Minggu
ke-18 dalam Masa Biasa
4
Agustus 2013
Lukas
12:13-21
Menjadi kaya adalah sebuah berkat.
Orang-orang
Yahudi percaya bahwa kekayaan adalah pahala Allah kepada hamba-hamba-Nya yang
setia. Beberapa
tokoh di Alkitab membuktikan
kebenaran ini: Abraham yang
setia akhirnya menerima tanah
yang terjanji,
Yusuf yang murah
hati menjadi pejabat tinggi di
tanah Mesir dan Ayub
menerima kembali kekayaannya setelah ia terbukti setia di dalam pencobaan.
Lalu,
bagaimana sikap
Yesus? Meskipun
Dia miskin,
Yesus menerima
dengan baik orang-orang
kaya sebagai
murid-murid-Nya. Yakobus dan Yohanes
sejatinya adalah ahli waris
dari nelayan sukses di danau Galilea (Mat 4:21). Yusuf dari Arimatea pastinya salah satu murid Jesus
yang cukup kaya karena
memiliki pemakaman baru di luar Yerusalem (Mat 27:60).
Namun, Yesus dengan tegas
mengingatkan para pengikutnya bahwa kekayaan bisa berubah menjadi kutukan yang
menghancurkan jika kita tidak
bisa melihatnya sebagai karunia Allah. Kegagalan untuk melihat penyelenggaraan Ilahi di
balik harta benda
yang kita miliki membawa kita hanya pada
keegoisan semata,
ketamakan dan keserakahan. St.
Paulus menuduh
cinta akan uang
sebagai akar dari semua kejahatan (1 Timotius 6:10). Uang itu sendiri bukan
penyebab dari
kejahatan, namun
keterikatan kita yang berlebihan kepada uang. Kita lupa
bahwa cinta kita harus berorientasi pada Dia yang adalah sumber dari semua
kekayaan, bukan pada kekayaan itu sendiri.
Keterikatan yang berlebihan untuk uang hanya melahirkan persaingan
tidak jujur, pencurian,
dan korupsi.
Sadar
bahwa kekayaan berasal dari Allah, mengapa banyak orang masih
mendambakannya? Jawabannya Sederhana! Uang
memberikan
kita kesenangan dan
kenyamanan yang instan di
hidup ini.
Dengan uang kita bisa memiliki gadget terbaru, mobil merek baru, rumah mewah, kekuasaan
politik, kenikmatan
seksual dan tentu saja, lebih banyak uang. Uang hampir bisa membeli segalanya, seolah-olah segala
sesuatu, termasuk manusia, memiliki tanda
harga yang tergantung di leher mereka. Namun, untungnya, tidak semuanya
bisa dirubah menjadi
komoditas bisnis. Hal
terpenting dalam hidup tidak bisa dibeli dengan uang.
Dalam Injil hari ini, Yesus menjungkirbalikan
perspektif para pengikut-Nya
tentang kekayaan. Kita mungkin
berkerja keras untuk mencari nafkah dan tergoda untuk berpikir, “Ini adalah
milikku. Aku
layak mendapatkannya.”
Namun, kita bisa
kehilangan makna terdalam dari ini semua, ketika kita terlalu sibuk
mencari nafkah dan gagal untuk menghargai kehidupan. Setiap harta yang jatuh
ke telapak tangan kita adalah anugerah dan kemurahan Tuhan. Dengan demikian,
setiap kali kita melihat apa yang kita pegang di tangan kita, kita harus
menatapnya sebagai
kemurahan hati Allah. Tentunya, rasa syukur akan tumbuh dari
hati kita dan rasa syukur ini akan berbuah
kemurahan hati di
dalam diri kita. Rasa
takut untuk berbagi
berada di
luar penglihatan
kita karena apa yang kita lihat dalam harta kekayaan ini adalah Tuhan yang telah bermurah hati.
Setiap kali kita
berbagi apa yang kita miliki, kita membuka
tangan kita lebih luas dan menerima
Allah dengan segala
kepenuhan-Nya.
Jangan serakah! Bermurah hatilah seperti
Bapamu yang di surga adalah murah hati.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment