Minggu Biasa
ke-4
1 Februari
2015
Markus 1: 21-28
“Mereka
takjub mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang
berkuasa... (Markus 1:22)”
Bagaimana kita mendapatkan kekuasaan? Bagaimana kita bisa berbicara dengan kredibilitas? Apa
yang membuat orang lain percaya kepada kita? Beberapa
orang berpikir bahwa kekuasan mengalir secara alamiah dari posisi yang kita miliki. Kita mendapatkan otoritas karena kita berdiri tempat
yang lebih tinggi
dari orang-orang di sekitar kita, entah itu di dalam keluarga, di perusahaan, atau di
Gereja. Hanya
karena kita adalah kepala keluarga, kita pun mengatur segala hal
bagi anggota keluarga yang lain. Hanya karena kita menjabat
sebagai manajer, kita merasa
lebih baik dan unggul dari karyawan lainnya.
Atau hanya karena kita telah ditahbiskan sebagai imam, kita
berhenti mendengarkan umat beriman lainnya dan hanya melakukan apa
yang kita inginkan. Sesungguhnya,
hal ini adalah semu.
Banyak ahli kepemimpinan seperti
John Maxwell dan
Peter Drucker berpendapat
bahwa posisi adalah
jenis kepemimpinan yang terendah. Dalam Injil hari ini, kita
melihat masalah yang serupa dengan
ahli Taurat di Kapernaum.
Mereka berpikir bahwa mereka mendapat wewenang untuk menafsirkan Hukum Musa hanya
karena posisi mereka yang tinggi dalam
rumah ibadat, dan mereka ingin agar
orang Yahudi lain mengikuti mereka.
Romo Adrian Adiredjo,
OP, seorang sahabat, pernah berkata kepada saya, “Ketika kamu berada di atas, orang-orang hanya akan melihat bokongmu.” Tentunya, tidak
ada orang yang mau mendapat ‘bokong’ kita.
Selain melihat kekuasan dari
posisi, sering kitapun mengira bahwa kekuasan berasal kekuatan dan bahkan
kekerasan. Beberapa orang
memiliki konsepsi bahwa otot besar mereka
akan memberi mereka keunggulan atas orang-orang yang lemah, memaksa
mereka untuk melakukan apa yang mereka
inginkan. Sikap ini juga tercermin pada
antagonis Injil hari ini, sang roh jahat. Sebagai
malaikat yang memberontak, kekuatannya jauh
melebihi manusia, dan sayangnya, pria malang di rumah ibadat tidak bisa menahan kekuatan sang roh. Kemudian dengan paksaan, tubuhnya dirasuki dan
dikuasai oleh roh ganas
tersebut. Hal ini sebenarnya adalah tindakan ‘bullying’
atau
intimidasi, dan sungguh memperihatinkan
karena intimidasi terjadi di hampir semua lapisan masyarakat, dari pelajar SMP sampai
para pejabat pemerintah. Ini bukanlah
kekuasan sejati. Ketika yang
tertindas menemukan keberanian sejati,
merekapun memperjuangkan kebebasan dan menjadikan sang penindas tidak
berdaya.
Yesus mengajarkan kita makna sebenarnya dari sebuah kekuasaan. Kita tahu bahwa Ia tidak memiliki posisi apapun seperti halnya ahli Taurat, Ia pun tidak memiliki kekuatan fisik yang superior dan pun senjata, tapi orang-orang mendengarkan dan mengikuti-Nya. Mengapa? Karena kekuasaan-Nya terlahir dari kasih dan kepedulian-Nya terhadap sesama. Dia tidak hanya mengajar, tapi juga
menghidupi ajaran-Nya. Dia tidak hanya menjadi satu dengan
penderitaan orang-orang di sekitar-Nya dan juga aktif terlibat dalam memecahkan masalah mereka. Dia memberikan keberanian dan kekuatan sejati untuk
mereka yang lemah, takut dan tertindas.
Dia sungguh
mengasihi dan memberdayakan teman-teman-Nya. Sebagai konsequensi yang
alamiah, orang-orang pun menghormati Yesus karena mereka merasakan ada perubahan substansial yang terjadi dalam hidup mereka Karena Yesus.
Untuk mendapatkan kekuasaan melalui
posisi atau kekerasaan sudahlah ketinggalan
jaman. Seperti Yesus, upaya
yang tulus untuk mengasihi orang lain dan membuat mereka
tumbuh harus menjadi barometer kekuasan
kita.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno,
OP
No comments:
Post a Comment