Hari Raya Tubuh dan Darah Yesus Kristus (Corpus Christi)
7 Juni 2015
Markus 14: 12-16, 22-26
“Inilah
darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang. (Mrk 14:24).”
Tubuh dan
darah adalah dua simbol penting dalam banyak budaya dan masyarakat. Dalam
masyarakat modern, darah dianggap sebagai elemen penting dari kehidupan. Dari
pelajaran biologi, kita mengetahui
bahwa sel-sel darah memiliki
beberapa fungsi, dan dua yang paling signifikan adalah untuk membawa
oksigen dan juga nutrisi
ke seluruh tubuh, dan
untuk melawan bakteri jahat di dalam tubuh. Dengan demikian,
kehilangan banyak darah
bisa berarti kematian. Melihat
pentingnya darah untuk menyelamatkan kehidupan, saya sendiri mendonorkan darah saya sebagai bentuk kerasulan
pribadi.
Bagi
masyarakat Yahudi kuno, darah juga berhubungan erat dengan kehidupan, tetapi
mereka tidak melihatnya dari aspek biologis semata-mata, tetapi juga perspektif
agama. Darah
adalah 'sumber kehidupan', dan karena kehidupan datang hanya dari Allah, maka darah adalah
kudus dan milik Allah saja. Inilah sebabnya mengapa
orang-orang Yahudi tidak makan darah
hewan. Darah
terutama digunakan untuk ritual pengorbanan seperti saat hewan korban disembelih dan
darahnya ‘dipersembahkan kembali’
kepada Tuhan dan juga dipercikan
pada orang-orang
sebagai berkat.
Tidak
seperti halnya darah,
tubuh dilihat dalam sudut-sudut
pandang heterogen dan sering bertentangan. Bagi
beberapa orang,
tubuh adalah penjara jiwa dan dianggap sebagai tidak baik. Bagi
yang lain, tubuh adalah
komoditas komersial semata, baik untuk dimanfaatkan dalam seks atau kerja. Bagi
orang-orang yang
terbelenggu paham materialisme, tubuh adalah satu-satunya hal yang nyata. Namun,
bagi umat
Yahudi dan Kristiani,
tubuh adalah karunia
Allah dan karena ini, adalah suci. Kita berbuat baik, kita
bekerja dan kita menyembah Allah pastinya
melalui tubuh kita. Tubuh
kita bukanlah bejana jiwa kita, tetapi ekspresi intim dari kehidupan. Itulah
mengapa ketika kita mencuri dan tertangkap, kita tidak bisa mengatakan bahwa hanya tangan kita
melakukan kejahatan atau hanya tubuh kita yang melakukan dosa tetapi jiwa kami
bersih. Tentunya,
para penegak hukum akan
menganggap alasan kita sebagai konyol! Kita melakukannya dengan
totalitas kita
sebagai seorang manusia.
Bentuk pengorbanan dasar di Bait Allah Yerusalem
adalah dengan memisahkan
darah dari tubuh
hewan kurban, dan keduanya
dipersembahkan kepada Tuhan. Dalam Perjamuan
Terakhir, Yesus juga melakukan hal yang sebenarnya
sama. Dia memisahkan ‘Darah’ dan ‘Tubuh-Nya’, dan mempersembahkannya
kepada Tuhan dalam
ujud syukur. Yesus
mengubah Perjamuan Terakhir menjadi
peristiwa pengorbanan diri-Nya sendiri. Tapi, Yesus tidak berhenti di situ. Ia
menyelesaikan tindakan radikal pengorbanan-Nya
dengan membagikan
darah dan tubuh-Nya yang paling berharga kepada murid-murid-Nya. Maka Yesus memberi definisi baru sebuah pengorbanan.
Pengorbanan
tidak hanya tentang penyembelihan hewan, tetapi pada dasarnya adalah ketika kita
menyerahkan
diri secara
total bagi Allah dan sesama.
Setiap kali
kita merayakan Ekaristi
kudus, kita diingatkan dan diajarkan oleh Yesus bahwa
kehidupan Kristiani
pada dasarnya adalah kehidupan pengorbanan
dan persembahan. Dalam
pernikahan, suami dan istri saling memberi dan menerima tubuh dan darah satu sama lain dalam untung dan
malang, dalam
sehat dan
sakit, dalam
kaya dan miskin
sampai maut memisahkan mereka. Dalam
keluarga, menjadi orang tua berarti berbagi tubuh dan darah dengan anak-anak
mereka, bekerja
super keras untuk mereka dan kadang tidak dihargai. Dalam
kehidupan sebagai
rohaniawan, kita mempersembahkan
tubuh dan darah kita kepada
komunitas dan umat Allah, dalam ketaatan, doa yang konstan dan pelayanan tak
kenal lelah.
Memang,
untuk menyerahkan
tubuh kita dan menumpahkan darah kita
adalah menyakitkan dan
tidak pernah mudah, tetapi ketika kita setia dalam panggilan kita, kita
yakin bahwa kita telah menyenangkan hati Tuhan. Seperti
pengorbanan yang terbakar sepenuhnya di Bait Allah adalah yang paling
menyenangkan Allah, maka pengorbanan kita
yang total bagi sesama adalah yang
paling indah di mata Allah.
Frater Valentinus Bayuhadi
Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment