Minggu
Biasa ke-21
Lukas13:22-30
25
Agustus 2013
Menghidupi Iman
Kita
Untuk
menjadi pengikut
Kristus adalah sebuah pilihan dan
sebagai mana Yesus telah katakan, ini adalah pilihan yang sulit. Iman kita mengatakana
bahwa bahwa surga itu
adalah
nyata, dan
semua ingin masuk surge, tetapi iman saja tidak cukup untuk membawa kita di sana. Untuk mengakui
iman dan mengetahui isi dari iman kita adalah penting adanya, tetapi ini tidaklah lengkap. Kita perlu
melakukan tindakan nyata agar iman kita terwujud
menjadi kenyataan. Jika
tidak, iman kita menjadi
sekedar sebuah retorika belaka. Dalam perkataannya
yang keras St. Yakobus menulis, "iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak
2:17)." Iman adalah anugerah Allah, tetapi untuk
membuat anugerah Allah ini sungguh berbuah
adalah pilihan dari kebebasan kita.
Ini
adalah pilihan yang radikal untuk menghayati iman kita sehari-hari. Kita
dapat dibaptis sebagai Katolik, namun kita tidak pernah pergi ke Gereja. Kita
mengakui keyakinan kita hanya pada satu Tuhan, tapi kita terus membaca horoskop, konsultasi
dengan
peramal dan
menggunakan barang-barang religius sebagai jimat pelindung belaka.
Kita dapat dengan mudah berteriak,
"Tuhan itu baik!" tapi kita mengeluh
setiap
saat di dalam
hidup kita. Kita
diinstruksikan oleh Yesus sendiri untuk mengasihi musuh kita, namun kita senang
memelihara kebencian, tetap
memupuk dendam dan mengambil
kesenangan ketika musuh kita jatuh
tertimpa tangga.
Kita ingin dipanggil
seorang pengikut Kristus, tapi kita
tidak benar-benar mengikuti jejak-Nya.
Kita ingin menjadi Kristiani, namun kita mengadopsi
gaya yang cocok dengan
diri kita sendiri
dan
bukannya meneladani Kristus. Ini adalah masalah serius
dan sungguh
kita mensia-siakan
surga. Jika kita mencoba
untuk parafrase Injil hari ini,
munkin
akan terdengar seperti ini: “Kita mengetuk pintu
gerbang surga dan berteriak
"Tuhan, aku pengikut-Mu",
tetapi Tuhan berkata, "Aku tidak tahu kamu karena kamu tidak pernah benar-benar ikuti Aku."
Frater
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Hari Minggu Biasa ke-20
Lukas 12:49-53
18 Agustus 2013
“Aku datang bukan membawa damai, melainkan pertentangan”
Pilihan Radikal untuk Mengasihi
Mengikuti
Kristus adalah sebuah
pilihan yang radikal karena kita harus
merubah orientasi pribadi kita hanya kepada Tuhan,
dan pelayanan bagi hidup sesama kita.
Seringkali menjadi
murid Kristus menempatkan kita dalam posisi yang canggung dengan sesama kita, dan tidak jarang
memaku kita pada situasi yang berbahaya dan bahkan mengancam jiwa.
Sejarah telah memberikan kesaksian bahwa umat Kristiani dengan jumlah yang tak terhitung lagi lebih memilih untuk mati sebagai martir daripada mengkhianati cinta mereka bagi Yesus dan sesama. Tentunya,
tidak semua orang harus menjadi martir, tapi
mengikuti Kristus tetap
menjadi pilihan yang radikal di dalam kehidupan kita sehari-hari. Suatu kali, seorang teman berbagi cerita bahwa dia jatuh cinta dengan seorang pria, rekan kerjanya.
Tentunya, jatuh cinta dengan seorang pria seusianya sangatlah wajar
dan alamiah. Namun, imannya kemudian mulai diuji ketika dia tahu bahwa sang pria bukanlah
seorang Katolik. lebih jauh lagi, sang pria menuntut dia untuk
pindah agama jika dia ingin sang pria untuk menjadi suaminya.
Dalam situasi
sangat sulit ini, iman tidak lagi sekedar masalah ibadat atau katekese, tapi sebuah pilihan radikal
yang membutuhkan pengorbanan yang sangat besar.
Kata-kata
Yesus dalam Injil hari ini berubah menjadi kenyataan bagi setiap orang yang
berkomitmen kepada-Nya. “Aku membawa
pertentangan bukan perdamaian.” Pertentangan, pemisahan dan permusuhan adalah konsekuensi mengikut
Yesus. Sungguh
sangat sulit mengikuti Kristus. Namun, kabar
baiknya adalah bahwa Yesus tidak berniat untuk menghancurkan kita melalui ‘api’
yang Ia bawa, tapi memberi kita kesempatan untuk mencintai lebih besar.
Saat ini sedang berkecamuk perang
saudara di
negeri Suriah dan telah menelan lebih dari sembilan ratus ribu
jiwa. Diantaranya adalah seorang biarawan Fransiskan bernama Francois Mourad. Alasan ia dibunuh bukan karena ia
memihak
pada salah satu pihak yang bertikai, tetapi karena ia menolak untuk meninggalkan
komunitas pengungsi yang ia layani. Dalam menghadapi kekejaman yang tak terperi, ia dimampukan untuk mencintai dengan lebih mendalam dan akhirnya memberikan dirinya untuk sesamanya. Namun, Rm. Mourad tidaklah sendirian. Mengutip Radio Vatikan, “Mourad hanya salah satu dari banyak biarawan pria dan wanita menempatkan iman mereka di garis depan di Suriah, menolak untuk
meninggalkan
komunitas yang mereka layani, baik Kristiani maupun Muslim.”
Suatu kali,
saya menghadapi krisis mendalam dalam panggilan saya. Jujur, saya bingung: baik
menjadi awam atau imam adalah panggilan yang suci dan baik. Kemudian, seorang imam dating dan memberikan nasihat yang sangat berharga: “Bayu, pilihlah jalan yang menawarkan lebih banyak penderitaan, karena hanya di sana,
kamu dapat mengasihi lebih besar.” Menjadi umat Kristiani pasti keputusan yang sangat sulit, tapi Tuhan
akan memampukan kita untuk melampaui diri kita sendiri dan untuk menjadikan iman kita sebuah kenyataan. Jangan khawatir! Setialah sebagai pengikut-Nya dan kasihilah sesama kita dengan lebih mendalam!
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Minggu ke-18 dalam Masa Biasa
4
Agustus 2013
Lukas
12:13-21
Kekayaan sebagai
Sebuah Berkat
Menjadi kaya adalah sebuah berkat.
