27 Minggu di Waktu Biasa
4 Oktober 2015
Markus 10: 2-16
Kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang sangat canggih dengan semua kemajuan teknologi dan ilmiah.
Namun, dengan segala kamajuan yang kita
nikmati, kita tetap
saja bergulat dengan permasalah di dalam pernikahan dan tidak dapat berdamai dengan diri kita
sendiri dan pasangan hidup kita. Pernikahan menghadapi jalan bergelombang, dan terkadang
jalan buntu.
Pasangan menemukan kehidupan mereka tidak bahagia dan penuh masalah. Ada
saatnya, terjadi kekerasan verbal, emosional dan fisik. Perselingkuhan ternyata
menjadi godaan besar bahkan untuk pasangan bahagia. Tak heran jika suami dan
istri akhirnya menemukan perpisahan, deklarasi pembatalan nikah, dan bercerai sebagai solusi instan. Generasi muda menemukan hidup
penikahan tidak lagi relevan
dan lebih memilih untuk tinggal bersama tanpa komitmen permanen. Beberapa umat
Kristiani pun memilih menikah sipil, berpikir bahwa pernikahan di Gereja
membawa kerumitan besar
dan beban keuangan.
Hal
Ini tidaklah
mengejutkan, dan pola pikir digital kita
memberikan kontribusi juga pada
semakin ruwetnya permasalahan dalam pernikahan saat ini. Paus Francis dalam Seruan Apostoliknya, Evangelii Gaudium, menulis, “Kadang-kadang kita tergoda untuk mencari alasan dan mengeluh,
bertindak seolah-olah kita hanya bisa bahagia jika seribu kondisi dipenuhi. Hal ini karena ‘masyarakat teknologi’ kita telah berhasil mengandakan kesempatan meraih kenikmatan, namun telah menemukan sangat sulit untuk menemukan sukacita sejati (# 7).”
Kita langsung
beralih saluran TV ketika kita merasa bosan. Kita ketagihan untuk 'Like' dan 'comments’ di Facebook. 'Friend’ dan ‘Unfriend’ menjadi kosa kata baru. Kita selalu dalam
perlombaan untuk gadget terbaru dan membuang model usang meskipun pada
kenyataannya mereka masih berfungsi dengan baik.
Tanpa disadari, kita menelan mentalitas
ini bulat-bulat. Kita
menjadikannya bagian dari sistem kehidupan kita. Kemudian, kita menerapkannya
untuk hal-hal yang lebih penting dalam hidup. Ketika istri tampaknya tidak lagi
menarik, perselingkuhan tampaknya menjadi jawabannya. Ketika komitmen tampak seperti hal usang dan
sulit, free
union tampak menjadi solusi instan. Ketika pernikahan tidak bekerja sesuai
dengan yang kita
harapkan, perceraian datang sebagai solusi yang nyaman. Romo Manoj Rasanjana, OP, seorang imam Dominikan
dari Sri Langka
dan juga sahabat
saya, melihat bahwa
generasi ini tidak lagi tahu bagaimana ‘untuk memperbaiki’ tetapi hanya ‘untuk mengganti’: untuk mengganti saluran TV yang
membosankan,
telepon selular yang tidak lagi popular, pacar yang menjengkelkan dan bahkan suami yang
tua!
Yesus tidak menawarkan solusi instan untuk permasalahan dalam pernikahan kita. Bahkan, Dia menegaskan kembali bahwa percerai bukanlah kehendak Allah. Dia bahkan mengkritik
sikap instan orang-orang Farisi. Yesus tampaknya agak kejam terhadap
orang-orang yang menghadapi begitu
banyak masalah pernikahan. Namun, Yesus tahu bahwa pernikahan dan komitmen adalah
sebuah panggilan bagi
sebuah pilihan radikal untuk mencintai. Sebagai Pencipta kita, Dia menyadari bahwa kita mampu untuk
pemberian diri
yang radikal. Kita menjalin
sebuah pernikahan tidak untuk
menghasilkan banyak
kenikmatan belaka, tetapi
untuk menemukan sukacita sejati bahkan di tengah-tengah masalah dan penderitaan. Kita diciptakan bukan untuk sekedar
kontrak sempetara, tetapi perjanjian abadi.
Yesus mengajak kita untuk mengubah sikap kita dan perspektif
dalam hidup dan pernikahan suci, dan menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan. Dan ini dimulai
dengan hal-hal sederhana. Ini berarti akan melawan budaya gratifikasi instan,
dan bersikap kritis dengan pola pikir teknologi kita. Ini berarti membuat usaha
ekstra dalam membangun dan mempertahankan persahabatan, dan jangan terburu-buru
untuk mengakhirinya saat situasi mulai sulit. Ini berarti menikmati apa yang kita telah miliki
seberapapun kecilnya. Ini
berarti tekun dalam karya yang sulit namun bermakna, dan menghargai orang lain yang
telah memberikan kontribusi positif untuk hidup kita, tidak peduli seberapa
kecilnya. Ini mungkin langkah-langkah
kecil, tapi saat ketekunan dan komitmen telah menjadi kebiasaan kita, pencarian
bagi keindahan dan kebahagian dalam pernikahan dan kehidupan akan datang secara alamiah.
Kemudian, kita menyadari Yesus tidak salah untuk menegakkan hokum
Tuhan bahwa pernikahan
sejati tidaklah terceraikan.
Kita
juga berdoa bagi pasangan suami-istri yang sedang menghadapi badai kehidupan.
Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment