Minggu Biasa ke-21
23 Agustus 2015
Yohanes 6: 60-69
“Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu
adalah perkataan hidup yang kekal (Yoh 6:68).”
Iman Katolik
adalah sesuatu yang diwariskan
dari orang tua dan keluarga
kita.
Bagi banyak dari kita, kita dibaptis
beberapa saat setelah kita dilahirkan. Melalui berbagai kegiatan
katekese, seperti sekolah Minggu, pelajaran
agama dan Misa Mingguan, kita menerima pembelajaran dasar
agama Kristiani. Saya sendiri
punya kenangan indah tentang bagaimana ibu saya mengajarkan saya berdoa
rosario, serta ayah saya membawa seluruh keluarga untuk menghadiri Ekaristi
setiap hari Minggu. Seperti halnya
saya, banyak dari kita menerima iman kita dari orang tua dan Gereja, dan kita
menerima iman apa
adanya, tanpa merasa
perlu untuk mempertanyakannya.
Namun, waktunya akan datang
ketika iman kita
digoyahkan. Saat kita tumbuh
dewasa, kita menjadi lebih kritis dan menyadari bahwa banyak
hal dalam iman kita benar-benar melampaui akal
budi kita. Bagaimana mungkin ada tiga pribadi
dalam satu Allah? Kenapa Yesus bisa
menjadi sungguh Allah dan sungguh
manusia? Untuk
memperkeruh keadaan ini, beberapa orang mungkin melemparkan argumen kritis
pada validitas ajaran Gereja yang
kita yakini. Kebingungan
kemudian ditambahkan dengan berbagai masalah moral dan sosial yang melibatkan
anggota Gereja. Apakah kejam untuk tidak mengijinkan perceraian sebagai solusi
dari pernikahan yang tidak bahagia? Mengapa agama tampaknya menjadi sumber kekerasan
dan terorisme? Bagaimana dengan pasangan homoseksual yang saling mencintai,
mengapa mereka tidak
bisa menikah di Gereja?
Namun, jika
kita kembali membaca dengan seksama Injil kita hari ini, murid-murid itu tidak hanya
mempertanyakan hal-hal sepele. Mereka tidak mengeluh karena mereka tidak
memiliki sesuatu untuk dimakan,
mereka sudah lelah berjalan dengan Yesus, atau mereka ketakutan oleh lawan-lawan Yesus.
Mereka sekarang mempertanyakan kata-kata dan otoritas Yesus. Penginjil-penginjil
lain menulis juga perselisihan antara para
murid, tetapi karena
alasan yang sepele, seperti isu posisi (lih Mrk 10: 35), tetapi hanya
Yohanes yang menulis
situasi ambang batas dalam lingkaran para murid: apakah untuk
percaya pada Yesus atau meninggalkan-Nya.
Ketika kita
memasuki
persimpangan iman dan hidup, kita menjadi
satu dengan para
murid dalam
berseru, “Perkataan ini
keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?” Tapi, apa
yang menarik adalah bahwa Yesus tidak
memanjakan mereka, dengan mengatakan, “Jangan pergi! Aku butuh kalian!” atau “Ayolah, kita bisa berkompromi.”
Tidak! Jawaban Yesus kepada mereka adalah tegas, bahkan memprovokasi,
“Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Saya percaya bahwa perlakuan
yang sama akan diberikan juga kepada kita. Di tengah tantangan dan pergulatan iman,
Dia tidak akan
memanjakan kita.
Dia, pada kenyataannya, menantang
kita untuk pergi dari-Nya.
Namun, cara
Yesus adalah yang terbaik.
Kita perlu terjun
memasuki angin puting
peliung kebingungan, dan berjuang untuk menemukan cahaya yang
benar dan sejati.
Kita bukanlah bayi
lagi yang menerima dan menelan
semua yang disodorkan kepada kita. Kita adalah orang-orang Kristiani dewasa yang terus mencari,
bergulat dan akhirnya
merangkul iman kita. Tidak
salah jika Rm. Timothy Radcliffe, OP berpendapat bahwa kita perlu
hilang dan tersesat,
agar kita dapat ditemukan lagi, penuh
dengan hidup dan vitalitas.
Sungguh, tantangan
Yesus yang berat telah
melahirkan murid-murid
yang berani namun rendah hati di
berbagai zaman. Para Bapa Gereja menyumbangkan tulisan-tulisan
terbaik tentang iman
ketika mereka dihadapkan oleh ajaran-ajaran
sesat yang rumit. St. Justinus
(ca.165 AD) membela imannya dihadapan pemikir-pemikir filosofis terbaik pada
masanya, tidak hanya melalui tulisan-tulisannya tetapi juga darahnya. BundaTeresa
dari Kalkuta, harus menanggung kegelapan jiwa selama 10 tahun, namun bukannya menyerah dalam pelayanan,
dia bahkan terus
melayani orang miskin
dengan penuh semangat.
Saat Yesus menantang kita, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Semoga kita, dengan iman
yang diperbarui dan
ditemukan kembali, bergabung dalam
satu suara Santo Petrus, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu
adalah perkataan hidup yang kekal.”
Frater Valentinus
Bayuhadi Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment