Minggu Pertama Prapaskah
22 Februari
2015
Markus 1:
12-15
“Segera sesudah itu Roh memimpin
Dia ke padang gurun. (Markus 1:12)”
Hari ini, kita memasuki hari Minggu
pertama Prapaskah. Masa
liturgi ini mempersiapkan
kita menyambut Paskah. Hal
ini ditandai dengan semangat pertobatan dan pembaharuan baptis. Injil
hari ini memberi kita dasar mengapa ada empat puluh hari dalam masa Prapaskah. Pada
dasarnya, kita
ingin mengikuti Yesus ke padang gurun
selama 40 hari. Seperti
Yesus dibawa oleh Roh, kita akan
juga membuka diri untuk bimbingan Roh. Kemudian,
pertanyaannya adalah: bagaimana rasanya berada di padang gurun?
Jujur, saya
belum pernah ke gurun manapun. Kecuali
melalui beberapa film dan 'Google', pengalaman gurun tidak pernah mencapai
indra saya. Tapi,
belajar dari Alkitab, kita setuju bahwa gurun memang sebuah tempat yang
penting. Dalam
Buku Keluaran,
Musa dan orang Israel berjalan melalui padang gurun selama empat
puluh tahun sebelum memasuki Tanah Perjanjian. Daud
mencari perlindungan yang aman di gurun ketika musuh-musuhnya mengejarnya. Kemudian,
Yohanes Pembaptis sendiri mempersiapkan diri di padang gurun, tidak makan
apa-apa kecuali belalang dan madu. Gurun
di Alkitab ternyata menjadi tempat pembentukan orang-orang pilihan
Allah. Tetapi,
mengapa harus di padang gurun?
Beberapa
studi menyebutkan bahwa gurun di Israel bukanlah seperti di Sahara, Afrika di mana
pasir menutupi seluruh bumi dan kehidupan praktis tidak mungkin. Namun,
gurun di Israel adalah tanah yang tidak produktif karena kurangnya curah hujan,
dan dengan demikian, kehidupan masih mungkin ada. Namun,
perlu diingat gurun
di Palestina bukanlah tempat yang ramah karena binatang liar berkeliaran dan sebuah percayaan bahwa roh-roh
jahat mencari korbannya di sini. Melihat
fitur ini, kita dapat menyimpulkan bahwa gurun di Israel memang bisa menjadi
tempat pelatihan. Namun,
formasi seperti apa
yang akan kita terima di tempat semacam ini?
Antonio de
Saint-Exupery melalui dalam
bukunya ‘Little Prince’
pernah berkata, “Inilah rahasia saya. Hal ini sangat sederhana. Hanya dengan hati
seseorang dapat melihat dengan benar; Apa
yang penting tidak terlihat mata.” Tidak
mengejutkan bahwa
sang penulis mendapat inspirasi ini ketika ia
terdampar di gurun Sahara. Ternyata
bahwa kesendirian dan kekosongan gurun menanggalkan kompleksitas dari hidup kita dan
membawa kita untuk menghadapi kemanusiaan kita yang sejati. Tenggelam
dalam dunia yang serba cepat ini, banyak dari kita telah kehilangan kemampuan
untuk melihat apa yang benar-benar penting, dan oleh karena ini, kita semakin
perlu pergi ke padang gurun. Saya
sendiri adalah
korban dari zaman ini, karena saya
mengerjakan banyak hal yang tidak terlalu penting sekaligus,
dari membaca buku, update status FB saya, dan chatting dengan teman-teman. Beruntung
bahwa saya masih bisa menyisihkan waktu untuk menulis refleksi ini.
Paulo Coelho
memulai
bukunya ‘Warrior
of Light’
dengan kisah seorang anak yang mencari suara lonceng di tepi pantai. Awalnya
ia tidak mendengar
apa-apa kecuali gemuruh ombak dan ia terganggu oleh suara tersebut, tapi
setelah beberapa waktu, dia tidak lagi terganggu, dan bahkan menikmati keindahan gemuruh ombak tersebut. Dan
saat ia masuk ke dalam keheningan di
tepi laut, ia secara bertahap mendengar suara lonceng dari
dalam laut. Ini adalah
pengalaman yang kita butuhkan; berada di
padang gurun. Saya
cukup beruntung bahwa saya memiliki momen gurun ini di novisiat
pada 2010. Selama
hampir empat belas bulan, kita tidak diperbolehkan untuk memiliki komunikasi
dengan dunia luar, tidak ada ponsel, tidak ada berita, tidak ada internet. Tapi,
kita selamat dan bahkan tumbuh berkembang
karena kita berani menghadapi diri kita yang terdalam.
Bagaimana
umat awam yang tidak memiliki kesempatan
untuk masuk novisiat
bisa mengalami pengalaman gurun? Gereja
telah menyediakan masa ini dan kita diundang untuk menghirup semangat
Prapaskah. Apakah
kita pergi ke Gereja dan mendengarkan dengan
sepenuh hati bacaan-bacaan yang indah? Apakah
kita benar-benar berlatih puasa dan pantang, dan mengambil jarak dengan gadget kita? Apakah
kita bisa menghabiskan
lebih banyak waktu dalam doa dan refleksi pribadi, dan bertanya pada diri kita sendiri tentang apa yang
benar-benar penting dalam hidup kita? Prapaskah
memberi kita kesempatan untuk berjalan melalui padang gurun dengan Yesus dan
melihat hal yang
paling penting yang sering
tak terlihat oleh mata.
Frater Valentinus Bayuhadi
Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment