Minggu ke-20 dalam Masa
Biasa
16 Agustus 2015
Yohanes 6: 51-58
“Sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum
darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. (Yohanes 6:53).”
Tuhan yang Menjadi Santapan
“Ada makanan, kita hidup; tidak ada makanan, kita mati!” Ini adalah
persepsi kita
pada makanan yang kita konsumsi setiap hari. Namun, pandangan ini sebenarnya
terlalu sederhana. Para ahli, dari ahli gizi, praktisi kesehatan sampai dengan
analis politik-sosial, setuju bahwa permasalahan makanan tidak sesederhana yang
kita pikirkan.
Mari kita
amati pola makan kita sehari-hari. Ketika kita masih muda kita bebas untuk menyantap apa pun yang kita suka,
tapi saat kita beranjak tua dan
mulai mengindap penyakit tertentu, kita menjadi hati-hati dalam asupan
makanan kita. Tidak boleh
daging, tidak boleh
cemilan lezat, tidak
boleh es krim yang
manis! Beberapa ilmuwan menyalahkan gula, lain menuduh lemak sebagai
pelakunya, tapi sebanarnya
semua ini berhubungan dengan pola konsumsi kita. Masalah makanan
menjadi lebih kompleks karena menyentuh dimensi psikologis dan sosial manusia.
Orang lapar dapat melakukan apa saja hanya untuk memiliki sesuatu di perut
mereka:
mencuri, kekerasan, bahkan pembunuhan. Jika rasa lapar ini dirasakan seluruh masyarakat,
bencana tidak bisa dihindari. Makanan juga adalah tentang ekonomi dan politik. Dari produksi sampai
konsumsinya,
makanan melibatkan jumlah uang
yang sangat besar. Kebijakan nasional bisa didikte oleh para pemain utama dalam industri ini.
Sengketa tanah yang
menjadi sumber makanan, bisa mengarah kepada
perpecahan keluarga, konflik bersenjata,
dan pertumpahan darah. Mereka yang memegang kekuasaan atas makanan adalah
penguasa bangsa yang
sesungguhnya.
Makanan adalah kehidupan
kita. Jadi, ketika Yesus berkata, “Daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah
benar-benar minuman”, Ia
bermaksud bahwa Dia tidak hanya ingin menjadi bagian dari struktur
fisik dan jiwa kita,
tetapi Dia ingin memberi
dampak bagi komunitas dan
dunia, totalitas kehidupan kita. Pada zaman-Nya,
perkataan-Nya disalahpahami karena dianggap
mempromosikan pengorbanan manusi
atau kanibalisme,
praktek-praktek yang dikutuk oleh bangsa Yahudi.
Kesalahpahaman ini
terjadi karena keterbatasan pikiran manusia, yang cenderung
untuk menilai hanya
bersadarkan apa yang kita lihat. Mereka melihat Yesus sebagai manusia
biasa, maka mereka menilai Yesus sebagai orang
gila!
Namun,
kata-kata Yesus mulai masuk akal setelah Kebangkitan-Nya dan
Pencerahan dari Roh Kudus. Apa yang kita terima bukanlah tubuh biasa, tetapi Tubuh dan Darah
Kristus yang mulia. Saat kita menyantap hosti kudus,
kita mengecap Tubuh
yang bangkit dari kubur, kita menikmati manisnya kebangkitan, dan keilahian itu
sendiri. Kita mungkin memakan
sepotong roti kecil
putih yang hambar dalam Ekaristi, dan bertanya bagaimana ini mempengaruhi
kehidupan kita. Sekarang, kita
bisa melihat, ini Roti Hidup memang merevolusi dunia kita. Ini
dimulai dengan Yesus dan kelompok murid-Nya
yang kecil di Yerusalem, tapi setelah hampir dua ribu tahun, umat Kristiani yang
tak terhitung jumlahnya telah bermunculan dan memberikan
kesaksian akan iman mereka dalam Tubuh ilahi Yesus.
Ketika St.
Yohanes menulis bahwa Allah telah menjadi daging, daging ini tidak hanya bisa dilihat dan
dijamah, tetapi juga ‘dimakan’. Ini
melambangkan kasih Allah yang
dasyat bagi kita. Dia ingin menjadi satu dengan kita dengan cara yang paling sempurna.
Menjadi bagian dari Yesus berarti melihat apa yang Yesus lihat,
berpikir dengan cara
Yesus berpikir, dan berbuat
apa yang Yesus
perbuat. Tetapi
kita tidak boleh lupa bahwa seperti makanan biasa, Roti Hidup membentuk kita dengan
cara bertahap dan tak terlihat. Kita mungkin merasa bahwa menghadiri Misa Kudus
adalah rutinitas belaka setiap hari Minggu, tapi tanpa menyadarinya, kita telah
menjadi lebih sabar dengan
pasangan hidup kita, lebih penuh kasih dengan saudara-saudara kita yang
miskin, lebih bersedia untuk berkorban untuk keluarga kita. Kita menjadi apa
yang kita makan. Saat
kita setia pada Firman dan Tubuh-Nya, kita
bersyukur kepada Tuhan
yang telah membentuk kita
menjadi seperti Dia.
Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno,
OP
No comments:
Post a Comment