di Korintus, “Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala
sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku
tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku. (1
Kor 13:3)”.
Seperti orang-orang Farisi, kita mungkin terlalu sibuk dengan aktivitas kita sehari-hari, namun melupakan yang
paling mendasar dalam kehidupan kita. Kami menghabiskan berjam-jam di tempat kerja, namun menuangkan
sedikit waktu yang berkualitas bagi pasangan dan anak-anak kita. Kita terlalu sibuk dengan pelayanan kita dan
lupa dengan waktu tenang dengan Tuhan yang
adalah sumber dan akhir dari semua pelayanan kita. Tidak peduli siapa kita, orang tua, suami, istri, imam, biarawati,
pekerja, mahasiswa, kaum muda, jika kita ingin bahagia, pertanyaannya tetap sama: “Seberapa dalam kita telah
mengasihi?”
Frater
Valentinus Bayuhadi Ruseno,
OP
No comments:
Post a Comment