Orang-orang
Yahudi percaya bahwa kekayaan adalah pahala Allah kepada hamba-hamba-Nya yang
setia. Beberapa
tokoh di Alkitab membuktikan
kebenaran ini: Abraham yang
setia akhirnya menerima tanah
yang terjanji,
Yusuf yang murah
hati menjadi pejabat tinggi di
tanah Mesir dan Ayub
menerima kembali kekayaannya setelah ia terbukti setia di dalam pencobaan.
Lalu,
bagaimana sikap
Yesus? Meskipun
Dia miskin,
Yesus menerima
dengan baik orang-orang
kaya sebagai
murid-murid-Nya. Yakobus dan Yohanes
sejatinya adalah ahli waris
dari nelayan sukses di danau Galilea (Mat 4:21). Yusuf dari Arimatea pastinya salah satu murid Jesus
yang cukup kaya karena
memiliki pemakaman baru di luar Yerusalem (Mat 27:60).
Namun, Yesus dengan tegas
mengingatkan para pengikutnya bahwa kekayaan bisa berubah menjadi kutukan yang
menghancurkan jika kita tidak
bisa melihatnya sebagai karunia Allah. Kegagalan untuk melihat penyelenggaraan Ilahi di
balik harta benda
yang kita miliki membawa kita hanya pada
keegoisan semata,
ketamakan dan keserakahan. St.
Paulus menuduh
cinta akan uang
sebagai akar dari semua kejahatan (1 Timotius 6:10). Uang itu sendiri bukan
penyebab dari
kejahatan, namun
keterikatan kita yang berlebihan kepada uang. Kita lupa
bahwa cinta kita harus berorientasi pada Dia yang adalah sumber dari semua
kekayaan, bukan pada kekayaan itu sendiri.
Keterikatan yang berlebihan untuk uang hanya melahirkan persaingan
tidak jujur, pencurian,
dan korupsi.
Sadar
bahwa kekayaan berasal dari Allah, mengapa banyak orang masih
mendambakannya? Jawabannya Sederhana! Uang
memberikan
kita kesenangan dan
kenyamanan yang instan di
hidup ini.
Dengan uang kita bisa memiliki gadget terbaru, mobil merek baru, rumah mewah, kekuasaan
politik, kenikmatan
seksual dan tentu saja, lebih banyak uang. Uang hampir bisa membeli segalanya, seolah-olah segala
sesuatu, termasuk manusia, memiliki tanda
harga yang tergantung di leher mereka. Namun, untungnya, tidak semuanya
bisa dirubah menjadi
komoditas bisnis. Hal
terpenting dalam hidup tidak bisa dibeli dengan uang.
Dalam Injil hari ini, Yesus menjungkirbalikan
perspektif para pengikut-Nya
tentang kekayaan. Kita mungkin
berkerja keras untuk mencari nafkah dan tergoda untuk berpikir, “Ini adalah
milikku. Aku
layak mendapatkannya.”
Namun, kita bisa
kehilangan makna terdalam dari ini semua, ketika kita terlalu sibuk
mencari nafkah dan gagal untuk menghargai kehidupan. Setiap harta yang jatuh
ke telapak tangan kita adalah anugerah dan kemurahan Tuhan. Dengan demikian,
setiap kali kita melihat apa yang kita pegang di tangan kita, kita harus
menatapnya sebagai
kemurahan hati Allah. Tentunya, rasa syukur akan tumbuh dari
hati kita dan rasa syukur ini akan berbuah
kemurahan hati di
dalam diri kita. Rasa
takut untuk berbagi
berada di
luar penglihatan
kita karena apa yang kita lihat dalam harta kekayaan ini adalah Tuhan yang telah bermurah hati.
Setiap kali kita
berbagi apa yang kita miliki, kita membuka
tangan kita lebih luas dan menerima
Allah dengan segala
kepenuhan-Nya.
Jangan serakah! Bermurah hatilah seperti
Bapamu yang di surga adalah murah hati.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Hari Minggu Biasa ke-16
21 Juli 2013
Lukas 10:38-42
“Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari
padanya (Luk 10:42)”
Menjadi
Bagian yang Terbaik
Injil hari ini merupakan salah satu
kisah yang paling menyentuh hati di dalam Alkitab. Marta dan Maria menyambut
Yesus yang lelah
setelah Ia menjalani
berbagai pelayanan dan misi pewartaan-Nya. Keduanya mencoba menawarkan
yang terbaik: tangan
yang aktif melayani
dan telinga yang
mendengarkan.
Sungguh, Yesus sangat bergembira dengan keduanya.
Namun, kisah ini menjadi
lebih intensif ketika Martha mulai mengeluhkan sikap saudara
perempuannya. Lalu,
untuk pertama kali, Yesus menyebut
nama seseorang dua
kali berturut-turut
dengan penuh afeksi, “Marta, Marta”. Di sini, kita bisa menduga bahwa
Yesus memiliki
persabatan yang erat dengan Marta dan Maria. Yesus menghargai kerja keras Martha,
tetapi Dia lebih
menghargai hati
Maria yang lembut dan mendengarkan. Kita bisa melihat Yesus dalam kemanusiaan-Nya
yang sejati dan di
dalam-Nya kemanusiaan kita
sendiri. Kita
sebagai manusia tidak hanya memerlukan
kebutuhan jasmani, tetapi juga sebuah sentuhan yang mengisi jiwa kita. Kita
ingin diterima, didengarkan, dipahami dan dicintai.
Yesus menunjukkan bahwa kita bisa berbicara,
bekerja, dan sibuk dengan
sangat mudah, namun ironisnya, kita harus mengerahkan upaya yang luar
biasa hanya untuk diam, tenang dan mendengarkan untuk memahami.
Mari
kita lihat generasi muda saat ini. Time Magazine edisi 20 Mei 2013 menamai generasi
muda saat ini sebagai "ME
generation”. Mengapa "ME
(Aku)"?
Menyebabnya adalah kemajuan
teknologi dan terutama internet menawarkan kita tempat untuk menjadikan kita
'selebriti'. Dengan smartphone di gengaman, kita
bisa menulis sentimen kita di Facebook
wall,
menyebarkan pesan kita melalui Twitter dan meng-upload foto-foto kita di
Instagram setiap
saat. Namun, “ME generation” tidak hanya
tentang popularitas.
Baru-baru ini, seorang gadis Amerika melakukan
bunuh diri, namun apa yang membuat hal lebih mengerikan adalah bahwa dia meng-upload video
di YouTube yang ia
rekam sendiri menjelaskan mengapa dia ingin mati dan bagaimana dia
akan mengakhiri hidupnya.
Jika kita teliti lebih dalam "ME generation"
sesungguhnya berbicara tentang kerinduan terdalam dari genearasi muda masa
kini: kerinduan akan pribadi-pribadi
yang akan mencintai dan memahami mereka. Sayangnya, bukannya pribadi yang nyata yang mereka temukan, tetapi internet,
dan perlahat-lahan mulai
percaya bahwa ini adalah realitas kehidupan mereka.
Kata-kata Yesus untuk Martha
adalah sebuah kebijaksanaan yang juga berlaku bagi generasi kita. Yesus
berbicara tentang kebenaran
bahwa kerinduan terdalam manusia
tidak bisa dipuaskan dengan internet, gadgets ataupun uang. Beberapa pasangan suami-istri
bekerja begitu keras untuk mencari nafkah bagi keluarga mereka dan sibuk meniti tangga
karir, tapi hanya
sedikit waktu digunakan
untuk menyentuh hati sang
pendamping mereka. Beberapa
orangtua mungkin berpikir mereka
telah melakukan yang terbaik dengan mengirim anak-anak
mereka ke sekolah terbaik, tapi berapa banyak waktu, kita menghabiskan
waktu dengan anak-anak mereka untuk mendengarkan cerita dan sentimen sederhana mereka?
Beberapa imam dan kaum
religius menjadi begitu sibuk dengan pelayanan mereka, tetapi ironisnya,
mereka tidak memiliki
waktu untuk mendengarkan saudara-saudara mereka sendiri dalam komunitas.
Hanya pribadi
manusia yang dapat memenuhi kebutuhan terdalam sesamanya. Saat Yesus
menegur Martha, Yesus juga menegur
kita untuk mengambil bagian yang lebih baik dalam melayani sesame kita. Benar bahwa
kebutuhan jasmani adalah penting namun tidak akan pernah
menggantikan sebuah
hati yang mencintai dan telinga
yang mendengarkan
dengan tulus. Jadilah bagian yang lebih baik!
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Hari Minggu Biasa ke-15
14 Juli 2013
Lukas 10:25-37
Belajar Melihat Sebuah Hidup
Kisah
tentang orang Samaria yang baik
hati adalah kisah
keutamaan hidup. Jika
kita melihat lebih dalam karakter-karakter pada kisah ini (sang korban, sang imam, orang
Lewi, dan orang
Samaria), kita akan melihat
kekayaan budaya Yahudi pada zaman Yesus. Mari kita fokus sekarang
pada dua karakter utama kisah
ini: sang
imam dan orang Lewi.
Mengapa sang imam dan
orang Lewi menolak
menolong sang korban yang adalah orang Yahudi juga? Sang Imam dan
Lewi meghindari
sang korban bukan
hanya karena jijik atau kurangnya keahlian medis, tapi itu terutama karena alasan legal/hokum Agama. Hukum Taurat Musa melarang
orang Yahudi khususnya para imam dan orang-orang Lewi untuk menyentuh orang mati
atau darah (Im 15 dan 21).
Sang Imam dan orang Lewi dalam kisah ini pada dasarnya mentaati Hukum dengan sepenuh
hati. Kitab Makabe
menceritakan bagaimana seorang ibu dan tujuh anaknya lebih memilih mati
daripada melanggar Hukum
Taurat dengan makan makanan haram (2 Mak 7). Sang iman dan orang Lewi ini
adalah orang yang pada dasarnya taat hukum, namun
Yesus mengkritik mereka karena
mereka gagal untuk mengenali realitas yang jauh lebih
besar hukum Taurat. Mereka
menolak untuk melihat
kehidupan!
Namun, saya menduga bahwa ada
alasan yang
tersembunyi dibalik
penolakan mereka. Seorang imam dan seorang Lewi terutama hidup dan melayani di
sekitar Bait Allah. Setiap
kali, seorang imam atau seorang Lewi menjadi najis, mereka tidak diperbolehkan
untuk memasuki wilayah
Bait Allah. Ini adalah
pukulan yang sangat
telak bagi mereka. Mereka praktis kehilangan identitas mereka yang terhormat.
Tidak hanya kehilangan kehormatan mereka, kegagalan untuk melakukan tugas suci
mereka di Bait Allah berarti
kehilangan nafkah. Tentu, tak seorang pun ingin menjadi miskin mendadak karena kehilangan
pekerjaan. Di sini, harga diri dan kepentingan ekonomi dapat menutup mata seorang imam dan seorang Lewi
untuk melihat dan menyelamatkan hidup.
Setiap kali, kita menyaksikan kehormatan dan kepentingan bisnis lebih
besar daripada kehidupan, kita menemukan sang
imam dan orang Lewi yang hadir di antara dan bahkan di dalam kita.Ratusan bayi
diaborsi setiap hari, dan
hal ini dibenarkan untuk
menjaga kepentingan ekonomi dan reputasi pribadi. Di beberapa
daerah pedesaan, anak-anak kecil harus berjalan sangat jauh hanya untuk bersekolah di
ruang kelas yang
rusak dan dengan
jumlah guru yang sangat minim. Dimanakah hak
pendidikan mereka
yang layak?
Melalui kisah orang Samaria
yang baik ini,
Yesus mengajak kita untuk melihat hidup kita dan bagaimana kita berhubungan
dengan Tuhan dan sesama kita.
Apakah kita memperlakukan teman-teman kita sebagai sumber pendapatan dan sekedar mitra
bisnis untuk memenuhi kebutuhan kita? Apakah kita berdoa kepada Tuhan hanya
karena ingin keinginan
kita terpenuhi dan dengan demikian,
menjadikan Tuhan sebagai ATM? Tidak!
Mari kita kita memilih untuk menjadi orang Samaria yang baik dan memperjuangkan
hidup.
Frater
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Minggu Biasa ke-14
7 Juli 2013
Lukas 10:1-12.17-20
“Katakanlah
kepada mereka: Kerajaan Allah sudah dekat (Luk 10:9).”
Cepat!
Hidup
manusia ditandai dengan pertumbuhkembangan yang stabil dan terukur. Normalnya,
dibutuhkan bertahun-tahun untuk mendidik seorang anak untuk tumbuh dewasa baik secara fisik, intelektual
maupun emosional, dan siap menghadapi dunia orang dewasa. Saya sendiri harus
menjalani pendidikan
formasi lebih dari 10 tahun di seminari sebelum saya
diizinkan untuk menjadi seorang imam.
Namun, hidup
juga menuntut kecepatan dan ketepatan. Setiap hari, miliaran sel di dalam tubuh
kita memperbanyak diri sementara miliaran lainnya rusak dan mati. Sel darah
merah, sel yang bertanggung jawab membawa oksigen dan praktis seperempat dari
total sel di tubuh kita adalah sel darah ini, hanya memiliki 120 hari siklus
hidup. Tidak hanya dalam dunia mikrobiologi, tetapi kecepatan juga diperlukan
dalam hidup manusia. Setiap hari, banyak dokter harus membuat keputusan medis
kilat yang akan menentukan hidup pasiennya. Keterlambatan beberapa detik saja
sama artinya dengan kematian. Sungguh, kita membutuhkan kecepatan untuk
menyelamatkan orang lain!
Dalam Injil
hari ini, Yesus memulai sebuah operasi kilat. Dia mengutus tidak hanya dua
belas rasul, tetapi juga tujuh puluh murid lain dengan instruksi yang ketat. “Janganlah
membawa pundi-pundi atau bekal atau kasut, dan janganlah memberi salam kepada
siapapun selama dalam perjalanan. (Luk 10:4) dan katakanlah
kepada mereka: Kerajaan Allah sudah dekat (Luk 10:9).” Ada sebuah
urgensi dalam perintah Yesus dan Ia menantikan hasil yang positif dan efisien
dari misi para muridnya. Sungguh, misi mereka adalah sebuah sukses dan murid-murid
kembali dengan gembira (Luk 10:17).
Di sini,
kita melihat sisi lain dari seorang Yesus. Sering kali, Yesus digambarkan sebagai
seseorang yang tenang, lembut dan tidak tergesa-gesa. Dia bahkan tidak bangun
ketika badai menghantam perahu mereka (Mat 8: 24)! Namun, kali ini, Ia
menunjukkan betapa pentingnya sebuah kecepatan. Dia menyadari bahwa mengutus
murid-murid-Nya dengan cara seperti itu sangatlah berisiko, seperti halnya “mengirim
domba di antara serigala”. Mereka mungkin menghadapi kelaparan,
kegagalan dan penolakan. Namun, Yesus bertegar dalam pendiriannya karena
mewartakan Kerajaan Allah berarti mewartakan kehidupan dan hidup juga menuntut
kecepatan dan ketepatan.
Setiap hari,
ribuan bayi diaborsi, banyak perempuan muda jatuh menjadi korban
human-tracfficking dan prostitusi, jutaan menderita di daerah yang dilanda
konflik. Tablet, mingguan Katolik
Internasional pada tanggal 8 Juni, melaporkan bahwa 2 juta anak meninggal
karena kelaparan setiap tahunnya! Ini adalah alasan mengapa Yesus memerintahkan kita untuk bergerak cepat
dan efisien. Hidup manusia dipertaruhkan setiap harinya, dan jika kita ingin
mengikuti Kristus untuk mewartakan Kerajaan Allah, kita perlu untuk terlibat
dengan hidup (dan mati) sesama kita dengan cara yang lebih signifikan. Jadi,
apakah Anda akan hanya duduk di sana, membaca refleksi ini dan merasa diberkati
atau melakukan sesuatu yang lebih berarti bagi sesama Anda? Beranikah Anda?
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Minggu dalam Pekan Biasa ke-13
30 Juni 2013
Lukas 9:51-62
“Ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke
sorga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem (Luk 9:51)”
Yerusalem
Setiap perjalanan memiliki sebuah tujuan akhir. Bahkan perjalanan hanya bisa
dimulai jika memiliki tujuan akhir. Kita tidak akan mengunjungi Paris, kecuali kita memiliki
rencana berlibur di sana. Saya tidak akan berada di Manila, jika saya tidak
pernah bercita-cita menjadi iman. ‘Tujuan akhir’ ini sangat penting
sampai-sampai Aristoteles menciptakan sistme filosofi berdasarkan ‘tujuan
akhir’. Oleh karena ini, pertanyaan pertama dan utama yang perlu kita ajukan
bagi diri kita sendiri adalah ‘apa tujuan akhir saya dalam hidup
ini’. Jawabannya sangat mendasar dan menentukan segala tindakan kita di
kehidupan ini.
Apakah kekayaan? Apakah kenikmatan seksual? Apakah itu kekuasaan? Jika
kekayaan adalah tujuan tertinggi kita, maka korupsi bisa dibenarkan. Jika
kenikmatan seksual adalah motif terakhir kita, maka seks bebas dan prostitusi
adalah wajar. Jika kekuasaan adalah tujuan akhir, maka kekerasan dan intimidasi
adalah aturan permainan yang lazim.
Baru-baru ini, Agence
Frence-Presse (AFP) merilis berita yang menyedihkan: ‘School exam cheating rampant in
graft-ridden Indonesia (Kecurangan saat ujian sekolah
merajalela di Indone. sia yang penuh korupsi).’ Badan ini tidak hanya mengumumkan temuannya
pada kecurangan yang merajalela di Indonesia tetapi juga menghubungkan korupsi
dengan kebiasaan buruk ini. Sederhananya, kita, orang-orang Indonesia, belajar
korupsi di sekolah! Berita itu mungkin benar ataupun tidak, tetapi intinya
dapat merujuk pada pertanyaan yang sama: apakah tujuan akhir kita. Bagi siswa
yang bertujuan mendapat nilai tinggi tanpa bekerja keras, maka kecurangan
merupakan sarana yang menguntungkan. Namun, bagi siswa yang memahami tujuan
pendidikan, kecurangan adalah kecurangan.
Mari kita kembali ke Injil hari ini. Yesus memutuskan untuk pergi ke
Yerusalem di mana Dia akan memenuhi misi-Nya. Namun, berada di Yerusalem
berarti dia harus menerima fitnah, mengalami penderitaan dan mati sebagai
seorang kriminal. Para murid juga tercerai berai dalam seketika. Petrus menyangkal Dia,
Yudas mengkhianati Dia, dan sisanya melarikan diri. Yerusalem adalah tempat
kegagalan total. Namun, meskipun semua ini, Yesus tidak pernah goyah dan tetap
bertekad bulat. Kenapa? Karena Dia tahu ke mana ia pergi. Dia yakin dengan
tujuan-Nya dan bahkan ia bersedia mengorbankan nyawa-Nya sendiri. Ini adalah
Yerusalem yang sama di mana Yesus dibangkitkan. Ini
adalah kota di mana para murid berkumpul lagi dan menerima Roh Kudus di hari
Pentakosta. Gereja lahir di sana. Yerusalem memang tempat akhir yang mulia.
Apa dan dimanakah Yerusalem kita? Apakah kita sungguh menyadari
Yerusalem kita? Apakah kita siap untuk mengubah haluan jika kita bergerak ke
arah yang salah? Apakah kita bersedia untuk membuat pengorbanan untuk mencapai
Yerusalem kita? Apakah kita akan menyerahkan nyawa kita untuk Yerusalem kita?
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
23 Juni 2013
Lukas
9:18-24
"Setiap orang
yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap
hari dan mengikut Aku
(Luk 9:24)”
Realitas Salib
Hari ini,
Yesus mengajarkan kita bagaimana menghadapi penderitaan. Hanya dua kata: Rangkullah
mereka! Hal ini mungkin terdengar sangat salah. Tentu, sebagai manusia, kita
selalu menghindari rasa sakit dan ingin selalu bahagia. Ini mengapa kita
menyukai cerita-cerita klasik (seperti Cinderella, Snow White, dll) yang
berakhir dengan pernikahan dan kedua karakter utamanya hidup bersama bahagia
selamanya. Maka, saat Yesus memerintahkan murid-murid-Nya untuk “menyangkal
diri mereka dan memikul salib mereka setiap hari”, Yesus sepertinya tidak
begitu waras. Sungguhkah demikian?
Mari kita
melihat realitas salib pada zaman Yesus. Disalib adalah cara yang paling brutal
dan memalukan untuk menghukum seorang penjahat. Setiap ancaman bagi Kekaisaran
Romawi tidak hanya akan dipaku di batang kayu salib tetapi juga menjadi
tontonan khalak ramai. Para korban akan mati perlahan-lahan karena mereka
pelan-pelan kehilangan darah dan air. Tidak hanya sangat menyiksa bagi yang
tergantung di pohon, tetapi juga menyakiti perasaan orang yang dicintai melihat
dia tergantung dan putus asa. Penyaliban pasti menuju kematian, tapi semakin
lama penderitaan yang ditimbulkan semakin baik pula penyaliban itu.
Sekarang,
realitas salib menjadi sangat jelek ketika Yesus, Tuhan kita, dengan bebas memilih
untuk menerimanya dan mati dengan salib. Apakah Dia cukup gila ketika ia
memutuskan untuk mengambil bagian terburuk dari kematian? Apakah dia cukup gila
untuk mempromosikan hal ini kepada para pengikutnya?
Kita
kehilangan maknanya jika kita hanya terpusat pada penderitaan itu sendiri. Mari
kita lihat gambaran yang lebih besar. Teologi Kristiani menjelaskan bahwa
penderitaan dan kematian adalah konsekuensi dari dosa kita. Karena semua orang
melakukan dosa, penderitaan adalah nasib kita. Dalam Kemurahan-Nya, Tuhan
selalu dapat menghapus penderitaan, tetapi Dia tidak melakukannya. Kenapa? St.
Paulus memiliki jawabannya: “Sebab
pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa,
tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah (1 Kor
1:18).”
Dengan
merangkul salib, Yesus membuat penderitaan sumber perkembangan, kebijaksanaan
dan bahkan kekudusan. Fokus sebuah salib bukanlah pada pada penderitaan itu
sendiri, melainkan pada Allah yang tergantung di sana. Bukan paku yang menahan
Yesus di kayu salib, tetapi kasih. Kita diajak untuk melihat Allah bahkan di
saat-saat paling suram kehidupan. Ketika seorang ibu mengetahui bahwa putri
satu-satunya hanya hamil di luar nikah, ia bisa memilih untuk menghujat Allah.
Namun, iapun bisa menemukan Tuhan dalam putrinya yang menolak untuk
menggugurkan sang bayi dan dalam komunitas Kristiani yang selalu mendukung.
Salib
bukanlah tentang penderitaan, tetapi bagaimana kita menemukan Allah dalam
penderitaan dan membuat salib sungguh berbuah.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Minggu ke-10 dalam Masa Biasa
9 Juni 2013
Lukas 7:11-17
“ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan (Luk
7:11-17)”
Lebih Besar dari Hidup
Kata kunci dalam Injil
hari ini adalah belas kasih.
Yesus tergerak oleh belas kasihan dan
kemudian membangkitkan kembali anak seorang janda yang telah
meninggal itu. Yesus mengajarkan kita untuk tidak khawatir
akan kematian. Ada sesuatu yang lebih besar
daripada kematian, bahkan lebih besar
daripada kehidupan itu sendiri. Ini
adalah belas kasih.
Namun, jika kita melihat
secara menyeluruh cerita Injil hari ini. Sebenarnya orang-orang sekota dari janda itu juga memiliki belas kasih. Mereka mungkin mencoba untuk
menghibur wanita itu, menemaninya dan mengurus
jenazah sang anak sampai ke kuburan. Mereka bahkan menyewa
sekelompok pelayat profesional untuk
menangis
sepanjang acara pemakaman agar simpati mereka untuk sang janda sungguh
terlihat.
Yesus tentu memiliki kekuatan ilahi
untuk membangkitkan sang anak, tapi toh orang-orang sekotapun melakukan apa
yang mereka bisa untuk berbelas kasih. Lalu apa bedanya Yesus dengan
orang-orang sekota sang Janda? Dari perspektif ini, Injil tidak sekedar menyoroti kuasa Yesus atas kehidupan dan kematian,
tapi kritik Yesus terhadap
orang-orang Yahudi
sejaman-Nya. Ada kesalahpahaman
mendasar tentang belas
kasih. Ini
adalah kekuatan yang sangat besar, namun tanpa pemahaman yang tepat, ini hanya berubah menjadi sangat mematikan
dan menghancurkan. Tindakan
Yesus hari ini adalah terutama untuk menekuk aliran
belas
kasih yang hanya mengalir menuju liang kubur. "Hai, berhenti! Anda
bergerak ke arah yang salah!”
Optimus Prime, pemimpin
Autobots, pernah berkata bahwa manusia adalah makhluk yang mampu menghancurkan
tetapi juga berbelas kasih. Memang, kebangkitan atau kejatuhan dari umat manusia tergantung pada belas kasih yang kita berikan bagi
sesama. Mengapa kemiskinan masih bertahan sampai saat ini? Ini bukan hanya masalah kurangnya sumber daya alam. Dalam arti yang lebih dalam, alasannya dapat ditelusuri
kembali ke belas kasih yang kita miliki. Beberapa orang tidak lagi berbelas
kasih sehingga mereka mencuri bahkan dari mereka yang tidak memiliki apa-apa,
dan beberapa orang lain bahkan memanipulasi belas kasih dari orang-orang yang bersemangat untuk berbagi.
Seluruh umat manusia tampaknya bingung dalam mengekspresikan belas kasih yang
mereka miliki. Ini adalah masalah serius bagaimana kita gagal menaktualisasikan belas kasih kita.
Kita mungkin
seperti orang-orang dalam Injil yang memiliki simpati untuk sang ibu yang
anaknya meninggal, tapi perasaan kita hanya membawa mereka ke kuburan. Injil
hari ini mengajak kita untuk merubah pola pikir kita secara radikal untuk
memahami bagaimana Yesus mengungkapkan belas kasih-Nya. Belas kasih yang
menyentuh dan mengubah hidup (dan mati) dalam cara yang paling mendalam. Belas
kasih yang memberi hidup dalam kompleksitas dunia kita saat ini. Belas kasih
yang berani bertanya secara kritis pada diri kita sendiri, “Apakah belas kasih yang kita miliki telah menjadikan kita lebih besar
dari kehidupan atau sekedar membawa kita menuju kuburan umat manusia?”
Frater
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Hari Raya Tritunggal Mahakudus
Yohanes 16: 12-15
26 Mei 2013
Menjadi
Trinitas-Trinitas Kecil
Kekhasan kita sebagai seorang Kristiani
adalah keyakinan pada Allah Tritunggal Mahakudus. Kita berbagi klaim monoteisme
dengan agama-agama lain, namun keyakinan kita pada satu Tuhan dengan tiga
pribadi ini memungkinkan kita untuk menjadi unik diantara yang lain. Tanpa
ragu, Allah kita adalah satu, namun tanpa ragu juga kita berikan kepada tiga
pribadi di dalam satu Allah kita. Bapa berbeda dari Putra dan Roh Kudus. Sang
Putra ini juga benar-benar unik dari yang lain. Dan, Roh Kudus pasti memiliki
identitas pribadi-Nya sendiri berbeda dengan Bapa dan Putra. Namun, mereka
tetap selalu satu! Bagaimana ini mungkin?!
Relax! Saya belajar selama satu semester
untuk memahami Trinitas tetapi sedikit sekali yang saya pahami. Ini adalah inti
dari iman kita, namun ajaran Gereja ini adalah yang paling sulit dimengerti.
Mengapa Allah memilih untuk mewahyukan kebenaran semacam ini?
Jawabannya sangat mudah, segala hal yang
diwahyukan Allah adalah diperlukan untuk kesalamatan kita. Pertanyaan
berikutnya: bagaimana konkritnya keyakinan kita pada Trinitas bisa
menyelamatkan kita? Kunci terletak pada
hakekat kita yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
Diciptakan menurut citra dan rupa Allah
berarti kita dipanggil untuk menjadi suci dan digariskan untuk berbagi
kebahagiaan abadi dengan-Nya. Tapi, jika kita menelaah lebih dalam tentang
Allah kita, kita tahu bahwa Dia tidak hanya Allah yang satu dan suci tetapi
juga Allah Trinitas. Jadi, lebih dari sekedar suci, kita juga dipanggil untuk
menjadi ‘trinitas-trinitas kecil'! Kita secara fundamental diundang untuk
mencerminkan keselarasan sempurna akan keanekaragaman di bumi seperti halnya di
sorga.
Kita lahir sebagai pribadi yang unik dan
tumbuh menjadi lebih unik! Saya laki-laki, Indonesia, Katolik Roma, Dominikan,
anak sulung, mahasiswa Teologi di Manila dan banyak lagi. Bagaimana dengan
Anda? Bagaimana tentang orang-orang kita temui pagi ini? Dalam perjalanan saya
dari Pontianak ke Jakarta kemarin, saya duduk disebelah orang Prancis yang
berkulit hitam namun berbicara bahasa Indonesia dengan lancar. Kita berbeda dan
kita banyak! Tapi, jangan khawatir. Keragaman tidak pernah dimaksudkan untuk
menjadi sumber konflik dan permusuhan. Hal ini sesungguhnya mencerminkan Tuhan
kita yang Trinitas!
Namun, perbedaan adalah hanya sebuah permulaan. Kita
juga harus menyelesaikan pekerjaan yang selanjutnya. Seperti tiga pribadi ilahi
hidup sebagai komunitas kasih yang sempurna, kita juga mendapat mandat ilahi untuk
membuat perbedaan yang ada sebagai harmoni kasih. Tentunya hal ini sangat keren
dalam teori teologis, tetapi dalam kenyataannya, ini adalah pilihan yang radikal
untuk mencintai keragaman, menerobos dinding kebencian, untuk membersihkan
kesalahpahaman yang telah berakar.
Percaya pada Trinitas berarti kita berani
dengan tulus berbicara dengan mayoritas yang telah mendiskriminasikan kelompok kita.
Percaya kepada Trinitas berarti berani menurunkan posisi kita ke tingkat
orang-orang yang kita anggap rendah dan berbicara sebagai partner yang
sederajat. Ya, sangat sulit! Namun, jika kita percaya pada Trinitas, kita perlu
untuk memenuhi panggilan Allah di dalam kita: menjadi ‘trinitas-trinitas kecil’
di dunia.
Fr. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Hari Raya Kenaikan Tuhan ke Surga
Lukas 24: 46-53
12 Mai 2013
“Goodbye”
‘…dan
ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia berpisah dari mereka dan terangkat ke
sorga (Luke 24:51).’
Piscine “Pi” Molitor Patel, karakter utama dalam film “Life of Pi”, mengatakan bahwa hidup ini sebenarnya adalah sebuah rangkaian perpisahan,
namun bagian yang paling sulit adalah ketika kita tidak bisa mengucapkan
‘goodbye’. Memang, hakekat dari dunia ini adalah kesementaraan. Manusia lahir kemarin dan pergi keesokan harinya, dan sebagai pemazmur menulis, “manusia seperti mimpi, seperti rumput
yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut
dan layu (Mazmur 90:6).”
Hubungan setiap manusia
di bumi ini pasti akan berakhir. Bahkan orang-orang yang kita paling
kasihi, cepat atau lambat, kita
harus melihat mereka berada jauh dari kita. Saya ingat ketika saya hendak masuk novisiat di Filipina, ibu saya menangis dan memelukku erat
seolah-olah dia tidak akan membiarkan saya pergi. Namun, ia melepaskan
pelukannya. Dia memberi saya
kebebasan untuk menghidupi
panggilan saya.
Perpisahan tidak dapat kita
dihindari dan biasanya hal
ini sangat melukai kita. Namun,
Tuhan Yesus hari ini
mengajarkan kita untuk menerimanya, belajar untuk mengucapkan ‘goodbye’ dan membuat perpisahan ini berbuah. Saat Ia naik ke surga, Ia menunjukkan murid-Nya bahwa perpisahan adalah
nyata dan menyakitkan, tapi Ia juga mengungkapkan keyakinan-Nya dalam murid-murid-Nya
bahwa mereka akan sungguh-sungguh
tumbuh, justru tanpa kehadiran fisik-Nya. Datang dan pergi adalah dua sisi dari dinamika kehidupan.
Tanpa hal ini, kita akan
memulai membusuk dan manusia akan menghadapi kepunahannya. Seorang ibu hamil perlu untuk membiarkan bayinya
meninggalkan rahimnya dan bernapas dengan paru-paru sendiri dan hidup. Orang tua harus merelakan anak-anak mereka untuk keluar dari rumah
mereka dan membangun keluarga mereka sendiri dan hidup.
Kembali ke ‘Pi’, dia mengingatkan kita untuk mengatakan ‘goodbye’ karena suatu alasan yang mendalam. ‘Goodbye’ bukan hanya sebuah kata yang menunjukkan
perpisahan, tapi ‘goodbye’ sebenarnya adalah versi singkat
dari ‘God be (with) ye’ (Tuhan
besertamu). ‘Goodbye’ sesungguhnya adalah sebuah berkat dan doa.
Ketika kita membiarkan ‘goodbye’
keluar dari luar mulut, kita
mempercayakan orang yang kita kasihi kepada Tuhan. Kita yakin bahwa bahkan tanpa kehadiran kita, mereka akan
lebih bertambah dewasa karena
Allah bersama mereka. Yesus sendiri memberkati murid-murid-Nya
sebelum keberangkatannya ke surga, sebuah tindakan yang mewujudkan kepercayaan Yesus pada
murid-murid-Nya dan bimbingan
Roh Kudus. Memang, setelah hampir 2 ribu tahun ditinggalkan oleh Kristus
secara fisik, Gereja telah berubah
menjadi komunitas hidup terbesar di seluruh dunia. Saat
mendekati kematiannya, St. Dominikus berbisik kepada
saudara-saudaranya bahwa mereka tidak harus menangisi kepergiannya karena dia akan lebih berguna bagi mereka di surga. Tak dapat
disangkal, Ordo Pengkhotbah tetap menjadi salah satu tarekat religius paling vibran sampai sekarang, hamper 800 tahun
setelah Dominikus wafat.
Dalam Kenaikan-Nya, Yesus menjelaskan kepada kita arti yang lebih dalam dari
sebuah perpisahan, sebuah pertumbuhan dan kehidupan. Kita diajak
untuk merangkul moment perpisahan, berani mengatakan berkat dan membuat setiap perpisahan sebuah kesempatan untuk berbuah.
Kita adalah orang Kristiani,
dan kita bisa hidup sebagai
orang Kristiani karena
Kristus berani untuk memerdekakan kita dan memungkinkan kita untuk hidup dan bersinar dalam Roh Kudus.
Frater Valentinus Bayuhadi
Ruseno, OP
Minggu Paskah kelima
28 April 2013
Yohanes 13:31-33; 34-35
“…semua
orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling
mengasihi (Yoh 13:15).”
Menjadi Murid-Nya
Beberapa waktu lalu, saya
terlibat dalam sebuah diskusi di Facebook. Topik-topik yang kita berbincangkan antara lain tentang beberapa skandal yang mengguncang Gereja. Sebagai wakil Gereja, tentunya saya tergoda untuk membela Gereja sehabis-habisnya
dan menyerang balik. Namun,
saya sadar bahwa diskusi yang menarik tersebut dapat berubah menjadi perang kata-kata. Bukannya
menjembatani perbedaan, saya justru membangun sebuah dinding pemisah yang
lebih tinggi. Dengan demikian, saya mencoba
mendengarkan dan menggali
beberapa point kebenaran. Akhirnya, saya dapat
mengambil sebuah kesimpulan: ‘Memang benar
bahwa ada realitas yang baik dan juga kurang begitu baik di dalam Gereja dan dunia ini. Sekarang,
terserah kepada kita untuk melihat ini melalui perspectif
yang lebih optimis atau
melihat mereka dalam mata yang pesimis; untuk tetap berharap dan memperbaiki keadaan, atau
kehilangan harapan dan melemparkan semuanya ke tong sampah.
Beberapa tahun ini, saya bertemu beberapa orang yang meninggalkan Gereja
dan bahkan berbalik menyerangnya. Mereka tidak bisa melihat masa depan mereka dalam
Gereja karena Gereja sendiri tidak memiliki masa depan. Kita tidak bisa
hanya menyalahkan mereka karena memiliki perspektif suram
terhadap Gereja. Bagian dari
penyebabnya terletak pada diri kita, orang-orang yang
menyebut diri murid-murid
Kristus! Beberapa dari kita gagal untuk menjadi orang Kristiani sejati, dan
sayangnya, beberapa orang lain memilih untuk focus pada kegagalan tersebut. Benar, ada
orang-orang munafik, koruptor, pelaku pelecehan seksual dan
skandal lainnya di dalam Gereja.
Mahatma Gandhi pernah mengatakan bahwa ia memilih Kristus, tetapi bukan orang
Kristiani! Kata-katanya menunjukkan kenyataan bahwa Yesus mengajarkan kasih, tetapi
beberapa orang Inggris, yang mengaku sebagai
pengikut Yesus, mengeksploitasi
India.
Injil hari ini akrab dikenal sebagai ‘amanat perpisahan’. Yesus membuat jelas kehendaknya kepada murid-murid-Nya sebelum Ia
meninggalkan kehidupan duniawi-Nya. Ketika Yesus mengingatkan kita bahwa kita
perlu untuk dikenal sebagai murid-murid-Nya dengan
mengasihi sesama, Yesus
mengesahkan sebuah ‘undang-undang dasar’. Orang lain melihat kita, sikap kita, dan
dari kita, mereka sampai pada kesimpulan Tuhan macam apa yang kita percaya. Kita
memproyeksikan citra Allah kita karena kita
diciptakan menurut citra-Nya. Terutama bagi kami, kaum rohaniawan, orang-orang lebih ingin mengenal Allah
melalui refleksi perbuatan kami. Sayangnya, beberapa dari
kita gagal, dan bahkan sejumlah
imam jatuh ke dalam skandal seksual. Di dalam situasi
yang menyedihkan ini,
beberapa orang tidak menemukan Kristus dalam para
murid-Nya.
Saya percaya,
bagaimanapun, ini bukanlah akhir dari segalanya. Injil hari ini memberi
semagat baru dalam mengikuti
Kristus. Kita semua pernah gagal dalam berbagai aspek kehidupan, tetapi
kita dipanggil untuk tidak kehilangan harapan dan bangkit lagi. Gereja memang jemaat yang terdiri dari orang-orang berdosa, tapi ingat bahwa orang kudus
juga dulunya adalah pendosa.
Satu-satunya hal yang para kudus miliki adalah tidak kehilangan harapan pada rahmat
Tuhan. Paus Franciskus memulai masa kepausannya dengan pesan bahwa Gereja
bukan hanya organisasi sosial, tetapi itu adalah umat
Allah yang berpusat pada
Kristus. Dalam era baru evangelisasi, saya pikir, meskipun sangat penting,
untuk memahami ajaran dasar iman kita tidaklah cukup. Kita tertantang untuk membuat ‘Dia’ yang kita yakini, sebuah realitas yang bersinar di tengah-tengah dunia
yang terkadang pesimistik.
Kita harus mengasihi satu sama lain dalam cara yang sangat konkret dan radikal;
termasuk untuk mengasihi orang-orang Kristiani yang kehilangan harapan dan bahkan
orang-orang yang sekarang berdiri melawan kita.
Fr.
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Minggu Paskah Ketiga
Yohanes 21:1-19
April 14, 2013
Kata Yesus kepada mereka: “Marilah dan
sarapanlah.” … mereka tahu, bahwa Ia adalah Tuhan
(Yoh 21:12).
Tuhan yang ‘Biasa-Biasa Saja’
Hal-hal terbaik
dalam hidup sejatinya gratis dan hampir ditemukan dimana-mana. Kehidupan, cinta-kasih, perdamaian, persahabatan, dan kesehatan
adalah beberapa hal terbaik dalam hidup yang banyak orang inginkan. Sungguh, hal-hal ini tidak
membutuhkan biaya apapun,
tetapi jangan salah, bukan berarti hal-hal in murahan. Seringkali, nilai sejati dari
hal-hal ini baru kita sadari
ketika hal-hal sederhana ini diambil dari kita. Saat
kita kehilangan kemampuan untuk ‘tidur’, kita mulai merasakan betapa tidak enaknya membuka mata lebih dari 24 jam. Kita
mungkin bisa pergi berbelanja ke berbagai mal, dan membeli tempat tidur besar yang nyaman, tapi tidak ada
toko yang mampu menjual ‘tidur’ yang nyenyak dan alami.
Sayangnya, karena hal-hal terbaik ini gratis dan seringkali berada dalam genggaman kita, kita cenderung untuk tidak memperdulikan hal-hal ini. Seringkali, kita melupakan hal-hal ini sangatlah berharga. Lebih buruk lagi, kita menyebut
hal-hal ini sebagai hal yang ‘biasa’, ‘monoton’ dan bahkan ‘membosankan’. Siapa di antara
kita yang benar-benar menghargai ibu kita yang bangun setiap pagi buta untuk
mempersiapkan sarapan yang bergizi untuk seluruh keluarga?
Siapa yang menghargai detak jantung kita yang sangat monoton dan hampir tak
terdengar? Kita gagal untuk menjaga hal-hal terbaik dalam hidup kita dan akhirnya hal-hal ini terlepas dari tangan kita. Yang
terburuk adalah kita mulai melupakan
realitas yang paling penting dalam kehidupan kita yakni
Tuhan sendiri, hanya karena
Dia begitu ‘biasa’.
Rm. Roberto Reyes, seorang imam diosesan dan aktifis
dari Manila, baru-baru ini berkomentar bahwa penurunan jumlah umat yang pergi ke gereja di Filipina adalah karena homili para romo cenderung ‘membosankan’ dan liturgi kita ‘kering’. Rm. Reyes menyimpulkan bahwa jika umat Katolik
menjauh dari Gereja, ini karena liturgi Gereja ‘membosankan’, dan umat lalu berkesimpulan
bahwa ‘Allah’ yang Gereja coba tawarkan pasti juga ‘membosankan’. Kita adalah generasi yang begitu terhanyut dalam
media massa yang setiap detik menyuap kita dengan hiburan-hiburan instan
dan sangat sensual. Generasi ini menjadi selalu haus akan sesuatu yang
menghibur dan menyenangkan,
dan kita menjadi begitu tidak sabar dengan hal-hal yang ‘biasa’ dan ‘sederhana’. Kita bahkan tidak
bisa lagi menghargai ‘kesederhanaan
hidup’ dan bahkan melihat Allah di balik
‘kesahajaan hidup’.
Para murid dalam
Injil hari ini membawa kita ke tingkat yang lebih dalam
untuk memahami Tuhan. Mereka
mengajak kita untuk melihat Allah bahkan dalam kesederhanaan dan rutinitas hidup.
Mereka menemukan Tuhan dalam sarapan pagi yang sederhana (Yoh 21:12)! Gerakan memecahkan roti dan
membagikan ikan adalah sangat ‘biasa’, tetapi gerakan yang sama mengungkapkan Tuhan yang
telah Bangkit. Hal-hal
terbaik dalam hidup tidak menampilkan sesuatu yang luar
biasa, tetapi dalam kesahajaan, hal-hal ini
mengungkap kehidupan dan sumber kehidupan itu sendiri,
yakni Tuhan.
Bersabarlah jika liturgi Gereja cenderung ‘berulang-ulang’ dan homili berubah menjadi obat tidur, karena hal ini tidak
berarti Tuhan kita juga ‘boring’. Rahmat-Nya sungguh bekerja dan
membentuk kita dengan cara
yang paling sederhana, bahkan di luar kesadaran kita. Saya juga tidak berasumsi bahwa anda akan berubah secara instan
setalah membaca refleksi ini, tapi saya berharap untuk berpartisipasi dalam
rahmat Tuhan yang membentuk kita secara perlahan-lahan. Cobalah kita berhenti sejenak dan menghitung berkat yang luar biasa yang kita terima dalam
hidup: sahabat-sahabat
kita, keluarga, rekan kerja, para pendidik dan bahkan petani yang kita tidak kenal tapi menanam padi, sumber makanan kita.
Allah mengungkapkan diri-Nya dan membentuk kita melalui hal-hal ‘biasa’ dan ‘sederhana’, yang sejatinya adalah hal-hal terbaik dalam hidup.
Fr.
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment