Minggu Palma
29 Maret
2015
“Ibu, inilah anakmu (Yn 19:26).”
The Kitab
Suci mencatat Tujuh Sabda terakhir
Yesus di Salib. Mengapa hanya tujuh? Saya tidak tahu persis mengapa
hanya tujuh, tapi yang
pasti Sabda Yesus ini adalah kata-kata yang akan kita
kenang sepanjang
masa. Di atas kayu salib, Yesus menderita sakit yang luar
biasa, berjuang
untuk hidup dan berhadapan dengan kematian, dan dengan
demikian, setiap Sabda yang
keluar dari mulut-Nya adalah begitu berharga dan bermakna. Salah satu Sabda yang paling
menarik perhatian saya
adalah, “Ibu, inilah anakmu”.
Mengapa? Karena Yesus yang tersalib tidak pernah melupakan seorang perempuan yang setia hingga di kaki
salib-Nya, yakni Maria,
sang Bunda.
Seperti halnya Bahasa Indonesia, dalam
terjemahan Filipina, Maria dipanggil 'ina', yang bermakna ibu. Tapi, tidak dalam
bahasa Inggris dan bahkan teks kuno Yunani, Yesus tidak pernah mamanggil Maria
‘ibu’, tetapi memanggilnya, ‘Woman’, ‘Perempuan’.
Mengapa? Para Bapa
Gereja percaya bahwa Maria adalah
Hawa yang baru, sang
Perempuan, tapi saya percaya bahwa Yesus tidak hanya menyapa
Maria, tetapi juga setiap perempuan yang juga berdiri di dekat salib. Perempuan dari masa lalu, di
masa ini dan yang akan datang di masa depan. Sementara
murid-murid laki-laki lain melarikan diri dan bersembunyi, perempuan ini dengan
setia mengikuti Yesus. Perempuan ini tidak melarikan diri, tidak berlutut,
tidak menangis, tapi dia berdiri teguh di bawah salib!
Ada banyak perempuan
yang berdiri di samping salib, salib pernikahan, salib keluarga,
salib pekerjaan dan
salib kehidupan. Dia adalah seorang perempuan yang mencoba untuk setia dalam pernikahannya meskipun suamninya berselingkuh.
Dia adalah seorang perempuan yang berdiri di antara suaminya, anak-anak dan
pekerjaan. Dia perlu
bangun pagi untuk mempersiapkan hal-hal
bagi keluarganya, menghabiskan waktu di kantor untuk
mendapatkan uang bagi
keluarga, dan tidur larut malam karena dia perlu membereskan rumahnya yang berantakan.
Dia adalah seorang perempuan dalam jubah
biarawati yang bekerja begitu keras untuk kongregasinya dan
gereja, tapi dia
tidak dihargai dan bahkan dikhianati.
Beratnya
‘berdiri di kaki salib’
baru masuk ke dalam hatiku saat Romo Edmund Nantes, OP mengajak
saya untuk mengunjungi lembaga amal di Marikina City, Filipina. Lembaga
amal ini menyediakan
tempat tinggal dan pertolongan bagi para perempuan muda dan
remaja yang menjadi
korban kekerasan fisik dan seksual. Setelah
saya berinteraksi dengan mereka dan mendengarkan cerita mereka, hatiku luluh. Saya tidak
bisa membayangkan bahwa pria dan wanita lain bisa begitu kejam kepada
orang-orang yang dekat dengan mereka. Ini adalah kisah tentang gadis-gadis muda
diperkosa oleh ayah mereka sendiri; putri kecil dijual oleh ibu mereka sendiri.
Tapi, salah satu relawan berkata
kepada saya bahwa gadis-gadis ini beruntung karena lembaga merawat mereka, tapi
di luar sana, jutaan perempuan menjadi
korban ke kekerasan di
dalam rumah tangga dan juga
human trafficking, dipaksa menjadi budak seks dan tenaga kerja paksa. Setiap hari,
perempuan meninggal saat melahirkan dan bayi perempuan lahir kurang gizi karena kemiskinan.
Dan siapa pelaku semua ini? Secara tidak langsung ini adalah kita!
Kita
melecehkan para perempuan-perempuan ini
jika kita gagal
melihat identitas yang indah mereka dan
hanya menggunakan mereka sebagai alat untuk mendapatkan
kepuasan kita sendiri. Kita lupa kenapa kita di sini sekarang karena ada
seorang perempuan yang memutuskan untuk mengambil semua rasa sakit saat melahirkan kita dan
berkorban dalam membesarkan kita. Yesus di kayu salib menarik perhatian kita
kepada para perempuan berani di sisi salib-Nya. Belum terlambat
bagi kita untuk berterima kasih kepada ibu kita sebelum kita tidur hari ini,
memeluk istri kita dengan rasa syukur, dan mendengarkan cerita-cerita kecil
adik perempuan kita di rumah.
Untuk semua perempuan
berdiri di dekat salib.
Frater Valentinus
Bayuhadi Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment