Minggu Biasa ke-5
8 Februari 2015
Markus 1:29-39
“Pagi-pagi
benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat
yang sunyi dan berdoa di sana. (Mrk 1:35).”
Apakah
kamu pernah berdoa?
Tentu saja! Kita
mungkin berdoa dengan cara yang agak berbeda, tetapi pastinya kita berdoa. Beberapa dari kita berdoa rosari suci atau
novena kudus
setiap hari. Beberapa
mungkin memulai dan mengakhiri hari
dengan doa sederhana. Kita juga terbiasa mengucapkan
doa sebelum dan sesudah makan. Setelah beberapa
waktu tinggal di Filipina,
saya menyadari bahwa orang-orang Katolik di Filipina membuat tanda salib setiap
kali mereka melewati sebuah
gereja sebagai tanda devosi
mereka. Banyak dari kita mengunjungi
dan
beradorasi di hadapan Sakramen Mahakudus; belum lagi devosi kita terhadap
Santa Perawan Maria dan orang-orang kudus di surga. Tidak lupa juga bahwa berpartisipasi dalam
Misa Kudus adalah
bentuk tertinggi dari doa kita sebagai
seorang katolik .
Namun, tenggelam dalam berbagai bentuk doa setiap harinya, apakah kita pernah bertanya dan mencoba memahami, apakah arti sebuah doa? Tanpa kita sadari, kita
sejatinya berdoa dalam sebuah tradisi, dan tradisi ini berbicara banyak
tentang keunikan doa kita.
Tradisi Katolik agak
berbeda dari saudara-saudara
kita Protestan. Misalnya,
mereka tidak berdoa rosario seperti kita. Jalan umat Kristiani berbeda dari saudara-saudara kita Muslim. Misalnya, hari Jumat adalah hari suci mereka, sementara
kita adalah hari Minggu.
Lalu, apakah tradisi yang kita ikuti? Saya berani
mengatakan bahwa tradisi kita adalah tradisi
Yesus. Kita berdoa sebagai mana Yesus berdoa, dan setidaknya ada tiga
karakteristik dasar tradisi Yesus ini. Pertama,
doa kita pada dasarnya interpersonal. Ini
berarti doa kita menghubungkan dua orang atau dua pihak. Tentu saja,
itu adalah antara kita dan Tuhan.
Itu sebabnya dalam doa, kita berkomunikasi dengan Tuhan seolah-olah kita berbicara dengan teman kita sendiri. Bahkan, Yesus secara
radikal mengajarkan kita untuk memanggil
Allah kita, Bapa (lih Luk 11: 1-4). Inilah tradisi kita, tradisi yang
memiliki Allah sangat dekat dengan kita!
Kedua, doa kita tidak hanya menghubungkan
dua pribadi tapi juga doa kita adalah sesuatu
yang personal. ‘Personal’
disini berarti kita dapat membuka hati kita, berbagi keinginan dan
impian kita dan mengekspresikan semua
cerita kita kepada Tuhan. Saya sering pergi ke Gereja Quiapo di jantung kota Manila, di mana umat yang tak terhitung jumlahnya berdoa di hadapan
Black Nazarene, dan saat saya berdoa, saya menyaksikan beberapa
orang berlutut dan menumpahkan
air mata mereka. Doa mereka mengingatkan saya pada doa Tuhan Yesus di Taman Getsemani. Ketika
hal-hal yang begitu suram dan, Yesus tidak pernah berhenti berdoa dan
berkata,
“Ya Abba, ya Bapa,
tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi
janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki. (Mar 14:36).”
Karena doa kita pada dasarnya interpersonal,
sangat masuk akal bagi kita untuk berdoa bagi orang lain. Seperti layaknya sebuah percakapan, kita tidak
berbicara hanya tentang diri kita
sendiri, tetapi juga berbicara
tentang orang lain dan berharap hal-hal baik terjadi pada
mereka. Dengan demikian, dalam
doa, kita mengungkapkan juga
hal baik untuk orang lain dan
berharap bahwa Allah akan mewujudkannya. Pada akhir
kunjungan pastoral Paus Fransiskus ke Filipina Januari lalu, Kardinal Tagle dari Manila berjanji bahwa umat
katolik Filipina akan berdoa untuk
Bapa Suci dan ia
meyakinkan Fransiskus bahwa bahkan
Yesus sendiri telah berdoa untuknya. Dalam
Perjamuan Terakhir, Yesus mengatakan kepada Petrus, “Aku telah berdoa untuk engkau,
supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah
saudara-saudaramu (Luk 22:32).”
Akhirnya, Injil hari ini mengungkapkan bahwa kita berdoa tanpa henti. Yesus berdoa di pagi hari sebelum menjalankan
misi-Nya, namun dalam ayat
lain, Yesus masuk ke tempat sunyi setelah pelayanan-Nya (lik Mrk 06:46). Ia berdoa sebelum
Ia memilih murid-Nya dan
Dia berlutut di taman, sebelum Ia memasuki penderitaan-Nya. Doa Yesus
adalah realitas yang
sangat esensial dalam kehidupan Yesus.
Kemudian, St.Paul sendiri akan mengingatkan
umat di Tesalonika untuk berdoa tanpa henti, karena ini adalah cara Kristus berdoa (1 Tes
5:17).
Kita
berdoa tidak hanya karena
kewajiban yang dibebankan oleh orang tua
kita atau datang ke Gereja karena pastor
paroki mengatakan demikian. Kita
berdoa karena ini adalah tradisi kita, ini adalah identitas
kita, dan ini adalah siapa kita.
Kita berdoa karena Yesus juga
berdoa.
Frater Valentinus Bayuhadi
Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment