Minggu
Biasa ke-23
6
September 2015
Markus
7:31-37
“Orang memohon kepada-Nya, supaya
Ia meletakkan tangan-Nya atas orang itu (Mrk 7:32).”
Santo
Markus menulis dengan
cukup rinci tentang
bagaimana Yesus menyembuhkan orang tuli dan gagap. Yesus memisahkan dia dari orang banyak, Dia menyentuh telinga dan lidahnya, bahkan Dia meludah, dan berdoa kepada Allah Bapa. Kemudian, mujizat terjadi. Sang tuli mulai mendengar dan berbicara. Namun,
ada sesuatu yang tidak terjadi di dalam
peristiwa ini. Yesus tidak
meletakkan tangan-Nya di atas orang tuli itu, sebagai orang-orang menginginkan hal itu terjadi.
Tentunya, Yesus menyembuhkan sang tuli, tapi tidak dengan
cara yang orang-orang harapkan. Ini berbicara banyak
tentang hubungan kita
dengan Tuhan. Kita berdoa dan kita meminta Tuhan untuk memenuhi ujud kita, dan
tanpa menyadarinya, kita mulai membuat permintaan kita dengan berbagai rincian.
Doa kita sekarang penuh dengan rincian tentang bagaimana ujud-ujud
kita yang harus
terkabulkan. Kita
sekarang mengalihkan perhatian kita bukan pada Allah dan relasi
kita
dengan-Nya, tetapi pada doa
kita, dan secara tidak sadar, pada diri kita sendiri.
Tentunya, berdoa itu
sangat baik. Yesus
sendiri banyak berdoa dan Dia meminta kita untuk berdoa secara
terus-menerus (Luk
18: 1). Dia menyakinkan kita bahwa jika kita memohon di dalam nama-Nya, Ia akan mengabulkannya (Yoh 14:14). Dia bahkan
meminta kita untuk percaya kepada-Nya setiap kali kita menyampaikan ujud kita, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu;
carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu (Mat
7: 7).”
Namun, permasalahnya adalah kita cenderung lupa bahwa doa adalah
sarana kita untuk berkomunikasi dengan Allah, dan kita mulai menempatkan iman
kita pada sarana daripada Pribadi dengan siapa kita berbicara. Kita lebih
menaruh iman kita pada doa dan usaha kita daripada pada Tuhan sendiri. Kita mulai berpikir tentang cara untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas doa-doa kita. Doa terbaik adalah
yang terpanjang dan
kata-kata paling indah. Yang penting sekarang adalah tentang berapa banyak rosario
yang kita daraskan, berapa
novena yang kita doakan, berapa banyak misa yang kita hadiri
dalam seminggu. Kemudian, saat
kita menyadari bahwa doa-doa kita tidak terkabul sesuai dengan keinginan kita, kita menggerutu dan kecewa karena doa-doa kita yang indah
tidak mendengar!
Suatu hari saat saya menghadiri kuliah Retorika di Institute
of Preaching, saya
diminta untuk menulis homili. Saya begitu asyik dalam
menulisnya, dan saya yakin
bahwa homili saya telah ditulis dengan baik, dan benar
secara teologis. Lalu
saya
sampaikan homili tersebut di depan kelas. Saya pikir saya melakukannya dengan baik, tetapi ternyata
teman-teman saya bereaksi bahwa mereka tidak terlalu mengerti apa yang saya katakan. Bahasa saya
terlalu sulit dan abstrak. Kemudian, dosen kami menunjukkan penyebabnya. Di antara
beberapa elemen dari sebuah pidato, yang paling penting sebenarnya
para pendengar. Dalam
semua persiapan dan penyampaian, selalu ada dalam pikiran kita adalah
para pendengar kita.
Sebuah khotbah yang baik mengerti kebutuhan pendengarnya. Saya percaya bahwa itu adalah
sama halnya dengan doa. Pendengar utama kita adalah Allah, dan itu berarti perhatian
utama kita adalah
bagi Dia dan selebihnya
adalah pelengkap.
Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa banyak
santo-santa dan juga mistikus menyarankan bahwa cara terbaik
dalam berdoa adalah masuk
dalam keheningan. Seorang
wartawan bertanya kepada Bunda Teresa dari Kalkuta tentang apa yang dia lakukan dalam doa. Dia berkata, “Saya mendengarkan-Nya dalam keheningan.” Dan wartawan tersebut, berharap untuk menghasilkan wawancara yang baik,
bertanya lagi, “Lalu, apa yang Tuhan katakan kepada Anda?” Bunda Teresa
menjawab, “Allah juga mendengarkan saya dalam keheningan.”
Injil menunjukkan kepada kita bahwa Allah melakukan
banyak hal untuk memenuhi permintaan kita, tetapi Dia melakukannya
dengan
Kebijaksanaan-Nya sendiri. Masalahnya adalah kita terjebak dalam doa dan
harapan kita yang kaku. Ketika
tampaknya Tuhan tidak mendengar doa kita, itu bukan karena Dia tidak
mendengarkan, tapi karena kita tidak ingin mendengar jawaban-Nya.
Semoga hati kita pun terbuka bagi Allah, ‘Efata!’ dan semakin menaruh iman kita
kepada-Nya, dan bukan pada diri kita sendiri.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment