Minggu Biasa ke-22
31 Agustus 2014
Matius 16:21-27
“Setiap orang
yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan
mengikut Aku (Mat 16:24).”
Ada sebuah paradoks di
dalam iman kita. Kita percaya akan Tuhan yang adalah
pencipta alam semesta, tetapi
tidak
ada seorang pun yang bisa menentukan dimana Dia
berada secara pasti. Kita mengakui
bahwa Yesus adalah Juruselamat
perkasa yang menaklukkan dosa dan kematian, tetapi Ia
sendiri disiksa dan akhirnya dipaku di kayu salib seperti halnya para
kriminal. Kita, umat
Kristiani, yang menyebut diri kita telah ditebus dan diselamatkan, tapi di
mana-mana, dari negara-negara
yang paling maju sampai negara-negara miskin
yang dilanda perang dan konflik, kita menderita penganiayaan tanpa henti. Inti dari agama
kita adalah kasih, tetapi untuk
mengasihi memerlukan pengorbanan, komitmen yang besar, dan seringkali kita terluka.
Dalam Injil hari ini, Yesus mengungkapkan
titik balik dari kehidupan-Nya.
Para pengikut-Nya mengharapkan
dia sebagai seorang Mesias yang akan
memimpin Israel dalam perang
melawan Kekaisaran Romawi dan membawa mereka pada pembebasan politik dan kemerdekaan bagi bangsa
Yahudi. Murid-murid-Nya hanya akan menerima Yesus sebagai raja agung
yang akan mengembalikan kerajaan dan
wilayah David. Selebihnya adalah kesalahan! Dengan demikian, Petrus, pemimpin para
rasul, berani bertengkar dengan sang Guru ketika
alasan mendasar mereka mengikuti Yesus terguncang. Namun, Yesus
tidak datang sebagai jenderal atau komandan perang. Dia mengatakan kepada kita bahwa ia harus menghadapi penganiayaan,
penyaliban, dan akhirnya kematian. Dan,
lebih buruk lagi, Ia berharap para pengikut-Nya untuk menanggung salib yang sama seperti yang Ia lakukan.
Siapa yang akan mengikuti guru gila semcam
ini!
Namun, sejarah menceritakan bagaimana pada akhirnya para rasul setia memanggul salib mereka sampai akhir. Petrus disalibkan secara terbalik, Yakobus
dan Paulus dipenggal dan
rasul-rasul lain
memiliki nasib yang tidak lebih
baik. Para rasul adalah
contoh terbaik dari pengikut Yesus
dan salib yang
sama
diberikan kepada semua umat Kristiani
termasuk kita sekarang. Kita juga berdoa bagi pengikut-pengikut
Yesus yang menderita dalam perang
yang terjadi di Suriah, Irak dan bahkan di Palestina.
Ribuan orang meninggalkan kampung
halaman mereka tanpa ada harapan akan pulang kembali dan tidak adanya kepastiaan akan masa depan mereka. Banyak meninggal sebagai korban tak berdosa dari perang, tapi yang lain harus kehilangan
nyawa karena mereka
adalah pengikut Kristus.
Kematian
mereka berharga di mata
Tuhan, sabda sang Pemazmur. Namun, salib ini tidak hanya
terjadi di wilayah di mana konflik berkecamuk, tetapi juga dalam kehidupan kita sehari-hari. Salib ini juga ada pada seorang wanita yang berjuang
untuk setia kepada suaminya yang terinfeksi TB, sementara ia harus bekerja
keras untuk membesarkan tiga anaknya
yang masih
kecil. Salib ada dalam seorang mahasiswa
yang di-‘bully’ karena dia menolak
untuk curang saat ujian. Salib ada pada seorang biarawati yang
berjuang untuk panggilannya
meskipun mendapat penolakan keras dari
keluarga dan hilangnya kesempatan yang lebih
baik di luar biara.
Salib
adalah sebuah paradoks besar
iman kita. St.
Paulus menyatakan dalam suratnya ke umat di Korintus bahwa Yesus tersalib
adalah batu sandungan bagi orang Yahudi dan kebodohan bagi
yang bukan Yahudi (lih. 1 Kor 1:23). Namun, ini adalah jalan keselamatan. Salib Kristus menawarkan
kita paradoks yang
lebih besar. Hanya melalui salib,
Tuhan menguatkan kita untuk menjadi seorang
yang tidak egois dan membuka kemungkinan bagi kita untuk mengasihi secara lebih besar. Jika kita membelikan anak kita sebuah iPhone karena kita
memiliki banyak uang, itu adalah
sebuah kasih yang biasa-biasa
saja. Tapi, ketika
kita tidak makan agar anak-anak
kita memiliki sepiring nasi, tak
seorang pun akan berani untuk menyebut kasih ini sebagai biasa-biasa saja. Ketika Yesus berkata bahwa Ia harus memikul salib-Nya dan pergi ke Yerusalem, Dia hanya mengatakan kepada kita bahwa Dia akan mengasihi
kita secara
lebih radikal. Oleh
karena itu, rekan-rekan
terkasih, jangan takut untuk
mengambil dan
memikul salib kita sehari-hari
karena kita memasuki sebuah paradoks indah
dalam iman kita. Melalui salib, kita dimampukan untuk mengasihi secara lebih besar.
Frater Valentinus
Bayuhadi Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment