Minggu Biasa
ke-27
6 Oktober 2013
Lukas 17: 5-10
“Tuhan, Tambahkanlah
iman kami! (Luk 17:5)”
Iman berbicara
tentang hasrat kita yang terdalam sebagai manusia, kerinduan jiwa kita untuk Tuhan yang akan
mengisi kekurangan mendasar di dalam jiwa kita. Melalui iman, kita menemukan Dia yang memberi Makna
dalam hidup kita, karena Dia adalah
Sang Firman yang
mengukir kekosongan jiwa kita. Berbahagialah mereka yang memiliki iman! Sebagai pemazmur bernyanyi, “Jiwaku merindukan Tuhan,
lebih dari penjaga untuk fajar. Biarkan penjaga menunggu fajar dan Israel pada
Tuhan. Karena pada Tuhan ada rahmat kasih setia dan kepenuhan penebusan (Mazmur 130:6-7).”
Kita lapar
akan Tuhan, karena hanya Dia yang dapat melengkapi kita. Dengan demikian, seperti para murid
dalam Injil hari ini, kita meminta kepada Tuhan, “Tambahkanlah Iman kami!” Untuk memuaskan dahaga kita akan
Tuhan, kita melibatkan diri dalam berbagai kegiatan
keagamaan. Orang berduyun-duyun ke gereja dimana ada pengkhotbah yang bagus dan perayaan liturgi yang penuh semangat. Lainnya mencari Misa penyembuhan. Lainnya memilih untuk
menghadiri kelompok studi Kitab Suci. Yang lain lebih memilih untuk menjadi bagian dari
kelompok Doa Karismatik yang energetik. Yang lain cinta akan kesunyian rumah retret dan meditasi Taize. Sementara beberapa
lainnya mendukung kekhidmatan dari Misa Latin tradisional. Kita memiliki banyak pilihan dan dapat menentukan mana
yang cocok dengan selera kita.
Jika kita tidak dapat menemukan yang cocok, maka kita bebas untuk menciptakan
kegiatan spiritualitas kita sendiri:
sedikit
doa, beberapa ayat Alkitab, dan selebihnya
tidur!
Namun, Tuhan
mengingatkan kita bahwa iman bukan hanya tentang kepuasan spiritual pribadi. Jika tidak, kita hanya memperlakukan iman dan agama seperti hiburan duniawi lainnya yang berguna setiap kali kita merasa kering dan bosan. Lebih buruk
lagi, iman hanya berfungsi sebagai obat penenang ketika hidup kita berantakan. Inilah mengapa
Karl Marx pernah mengatakan bahwa agama adalah candu bagi massa. Iman dan
berbagai
kegiatan spiritual menjadi
cara mudah untuk memenuhi kepentingan egois kita. Tanpa iman yang
sejati, kita tidak lagi bisa
menerima kepenuhan hidup, tetapi sebaliknya kita terjun ke jurang keputusasaan dan delusi.
Yesus berkata,
“Kalau sekiranya kamu
mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara
ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat
kepadamu.” Iman harus mendorong kita untuk bertindak nyata dalam hidup kita sehari-hari
dan untuk mengasihi orang lain
lebih dalam.
Sungguh menyedihkan jika
kita menghadiri studi Kitab Suci dengan semangat hanya untuk menghindari permasalahan di rumah atau kantor, dan bahkan tetap menjalani kebiasaan-kebisaan buruk
kita, atau kita menikmati
persekutuan doa tetapi kita
tidak terlibat dalam perjuangan Gereja melawan
ketidakadilan dan kemiskinan dalam masyarakat. Iman harus menjadi sumber kesuburan
kehidupan.
"Ite missa est!" Adalah kalimat Latin terakhir yang diucapkan imam di
dalam perayaan Ekaristi. Ini kira-kira berarti “Pergi, kita diutus!”. Ekaristi, puncak dan sumber kehidupan rohani kita, memerintahkan kita untuk
tidak sekedar tinggal
di dalam ibadah dan gedung gereja, tetapi untuk pergi ke dunia dan membawa buah dari doa kita
kepada orang lain. Dalam World Youth Day
baru-baru ini di Brazil, Paus Fransiskus mengatakan kepada para pemuda katolik
untuk tidak hanya untuk membuat hiruk pikuk selama perayaan WYD, melainkan untuk membuat hiruk-pikuk mereka terdengar di
paroki-paroki, keuskupan-keuskupan dan masyarakat
mereka sendiri. Pertemuan dengan Allah seharusnya membawa
kita menjadi
agen perubahan dalam hidup. Iman adalah sumber kekuatan dari transformasi di
dalam hidup, keluarga dan masyarakat.
Hidupilah iman kita secara penuh dan
nikmatilah kepenuhan hidup!
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment