Minggu Biasa ke-14
4 Juli 2015
Markus 6:1-6
“Seorang
nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum
keluarganya dan di rumahnya (Mrk 6:4).”
Disalah mengerti, dihakimi, dan
ditolak bahkan oleh orang-orang terdekat kita adalah pengalaman kita semua.
Yesus sendiri mengalami hal ini. Dia pulang ke kampung halaman dan mewartakan
Kabar Baik. Namun, bukannya disambut yang hangat, orang-orang Nazareth melihat
Dia secara negatif dan menghina Dia. Orang-orang yang seharusnya paling
menerima-Nya menjadi yang pertama menolak-Nya.
Namun, menghadapi penolakan yang
kejam ini, Yesus tidak bergeming dan terus melanjutkan misi-Nya. Dia tidak
gentar karena Dia tahu siapa sesungguhnya diri-Nya. Yesus adalah seorang nabi
dan sebagai seorang nabi, Ia juga harus menerima bagian dari para nabi
pendahulu-Nya: disalah mengerti, diadili, diperlakukan dengan buruk dan bahkan
dibunuh. Tetapi, siapakah seorang nabi itu, dan kenapa beberapa orang tidak
suka dengan seorang nabi? Secara sederhana, nabi adalah seorang yang mengatakan
kebenaran, tetapi komitmennya yang teguh terhadap kebenaran bukanlah karena dia
berpikir bahwa ia adalah yang paling benar, tetapi karena dia sungguh
memperhatikan dan mengasihi umat yang ia layani. Seorang nabi tidak bisa hanya
diam saat dia melihat umatnya mulai berprilaku yang salah dan menjadikan hidup
mereka sebagai kesengsaraan dan permasalahan.
Setiap pengikut Kristus dipanggil
sebagai seorang nabi dan ini berarti dipanggil untuk mewartakan kebenaran
ditengah kemungkinan disalah mengerti, diperlakukan dengan buruk dan bahkan
penolakan. Saya sendiri mengalami betapa tidak mudahnya mewartakan kebenaran.
Beberapa minggu lalu, Mahkamah Agung Amerika Serikat telah menetapkan bahwa
pernikahan sesama jenis adalah hak dasar bagi setiap warga negara Amerika dan
hal ini memberi gelombang segar melawan mereka yang berpegang teguh pada
pernikahan tradisional, termasuk Gereja Katolik. Tentunya, sayapun terpanggil
untuk membela Gereja kita dan mewartakan kebenaran akan kodrat manusia sebagai
ciptaan dan citra Allah. Berdebat secara online tidaklah sulit, tetapi saat
beberapa sahabat mulai berubah haluan, situasi menjadi tidaklah mudah dan
sangat riskan. Saya tidak ingin disalah mengerti dan dianggap sebagai ‘mau tahu
urusan orang’ atau ‘sok suci’, tetapi kasih bagi mereka lebih besar dari takut
yang saya miliki. Sayapun memutuskan untuk mengajak mereka untuk berpikir
secara kritikal tetapi di sisi lain, tetap mengekspresikan kasih Yesus Kristus.
Menjadi seorang nabi sesungguhnya
adalah misi kita setiap hari. Orang tua yang melakukan yang terbaik dan
menginginkan yang terbaik bagi anak-anak mereka, tetapi terkadang mereka
disalah mengerti oleh anak mereka sendiri dan dicap sebagai ‘suka mengatur’. Seorang
guru yang mencoba menanamkan nilai dan budaya disiplin kemudian disebut sebagai
‘teror’. Namun ada waktunya, menjadi seorang nabi berarti sebuah pengorbanan
yang total. Banyak imam, rohaniawan dan kaum awam yang bekerja tanpa lelah di
daerah-daerah paling berbahaya bagi kaum miskin dan menderita. Beberapa dari
mereka akhirnya diculik, disiksa dan bahkan dibunuh. Secara khusus, kita perlu
mengingat almarhum Uskup Agung San Salvador Oscar Arnulfo Romero dari El
Salvador. Kasihnya bagi umatnya dan juga lawannya mendorongnya untuk mewartakan
kebenaran dan melawan segala bentuk korupsi dan penindasan di negaranya. Diapun
akhirnya menerima murka dari musuh-musuhnya. Pada tahun 1980, dia ditembak mati
saat merayakan perayaan Ekaristi di kapel Divine Providence Hospital. Darahnya
menyatu dengan Darah Suci Yesus Kristus di dalam Ekaristi.
Sungguh, tidak mudah untuk
menjadi seorang nabi, tetapi ini adalah panggilan dan misi kita. Jika kita
sungguh sayang dan mengasihi orang-orang dan umat yang kita layani, mewartakan
kebenaran adalah hal yang terbaik yang dapat kita lakukan untuk mereka.
Frater Valentinus Bayuhadi
Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment