Hari Minggu Biasa ke-11
14 Juni 2015
Markus 4:26-34
“Kerajaan
Allah itu: seumpama orang yang menaburkan benih di tanah (Mrk 4:26).”
Bahkan sebuah benih yang kecil dapat memberikan kita sebuah
pelajaran penting dalam hidup. Di
saat kita memasuki
kembali Masa Biasa
liturgi Gereja, Yesus mengingatkan kita bahwa bahkan sebuah tanaman yang
sangat biasa menyembunyikan kebijaksanaan besar dari Kerajaan Allah. Sungguh, dalam
banyak perumpamaan-Nya, Yesus mengungkapkan kebijaksanaan dan keindahan alam
ciptaan dan kegiatan manusia yang
tampaknya biasa
saja.
Kita ingat bahwa Tuhan menciptakan kita dan dunia berdasarkan
kebijaksanaan-Nya. Dengan demikian, pada
setiap ciptaan,
bahkan yang paling kecil pun, melekat tanda kebijaksanaan-Nya. Ini adalah
tujuan dari Masa Biasa liturgi Gereja: untuk menemukan keindahan dan makna dari
kesahajaan dan kesederhanaan kita.
Sayangnya, kita
sering lupa akan hal ini. Di
bawah pengaruh berat mentalitas post-modern,
kita hanya
menginginkan yang luar biasa dan untuk menjadi seseorang yang luar
biasa. Banyak berita
dipenuhi dengan laporan sensasional dari para pemimpin negara atau
gosip-gosip panas dari
para selebriti. Cerita seorang guru sederhana sangat jarang menjadi bahan berita,
kecuali ia memenangkan penghargaan nasional sebagai pendidik yang sukses. Buku yang
paling laris dan seminar paling
banyak dihadiri tidak lain adalah
tentang bagaimana
mencapai kesuksesan, kekayaan dan prestasi. Orang tidak akan berpikir dua
kali untuk menonton film yang menampilkan superstar dari Hollywood,
tapi pasti akan ragu jika kita harus menghadiri ceramah agama di paroki.
Bahkan, tidak sedikit pengkhotbah Katolik, baik kaum tertahbis dan
awam, juga
mempromosikan budaya sukses
ini. Kebahagiaan adalah
extraordinariness.
Namun, jika
kita mencoba untuk jujur, siapa di antara kita telah berhasil menjadi bintang
film atau menjadi CEO perusahaan raksasa? Mungkin tidak ada. Hanya sebagian
kecil masyarakat yang
dapat mencapai puncak dunia ini, tetapi mayoritas umat manusia pada dasarnya
hidup dalam kesederhanaan. Walaupun faktanya
demikian, kita tidak
bergeming dan terus ingin untuk menjadi seorang bintang. Seorang psikolog dan pemenang Nobel,
Daniel Kahneman, menunjukkan dalam penelitiannya bahwa kita cenderung tidak
proporsional dalam memberikan
perhatian kita pada peristiwa
yang tidak signifikan namun spektakuler dalam hidup kita. Sebagai contoh, setelah
sebuah insiden kecelakaan
pesawat, kita takut untuk bepergian
dengan pesawat. Namun,
statistik jelas menunjukkan bahwa lebih
banyak orang meninggal karena kecelakaan di jalan, tapi kita mengabaikan hal ini dan terus berkendaraan di jalan. Kahneman
pada dasarnya telah
memberikan kita wawasan psikologis tentang mengapa kita ingin memberikan
perhatian yang tidak semestinya untuk yang luar biasa dan mengabaikan begitu saja hal-hal biasa di dalam hidup kita. Tentunya, menjadi sukses dan
bekerja keras untuk mencapai impian adalah baik, tetapi jika kita kemudian
menjadi tidak bahagia dan bahkan lupa akan yang paling penting dalam hidup ini,
kita perlu berhenti sejenak dan mendengarkan Yesus.
Melalui
perumpamaan-Nya, Yesus
mencoba membangunkan kita. Bahkan dalam
kesahajaan hidup, keindahan, kebijaksanaan dan kebahagiaan dapat kita temui. Jika
pertumbuhan yang
tidak kentara dari
sebuah benih kecil dapat mewakili Kerajaan Allah, hidup kita yang sederhana
dan tanpa tanda jasa juga dapat melambangkan kekuatan Allah yang dasyat. Kerja keras kita sehari-hari
dapat membuahkan masa
depan yang lebih baik bagi
anak-anak kita.
Kemauan kita untuk membawa anak-anak kita ke sekolah setiap hari dapat
menyelamatkan mereka dari
banyak masalah
saat mereka menjadi dewasa. Seorang imam yang setia merayakan misa harian dan mempersiapkan
kotbahnya, mungkin
telah menyelamatkan banyak jiwa-jiwa.
Dan ketika kita berhenti sejenak, dan merefleksikan hal-hal biasa dalam
hidup, kita sekarang menyadari bahwa memang mereka menyimpan keindahan karena
Tuhan ada di sana.
Dan, selalu mempunyai alasan untuk bahagia.
Frater Valentinus Bayuhadi
Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment