Saturday, May 10, 2014

Jadilah Gembala yang Baik

Minggu Paskah keempat/Minggu Gembala yang Baik
11 Mei 2014
Yohanes 10:1-10

“…siapa yang masuk melalui pintu, ia adalah gembala…(Yoh 10:2)” 

Hari ini, dengan gembira kita merayakan Hari Minggu Gembala yang Baik. Tidak diragukan lagi, hati kita melihat Yesus sebagai Gembala yang baik di dalam hidup kita. Tetapi, jika mencermati Injil hari ini, Yesus tidak secara eksplisit menyebut diri-Nya sebagai Gembala yang Baik, melainkan Pintu atau Gerbang keselamatan. Jadi, siapakah gembala baik yang Yesus maksudkan?
Saya teringat kata-kata dari Provinsial saya, Rm. Gerard Timoner, OP dalam salah satu konferensi-nya kepada frater-frater Dominikan bahwa kita adalah “brother-shepherding brother”. Kita adalah gembala bagi satu sama lain terutama ketika formator tidak sekitar! Kebenaran yang mendasari perkataannya adalah bahwa kita masing-masing adalah gembala yang mengikuti Yesus sebagai pola dasar kita. Seorang uskup adalah gembala utama dalam keuskupan dan sementara pastor paroki adalah gembala yang mendedikasikan diri untuk umat lokal. Secara khusus di Indonesia, seorang imam juga disebut ‘pastor’ (kata Latin untuk gembala). Namun, menjadi seorang gembala bukanlah hanya untuk kaum tertahbis. Seorang ayah dan ibu adalah seorang gembala yang keluarganya. Seorang pekerja menjadi gembala bagi rekan-rekan kerjanya. Bahkan seorang kakak adalah gembala berpengaruh terhadap adik-adiknya. Sebuah studi baru-baru ini dikutip National Geographic Indonesia mengungkapkan bahwa anak yang lebih tua memiliki dampak yang lebih besar di dalam membentukan bahasa dan karakter dari adik-adiknya.
Dalam dunia manusia yang berkaitan erat ini, kita dipanggil untuk menjadi gembala yang baik. Sekarang kita lihat kembali Injil hari ini dan membaca kata-kata Yesus dengan seksama. Dia menjelaskan beberapa tindakan seorang gembala: ia masuk melalui pintu gerbang, memanggil domba dengan nama mereka, dan membawa domba keluar. Singkatnya, ada keintiman dan rasa saling memiliki antara gembala dan kawanan domba. Ini adalah karakter and nilai utama yang harus memiliki seorang gembala baik. Namun, harus diakui bahwa kurangnya keintiman yang tulus dan rasa saling memiliki adalah problema mendalam dari masyarakat kontemporer. Andrew Matthews, seorang penulis psikologis populer, menyebut sebuah penelitian bahwa banyak orang merindukan seseorang yang dapat dengan tulus mendengarkan mereka. Bagi sebagian orang, dunia ini adalah sebuah kesepian.
Lalu, bagaimana kita, para gembala yang baik, mengatasi hal ini? Paus Fransiskus pernah mengatakan kepada para kardinal dan uskup agar merekapun memiliki “bau seperti domba. Hanya dengan menjadi satu dan berbaur dengan domba-domba ini kita sungguh menjadi gembala yang baik. Paus Fransiskuspun memberi teladan yang baik. Sebelum ia terpilih sebagai Paus dan menjabat sebagai seorang uskup agung, ia mengunjungi dan merayakan misa di daerah kumuh di Buenos Aires secara rutin. Dia dicintai oleh orang-orang karena dia berbau’ seperti jemaat yang dilayaninya.
Pada dasarnya, saya adalah seorang introvert, yang berarti saya lebih suka berada dalam kesunyian untuk menemukan makna dan kekuatan, daripada berada di dalam kerumunan. Tapi, ketika saya diminta untuk menjadi koordinator Mukha Ad, sebuah kelompok pembinaan kaum muda di seminari, saya memutuskan untuk meregangkan diri dan melemparkan diri ke sebuah interaksi sosial yang tak terbayangkan sebelumnya. Menghabiskan hari Minggu saya dengan anak-anak muda, menyelenggarakan acara bersama, dan mendengarkan keluh-kesah mereka menjadi rutinitas saya. Walaupun sangat sulit, sayapun menemukan makna dan kebahagian. Saya tidak bisa menjadi gembala yang baik jika saya tidak pergi keluar dari comfort zone saya dan berbau seperti anak-anak muda ini. Yah, setidaknya, aroma ini kaum muda jauh lebih baik dari domba!
Melihat kembali ke dalam hidup kita, apakah kita menghabiskan waktu yang berkualitas dengan mendengarkan sahabat-sahabat kita, atau kita hanya fokus pada diri kita sendiri? Apakah kita memberi perhatian yang intensif kepada anak-anak kita, atau sekedar berpikir bahwa mengirim mereka ke sekolah yang baik sudah cukup dari cukup? sudahkah kita menjadi gembala yang baik bagi sesama?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

No comments:

Post a Comment