Minggu Biasa
ke-28
13 Oktober 2013
Lukas 17:11-19
“Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil
memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan
mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria. (Luk 17:15-16)”
Sepertinya sembilan orang Yahudi ini tidak tahu artinya terima kasih. Mereka telah disembuhkan, namun mereka
tidak mau repot-repot untuk
kembali kepada Yesus dan berterima kasih. Mengingat
bahwa kusta
adalah penyakit yang mematikan di
zamanya
Yesus, sembilan orang Yahudi ini tampaknya memiliki kecongkakan hati yang menutup mata mereka untuk bersyukur. Tetapi, tunggu! Apakah
ini sungguh karena mereka sombong, atau apakah ada
alasan yang lebih dalam lagi dibalik tindakan
mereka? Fakta bahwa hanya orang Samaria yang
kembali
memberi kita sebuah fenomena yang mengejutkan di sini.
Mengapa orang Samaria lari kembali kepada Yesus? Melihat ke dalam struktur
budaya masyarakat Yahudi, orang Samaria
ini
tidak punya kewajiban legal untuk menampilkan
dirinya kepada imam-imam Yahudi dan melakukan ritual pemurnian sebelum ia bisa
kembali ke dalam masyarakat (Im 14).
Untuk menuduh sembilan orang Yahudi ini sebagai orang yang tidak tahu berterima
kasih sepertinya terlalu naif. Mereka
benar-benar taat kepada Hukum Taurat dan memang melakukan apa yang Yesus katakan kepada
mereka.
Apakah orang-orang Yahudi kembali ke Yesus setelah melaksanakan Hukum yang ditentukan? Nah , Injil memang diam, meskipun
ada
kemungkinan terbuka lebar untuk hal ini. Sekarang, kita
memiliki pemahaman yang lebih baik mengapa sembilan orang Yahudi ini gagal untuk bersyukur
secara cepat. Ada mentalitas di dalam diri mereka yang menghapus pilihan untuk segera
kembali ke Yesus. Ini adalah mekanisme yang menempatkan manusia dan semua
kecerdikan mereka terlebih dahulu sebelum Allah dan rahmat -Nya. Seringkali,
tanpa disadari, struktur ini yang dimiliki orang Yahudi hampir dua ribu tahun
yang silam juga tertanam di dalam jiwa kita.
Pada zaman modern ini, kita menghirup atmosphere kompetisi dan menghembuskan prestasi pribadi. Kita dilatih untuk percaya pada diri kita
sendiri lebih dari apa pun dan membuat sesuatu terjadi dengan kekuatan dan
keyakinan kita. Buku-buku, seminar dan berbagai pelatihan tentang
kepribadian yang sukses dan juara praktis membanjiri masyarakat kita. Dengan demikian,
kita disibukkan dengan mencari nafkah dan mencapai kesuksesan dalam hidup,
namun melewatkan bagian penting dari kehidupan ini. Kita lupa bahwa segala sesuatu
adalah kasih karunia Allah. Mengutip Thomas Merton, “Untuk bersyukur
adalah mengakui Kasih Allah di dalam segala hal yang telah Dia berikan kepada kita - dan Dia telah memberi
kita segalanya. Setiap napas kita hirup adalah karunia
dari kasih-Nya, setiap saat dari kehidupan adalah rahmat, untuk itu membawa
serta rahmat besar dari-Nya.”
Saya ingin berbagi pengalaman saya ketika saya mengunjungi sekelompok
narapidana remaja di Penjara New Bilibid di kota Muntinlupa, Filipina. Saya mendekati mereka
dan mulai obralan ringan. Namun, setelah
mendengarkan cerita mereka dengan saksama, hati saya tersayat. Pada usia yang sangat muda, sebagian dari mereka terlibat dalam kejahatan yang sangat serius: Perampokan, perilaku kekerasan dan bahkan pembunuhan. Beberapa
dari mereka akhirnya harus menghabiskan hidup mereka praktis di lama penjara. Bagaimana bisa hal-hal yang
mengerikan ini menimpa kehidupan muda
mereka?
Keluhan, kekesalan, dan bahkan kutukan adalah hal-hal yang saya pikir akan keluar dari mulut mereka. Namun, saya benar-benar keliru.
Meskipun menghadapi gelap dan perihnya kehidupan, rasa syukur yang kecil masih mengalir dari hati mereka.
Mereka
menyambut saya dan frater-frater lainya dengan hangat dan bahkan menghibur kami dengan sebuah drama musikal sederhana yang berbicara tentang arti mendalam sebuah kebebasan: sel penjara yang
sesungguhnya berada di dalam hati manusia. Hati kita sering terpenjara kemarahan, egoisme dan kesombongan.
Semua ini membutakan mata hati kita untuk dapat melihat kasih
karunia Allah di dalam hidup kita.
Melanjutkan perkataan Thomas Merton,“Rasa syukur tidak akan pernah menyia-yiakan apapun, tidak pernah tidak responsif, selalu takjub akan
keajaiban-keajaiban
baru dan memuji kebaikan Tuhan selalu.
Bagi orang yang selalu bersyukur,
mereka menyadari bahwa Tuhan itu baik,
bukan karena dari desas-desus tetapi dari pengalaman pribadi.
Dan itulah yang membuat hidup kita berbeda.”
Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno , OP
No comments:
Post a Comment