Hari Raya
Penampakan Tuhan
4 Januari
2015
Matius 2: 1-12
“... Mereka melihat Anak itu bersama Maria ibunya. Mereka bersujud
dan melakukan penghormatan kepadanya (Mat 2:11).”
Hari
ini kita merayakan
Hari Raya Epifani. Epifani
berasal dari kata Yunani ‘epiphananie’, yang berarti ‘penampakan’. Oleh karena itu, hari ini juga dikenal
sebagai hari raya Penampakan
Tuhan. Perayaan ini dianggap sebagai
salah satu yang tertua dan paling penting karena Sang Bayi ilahi mengundang tiga orang Majus untuk
mengunjungi dan akhirnya menyembah
Dia. Peristiwa
ini ternyata menjadi
titik kritis bagi identitas dan
misi Yesus di dunia.
Ia
lahir sebagai
orang Yahudi, dari orang tua Yahudi (bahkan
Joseph adalah keturuan bangsawan),
di kota Betlehem, kota kelahiran Daud, raja
besar. Yesus adalah bayi Yahudi di dalam berbagai aspek. Benar bahwa Ia adalah bayi
sederhana, tahta pertama-Nya adalah palungan
hina, dan kehadiran-Nya disambut oleh para gembala yang merupakan Yahudi kelas bawah, namun tetap saja fakta-fakta ini
menguatkan bahwa ia adalah seorang Yahudi dan terlahir untuk orang-orang Yahudi. Semua hal di sekitar kelahiran-Nya menunjuk pada tradisi dan
budaya Israel. Jika kita berhenti pada titik ini, misi Yesus di masa depan akan secara eksklusif tertuju pada bangsa Israel saja. Tetapi, syukurlah, hal itu tidak pernah
terjadi.
Kita bersyukur bahwa ada tiga
orang Majus yang tentunya bukan dari bangsa Yahudi. Tiga Orang Majus dari
Timur berani melakukan perjalanan
ratusan mil, mengikuti bintang terang dan melakukan penghormatan kepada Raja
yang baru lahir. Ini
ternyata menjadi peristiwa
penting dalam kehidupan Kristus dan
Gereja. Penerimaan bangsa-bangsa
lain menandai perubahan radikal
dari orientasi eksklusif terhadap bangsa Yahudi menuju visi inklusif
dan universal bagi segala bangsa. Yesus diutus bukan
hanya untuk menyelamatkan orang-orang
Yahudi, tetapi juga semua manusia dari segala bangsa. Yesus bukan hanya milik keluarga, klan dan
bangsa-Nya, tetapi Ia membentangkan diri-Nya sampai ke ujung dunia.
Semagat universal dan inklusif ini adalah karakter utama dari misi dan aksi
Yesus, dan Gereja sebagai tubuh-Nya, mengambil nilai-nilai
inti ini sebagai bagian dirinya.
Dengan demikian, dalam Kredo Nicea, kita mengatakan
bahwa kita percaya pada Gereja yang satu, kudus, katolik
dan apostolik. Kata Katolik
umumnya diterjemahkan sebagai ‘universal’. Seperti Yesus menyambut semua
orang, dari berbagai bahasa, budaya,
ras dan bangsa, Gereja
juga menerima orang
dari semua bangsa dalam pelukannya. Paus Fransiskus
selalu menekankan bahwa Gereja adalah pengasih dan penyayang,
seperti Tuhan Yesus,
dan Gereja menerima dalam pelukannya semua orang, terutama kaum miskin, kaum marjinal dan orang-orang berdosa.
Sekarang, waktunya bagi kita untuk menjadi
‘katolik’. Lebih mudah untuk berbicara tentang Katolisitas
identitas kita, tetapi untuk berbuah dalam tindakan di kehidupan sehari-hari belum tentu semudah yang
dikatakan. Siapa di antara
kita yang terlibat dalam kegiatan membangun perdamaian dan dialog dengan kelompok-kelompok etnis yang bertentangan? Siapa di antara kita, yang benar-benar yakin dengan kebenaran
Injil,
sekaligus juga terlibat dalam diskusi yang sehat
dengan agama-agama lain? Siapa di antara kita yang mampu menolong orang
lain yang sangat membutuhkan makanan
tanpa melihat siapa mereka? Ya, aksi-aksi ini sangat sulit, tetapi jika bayi kecil dan
lucu saja
bisa memulai usaha
ini, mengapa kita tidak bisa?
Frater Valentinus Bayuhadi
Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment