Minggu Biasa ke-16
19 Juli 2015
Markus 6: 30-34
“Marilah
ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika! (Markus
6:31)”
Apakah Anda bahagia? Apakah
Anda merasakan kepenuhan dalam hidup ini? Mari kita berhenti sejenak dan merenungkan pertanyaan-pertanyaan
ini. Beberapa dari kita mungkin memiliki pekerjaan yang
stabil dan bahkan karir yang menanjak.
Beberapa dari kita mungkin
memiliki keluarga yang sempurna dengan anak-anak yang lucu. Beberapa dari kita mungkin
menikmati keberhasilan dalam pelayanan kita di Gereja atau di masyarakat. Namun, dibalik kesuksesan hidup
ini, apakah kita benar-benar mengalami sukacita yang mendalam
di dalam hati kita? Jika jawaban kita adalah 'tidak' atau 'ya' dengan keraguan, Injil hari
ini mungkin memberikan
sedikit cahaya karena Yesus mengundang kita untuk pergi ke tempat yang
sunyi dan beristirahat.
Keinginan untuk bahagia adalah
sesuatu yang alamiah bagi manusia. Bahkan, ini adalah alasan yang mendasar bagi hidup dan tingkah laku kita di dunia. Kita
belajar, bekerja, menikah, membangun keluarga dan melayani karena kita ingin
bahagia. Sayangnya, kita sering kehilangan arah dan melupakan tujuan sebenarnya
dari hidup kita. Mengapa? Menjawab
hal ini, Paul Murray, seorang
imam Dominikan dari Irlandia,
berpendapat, “salah satu alasan, mungkin,
mengapa begitu banyak orang di masyarakat saat ini merasa tidak terpenuhi dan tidak bahagia adalah karena
visi hidup yang ditawarkan, atau yang kita tanpa sadar anut, adalah salah satu visi yang terbatas pada sisi pragmatis, pandangan yang hanya satu dimensi dari dunia ini.” Ini berarti
kita melihat kebahagiaan sebagai sesuatu dapat dicapai cukup melalui
keuntungan materi dan kesuksesan duniawi. Jika kita melihat sistem pendidikan
kita, tidak sedikit sekolah yang bertujuan untuk melatih siswa untuk menjadi
tenaga kerja terampil atau pekerja yang ulung. Hal ini tidak salah, tetapi secara
tidak sadar membentuk para siswa untuk memuja dan mengagungkan nilai-nilai
pragmatis:
mendapatkan uang
sebanyak-banyaknya dan mencapai posisi tertinggi. Semakin banyak yang dimiliki
semakin bahagia!
Beberapa
hari yang lalu, saya menghadiri seminar-lokakarya di Baguio City, Filipina. Di
sini, saya mempelajari kembali hirarki kebutuhan yang digagas Maslow beberapa puluh tahun lalu.
Hirarki dimulai dengan kebutuhan yang
paling mendasar yakni kebutuhan fisiologis seperti makanan, tempat tinggal dan pakaian, dan hirarki ini mencapai
puncaknya di pengaktualisasian diri. Tapi,
saya juga belajar
bahwa Abraham Maslow
akhirnya menambahkan satu hal lagi di atas aktualisasi diri. Ini
adalah transendensi. Tahap teratas ini berbicara tentang hasrat terdalam
kita untuk terhubung
kembali pada
sumber utama
dari kehidupan kita. Jauh di lubuk terdalam, jiwa kita menyadari bahwa kita
diciptakan untuk sesuatu yang jauh lebih besar dari sekedar mengumpulkan kesuksesan
materi, kenikmatan jasmani atau kemuliaan duniawi. Kita merindukan Allah. St
Agustinus pun
berkata, “Engkau telah
menciptakan kami untuk Diri Sendiri, ya Tuhan, dan hati kami gelisah sampai menemukan
istirahat dalam Engkau.”
Yesus
membuat langkah yang tampaknya biasa-biasa
saja ketika Dia mengundang murid-murid-Nya untuk
beristirahat. Namun, konteks biblis menciptakan banyak perbedaan. Murid-murid baru saja
kembali dari misi
pelayanan yang sukses dan memiliki banyak hal yang bisa dibanggakan, tapi
keputusan pertama Yesus bukanlah
memuji mereka, tetapi untuk membawa mereka ke dalam kesendirian dan kesunyian.
Yesus menunjukkan
kepada mereka tujuan yang lebih tinggi dari misi dan kehidupan
mereka, karena hanya dalam keheningan dan
ketenangan, para murid akan bisa berhubungan kembali dengan apa
yang benar-benar penting yakni
Yesus sendiri.
Beberapa
orang akan menyatakan bahwa agama tidak lagi
relevan dan hanya sekedar
ciptaan manusia untuk
memberi rasa takut dan mengkontrol umatnya. Pandangan
ini tampaknya dibenarkan oleh karena
beberapa kelompok radikal
menggunakan kekerasan atas nama agama dan Tuhan. Namun, agama yang otentik
tidak ada hubungannya dengan kekerasan, tetapi tujuan sebenarnya dari agama yang sejati adalah
menjadi tempat pertemuan antara manusia dan Tuhan. Yesus mendirikan Gereja-Nya
untuk memungkinkan umat-Nya untuk
berjumpa dengan-Nya dan untuk menemukan sukacita sejati. Kita pergi
ke Gereja, bukan karena ini adalah tradisi keluarga yang dipaksakan kepada kita, atau
status simbol,
atau orang tua kita akan marah jika kita tidak pergi. Hari Minggu
adalah hari kudus karena hari ini adalah waktu kita membebaskan diri dari ideology-ideologi yang
membatasi pandangan hidup, dari pekerjaan
yang melelahkan dalam mencari keuntungan, dan juga terutama bagi kita untuk
memasuki
Transendensi. Hanya
ketika kita mampu membuka hati kita untuk undangan Allah untuk beristirahat di
dalam Dia dan mengakui bahwa kita diciptakan untuk Dia, kita akan menemukan
kebahagiaan sejati yang kita selalu idamkan.
Frater Valentinus Bayuhadi
Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment