Minggu Biasa
Ke-17
26 Juli 2015
Yohanes 6: 1-15
“Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti
jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?
(Yohanes 6:9).”
Kisah pelipatgandaan roti dan ikan pada dasarnya adalah kisah sebuah kemurahan
hati. Namun, kedermawanan hati ini bukan yang berasal dari kelebihan yang kita
milik, tapi yang mengalir dari diri kita yang terdalam. Ada
perbedaan besar antara seorang ayah jutawan yang dengan senang hati membeli
iPhone model terbaru untuk anaknya, dan seorang ayah miskin yang dengan senang
hati berbagi sepiring nasinya dengan anaknya yang masih kecil. Ayah pertama
memberikan dari kelimpahan, tetapi ayah kedua membagikan hidupnya.
Ketika Yesus
menyodorkan sebuah pertanyaan yang sulit tentang bagaimana memberi makan orang banyak,
Filipus dengan segera mereduksi pertanyaan tersebuat menjadi sekedar masalah
keuangan. “Roti seharga dua ratus dinar
tidak akan cukup untuk mereka ini.” Namun, Yesus tahu benar bahwa ini bukan
hanya tentang uang. Kemudian, ketika seorang
anak kecil datang dengan segala yang ia miliki, dua ikan dan lima roti,
tampaknya upaya sang anak itu akan sia-sia. Namun, apa yang Yesus cari
adalah bukan apa atau berapa banyak yang kita berikan, tapi ‘siapa’ kita bagikan.
Anak kecil ini memberikan dirinya bagi Allah, dan Iapun mengambil alih yang
lainnya. Ini adalah awal dari kemurahan hati yang luar biasa, yang memungkinkan
sesuatu yang mustahil dan memberi hidup kepada orang lain.
Dunia kita
saat ini begitu penuh dengan orang-orang miskin dan melebarnya kesenjangan
antara orang kaya dan yang sederhana. Bahkan ketimpangan ini mempengaruhi
negara-negara maju di dunia. Robert Reich, mantan Menteri Tenaga Kerja di
pemerintahan Bill Clinton, menyebutkan dalam dokumenternya ‘Inequality for All’
bahwa biaya hidup terus melonjak sedangkan jumlah penghasilan tetap stagnan di
beberapa tahun terakhir. Hal ini akan memaksa orang-orang Amerika untuk bekerja
lebih keras, memiliki dua pekerjaan atau bahkan lebih. Beberapa menjadi
pengangguran dan yang lain terjebak permasalah utang. Permasalahan sebenarnya tidak
hanya tentang sistem atau kebijakan ekonomi yang salah, tapi masuk lebih dalam
ke hati manusia. Paus Benediktus XVI dan
Fransiskus terus menyerukan bahwa penyebab utama adalah adalah keserakahan.
Keserakahan
adalah dosa dan seperti dosa yang lain, keserakahan itu mempengaruhi siapa
saja, baik orang kaya maupun miskin. Orang yang kaya dan serakah dapat dengan
mudah mengeksploitasi orang miskin melalui korupsi atau penipuan, dan selalu
menemukan cara untuk memanipulasi rekan kerja mereka yang juga kaya. Pekerja
sederhana namun serakah juga bisa menindas para pemilik usaha dengan tuntutan
mereka yang tidak adil dan kadang-kadang dengan kekerasan, dan menipu sesama
pekerja mereka melalui penipuan. Keserakahan
menyebabkan mobilitas menurun ekonomi kita serta kemiskinan yang tidak
berkesudahan. Yesus kini menawarkan kita solusinya: kemurahan hati yang total.
Ini adalah kemurahan hati yang tidak dapat diukur dengan uang, karena
karunia diri memang tak ternilai harganya. Komunitas manusia dibangun di atas
kemurahan hati ini. Pernikahan terbentuk ketika suami dan istri secara total
memberikan diri bagi satu sama lain. Keluarga didirikan ketika orang tua
berbagi seluruh hidup mereka untuk anak-anak mereka, dan pada gilirannya,
anak-anak menghormati dan mencintai orang tua mereka. Masyarakat yang kuat
terbangun jika setiap individu tanpa ragu mempersembahkan waktu, tenaga dan
sumber daya, agar semua orang dapat tiba pada kebaikan bersama.
Ketika saya baru saja memulai perjalanan saya di Ordo Pengkhotbah, kita
tidak punya rumah, tidak ada kendaraan, praktis tidak punya apa-apa. Kami, pada
kenyataannya, tinggal di seminari milik keuskupan-keuskupan di Kalimantan,
menempati unit kosong di sana. Bahkan ketika kondisi ekonomi tampak suram,
saudara dan mentor saya, Romo Adrian Adiredjo, OP, selalu mengingatkan saya
bahwa ‘uang harus selalu menjadi hal terakhir yang menguras perhatian kita.’
Kita tidak boleh tergoda untuk berpikir seperti Filipus, untuk mereduksi banyak
hal sebagai masalah keuangan. Saya tidak sempurna dan juga melakukan kesalahan,
tetapi melalui kemurahan hati banyak orang, saya bisa mencapai titik ini.
Sesungguh, saat saya terus mempersembahkan diri saya, dua ikan dan lima roti
yang saya miliki, untuk Tuhan dan pelayanan, Allah akan mengambil alih yang
lainya. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan kita yang murah hati.
Frater
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment