Minggu Biasa ke-26
27 September 2015
Markus 9:38-43,45,47-48
“Barangsiapa
tidak melawan kita, ia ada di pihak kita. (Mark 9:40).”
Kita adalah
Gereja Katolik. Kita tahu
dari pelajaran agama bahwa Katolik berarti universal, dan
universalitas kita ini
dinyatakan dalam banyak cara. Pertama, Gereja merangkul semua orang ke
dalam pelukannya: muda dan tua, wanita dan pria, miskin dan kaya, sehat dan
sakit, orang-orang kudus dan orang berdosa. Dalam air baptisan, segala sesuatu
yang memisahkan kita
seperti bahasa, etnis, kebangsaan, kemudian berkumpul bersama dalam satu
persekutuan. Kita merayakan Ekaristi
yang sama dalam Bahasa Indonesia, Filipina, Inggris dan bahasa
yang tidak terhitung jumlahnya. Di paroki
Redemptor Mundi, Surabaya, Indonesia, kita merayakan juga Misa Kudus dalam bahasa
Inggris dan orang-orang
Katolik dari berbagai
benua seperti Asia, Eropa, Australia, dan bahkan Afrika, bersama-sama hadir untuk Misa
Kudus tersebut. Mereka jauh dari
rumah dan keluarga mereka, dan Indonesia bisa sangat asing dalam hal budaya dan
karakter. Tapi, kerinduan mereka untuk rumah terobati ketika mereka menemukan
kembali ibadah dan tradisi yang
akrab di sanubari mereka. Kita sekali lagi mendengarkan Kabar Gembira yang sama dan
menerima Tubuh Kristus yang sama.
Kedua,
universalitas kita juga
menjangkau kaum non-Katolik. Memang benar bahwa anggota agama-agama lain
tidak bisa menjadi bagian dari persekutuan
kita, tapi itu tidak berarti bahwa kita tidak menjangkau
mereka. Mengikuti ajaran Tuhan
Yesus, “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah
Injil kepada segala makhluk (Mrk 16:15),” kita memberitakan Injil damai melalui kata-kata dan perbuatan kepada
semua orang. Pelayanan
kita tidak mengenal batas. Ketika Kota
Manila mengalami
banjir, biara
induk Dominikan di Filipina, Gereja St. Domingo, langsung diubah menjadi pusat
evakuasi. Para
frater bekerja tanpa lelah untuk membantu para korban banjir,
dan kita tidak pernah tanya apakah mereka Katolik atau tidak, rajin pergi ke
Gereja atau tidak, memberi sumbangan atau tidak! Pintu Gereja terbuka untuk
semua orang yang membutuhkan tempat berlindung.
Namun, expresi ketiga dan palin radikal
dari Katolisitas kita sebenarnya
bukanlah sekedar menjangkau
orang asing. Sesungguhnya, ini adalah
mengasihi para musuh
kita dan orang-orang
yang kita tidak sukai ini seringkali
adalah orang-orang yang dekat dengan kita. Mereka mungkin adalah suami kita
sendiri, saudara-saudari
kandung atau anak-anak
kita. Mereka mungkin
pergi ke Gereja yang sama
dengan kita. Mereka mungkin
hidup dalam satu komunitas atau bekerja di perusahaan yang sama dengan kita. Memang,
dinding yang paling sulit untuk diatasi adalah dinding kebencian, ketidakpedulian dan
keegoisan. Ini adalah pagar besar yang memisahkan hati manusia.
Ketika
Pastor Martin Luther King Jr. memimpin gerakan hak sipil di kotanya Montgomery
melawan diskriminasi rasial, rumahnya dibom dan hampir membunuh istri dan anak-anaknya. Orang Afro-Amerika
berkumpul di sekitar rumahnya dan
siap untuk melawan. Kemudian, Pastor King mendesak saudara-saudaranya, “Kita harus mengasihi saudara-saudara kita
yang kulit putih, tidak
peduli apa yang mereka lakukan untuk kita. Kita harus membuat mereka tahu bahwa
kita mengasihi mereka. Yesus masih menyerukan kata-kata yang bergema di seluruh abad: Kasihilah
musuhmu; memberkati mereka yang menganiaya kamu; berdoa untuk mereka memanfaatkanmu.” Kekerasan pun dihindari,
namun semangat melawan ketidakadilan justru
semakin menguat.
Meskipun
dirinya bukan seorang
Katolik, Dr. Martin Luther King Jr., menunjukkan kepada kita bagaimana
menjadi Katolik. Menjadi Katolik berarti memiliki keberanian untuk mengasihi dengan cara
radikal dan
universal, dan untuk meruntuhkan penghalang yang membatasi kemampuan kita untuk
mengasihi dan melayani. Sungguh,
untuk menjadi Katolik yang
sejati dimulai di rumah dan
komunitas kita sendiri.
Frater Valentinus Bayuhadi
Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment