Refleksi Hari Minggu



Minggu Biasa ke-21
Lukas13:22-30
25 Agustus  2013

Menghidupi Iman Kita

Untuk menjadi pengikut Kristus adalah sebuah pilihan dan sebagai mana Yesus telah katakan, ini adalah pilihan yang sulit. Iman kita mengatakana bahwa bahwa surga itu adalah nyata, dan semua ingin masuk surge, tetapi iman saja tidak cukup untuk membawa kita di sana. Untuk mengakui iman dan mengetahui isi dari iman kita adalah penting adanya, tetapi ini tidaklah lengkap. Kita perlu melakukan tindakan nyata agar iman kita terwujud menjadi kenyataan. Jika tidak, iman kita menjadi sekedar sebuah retorika belaka. Dalam perkataannya yang keras ​​St. Yakobus menulis, "iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak 2:17)." Iman adalah anugerah Allah, tetapi untuk membuat anugerah Allah ini sungguh berbuah adalah pilihan dari kebebasan kita.
Ini adalah pilihan yang radikal untuk menghayati iman kita sehari-hari. Kita dapat dibaptis sebagai Katolik, namun kita tidak pernah pergi ke Gereja. Kita mengakui keyakinan kita hanya pada satu Tuhan, tapi kita terus membaca horoskop, konsultasi dengan peramal dan menggunakan barang-barang religius sebagai jimat pelindung belaka. Kita dapat dengan mudah berteriak, "Tuhan itu baik!" tapi kita mengeluh setiap saat di dalam hidup kita. Kita diinstruksikan oleh Yesus sendiri untuk mengasihi musuh kita, namun kita senang memelihara kebencian, tetap memupuk dendam dan mengambil kesenangan ketika musuh kita jatuh tertimpa tangga.
Kita ingin dipanggil seorang pengikut Kristus, tapi kita tidak benar-benar mengikuti jejak-Nya. Kita ingin menjadi Kristiani, namun kita mengadopsi gaya yang cocok dengan diri kita sendiri dan bukannya meneladani Kristus. Ini adalah masalah serius dan sungguh kita mensia-siakan surga. Jika kita mencoba untuk parafrase Injil hari ini, munkin akan terdengar seperti ini: Kita mengetuk pintu gerbang surga dan berteriak "Tuhan, aku pengikut-Mu", tetapi Tuhan berkata, "Aku tidak tahu kamu karena kamu tidak pernah benar-benar ikuti Aku."

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP




Hari Minggu Biasa ke-20
Lukas 12:49-53
18 Agustus 2013

“Aku datang bukan membawa damai, melainkan pertentangan”

Pilihan Radikal untuk Mengasihi

Mengikuti Kristus adalah sebuah pilihan yang radikal karena kita harus merubah orientasi pribadi kita hanya kepada Tuhan, dan pelayanan bagi hidup sesama kita. Seringkali menjadi murid Kristus menempatkan kita dalam posisi yang canggung dengan sesama kita, dan tidak jarang memaku kita pada situasi yang berbahaya dan bahkan mengancam jiwa.
Sejarah telah memberikan kesaksian bahwa umat Kristiani dengan jumlah yang tak terhitung lagi lebih memilih untuk mati sebagai martir daripada mengkhianati cinta mereka bagi Yesus dan sesama. Tentunya, tidak semua orang harus menjadi martir, tapi mengikuti Kristus tetap menjadi pilihan yang radikal di dalam kehidupan kita sehari-hari. Suatu kali, seorang teman berbagi cerita bahwa dia jatuh cinta dengan seorang pria, rekan kerjanya. Tentunya, jatuh cinta dengan seorang pria seusianya sangatlah wajar dan alamiah. Namun, imannya kemudian mulai diuji ketika dia tahu bahwa sang pria bukanlah seorang Katolik. lebih jauh lagi, sang pria menuntut dia untuk pindah agama jika dia ingin sang pria untuk menjadi suaminya. Dalam situasi sangat sulit ini, iman tidak lagi sekedar masalah ibadat atau katekese, tapi sebuah pilihan radikal yang membutuhkan pengorbanan yang sangat besar.
Kata-kata Yesus dalam Injil hari ini berubah menjadi kenyataan bagi setiap orang yang berkomitmen kepada-Nya. Aku membawa pertentangan bukan perdamaian.” Pertentangan, pemisahan dan permusuhan adalah konsekuensi mengikut Yesus. Sungguh sangat sulit mengikuti Kristus. Namun, kabar baiknya adalah bahwa Yesus tidak berniat untuk menghancurkan kita melalui ‘api’ yang Ia bawa, tapi memberi kita kesempatan untuk mencintai lebih besar.
Saat ini sedang berkecamuk perang saudara di negeri Suriah dan telah menelan lebih dari sembilan ratus ribu jiwa. Diantaranya adalah seorang biarawan Fransiskan bernama Francois Mourad. Alasan ia dibunuh bukan karena ia memihak pada salah satu pihak yang bertikai, tetapi karena ia menolak untuk meninggalkan komunitas pengungsi yang ia layani. Dalam menghadapi kekejaman yang tak terperi, ia dimampukan untuk mencintai dengan lebih mendalam dan akhirnya memberikan dirinya untuk sesamanya. Namun, Rm. Mourad tidaklah sendirian. Mengutip Radio Vatikan, “Mourad hanya salah satu dari banyak biarawan pria dan wanita menempatkan iman mereka di garis depan di Suriah, menolak untuk meninggalkan komunitas yang mereka layani, baik Kristiani maupun Muslim.”
Suatu kali, saya menghadapi krisis mendalam dalam panggilan saya. Jujur, saya bingung: baik menjadi awam atau imam adalah panggilan yang suci dan baik. Kemudian, seorang imam dating dan memberikan nasihat yang sangat berharga: “Bayu, pilihlah jalan yang menawarkan lebih banyak penderitaan, karena hanya di sana, kamu dapat mengasihi lebih besar. Menjadi umat Kristiani pasti keputusan yang sangat sulit, tapi Tuhan akan memampukan kita untuk melampaui diri kita sendiri dan untuk menjadikan iman kita sebuah kenyataan. Jangan khawatir! Setialah sebagai pengikut-Nya dan kasihilah sesama kita dengan lebih mendalam!

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP




Minggu ke-18 dalam Masa Biasa
4 Agustus 2013
Lukas 12:13-21

Kekayaan sebagai Sebuah Berkat

Menjadi kaya adalah sebuah berkat. Orang-orang Yahudi percaya bahwa kekayaan adalah pahala Allah kepada hamba-hamba-Nya yang setia. Beberapa tokoh di Alkitab membuktikan kebenaran ini: Abraham yang setia akhirnya menerima tanah yang terjanji, Yusuf yang murah hati menjadi pejabat tinggi di tanah Mesir dan Ayub menerima kembali kekayaannya setelah ia terbukti setia di dalam pencobaan.
Lalu, bagaimana sikap Yesus? Meskipun Dia miskin, Yesus menerima dengan baik orang-orang kaya sebagai murid-murid-Nya. Yakobus dan Yohanes sejatinya adalah ahli waris dari nelayan sukses di danau Galilea (Mat 4:21). Yusuf dari Arimatea pastinya salah satu murid Jesus yang cukup kaya karena memiliki pemakaman baru di luar Yerusalem (Mat 27:60).
Namun, Yesus dengan tegas mengingatkan para pengikutnya bahwa kekayaan bisa berubah menjadi kutukan yang menghancurkan jika kita tidak bisa melihatnya sebagai karunia Allah. Kegagalan untuk melihat penyelenggaraan Ilahi di balik harta benda yang kita miliki membawa kita hanya pada keegoisan semata, ketamakan dan keserakahan. St. Paulus menuduh cinta akan uang sebagai akar dari semua kejahatan (1 Timotius 6:10). Uang itu sendiri bukan penyebab dari kejahatan, namun keterikatan kita yang berlebihan kepada uang. Kita lupa bahwa cinta kita harus berorientasi pada Dia yang adalah sumber dari semua kekayaan, bukan pada kekayaan itu sendiri. Keterikatan yang berlebihan untuk uang hanya melahirkan persaingan tidak jujur, pencurian, dan korupsi.
Sadar bahwa kekayaan berasal dari Allah, mengapa banyak orang masih mendambakannya? Jawabannya Sederhana! Uang memberikan kita kesenangan dan kenyamanan yang instan di hidup ini. Dengan uang kita bisa memiliki gadget terbaru, mobil merek baru, rumah mewah, kekuasaan politik, kenikmatan seksual dan tentu saja, lebih banyak uang. Uang hampir bisa membeli segalanya, seolah-olah segala sesuatu, termasuk manusia, memiliki tanda harga yang tergantung di leher mereka. Namun, untungnya, tidak semuanya bisa dirubah menjadi komoditas bisnis. Hal terpenting dalam hidup tidak bisa dibeli dengan uang.
Dalam Injil hari ini, Yesus menjungkirbalikan perspektif para pengikut-Nya tentang kekayaan. Kita mungkin berkerja keras untuk mencari nafkah dan tergoda untuk berpikir, Ini adalah milikku. Aku layak mendapatkannya.” Namun, kita bisa kehilangan makna terdalam dari ini semua, ketika kita terlalu sibuk mencari nafkah dan gagal untuk menghargai kehidupan. Setiap harta yang jatuh ke telapak tangan kita adalah anugerah dan kemurahan Tuhan. Dengan demikian, setiap kali kita melihat apa yang kita pegang di tangan kita, kita harus menatapnya sebagai kemurahan hati Allah. Tentunya, rasa syukur akan tumbuh dari hati kita dan rasa syukur ini akan berbuah kemurahan hati di dalam diri kita. Rasa takut untuk berbagi berada di luar penglihatan kita karena apa yang kita lihat dalam harta kekayaan ini adalah Tuhan yang telah bermurah hati. Setiap kali kita berbagi apa yang kita miliki, kita membuka tangan kita lebih luas dan menerima Allah dengan segala kepenuhan-Nya.
Jangan serakah! Bermurah hatilah seperti Bapamu yang di surga adalah murah hati.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP




Hari Minggu Biasa ke-16

21 Juli 2013

Lukas 10:38-42



“Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya (Luk 10:42)”

Menjadi Bagian yang Terbaik

Injil hari ini merupakan salah satu kisah yang paling menyentuh hati di dalam Alkitab. Marta dan Maria menyambut Yesus yang lelah setelah Ia menjalani berbagai pelayanan dan misi pewartaan-Nya. Keduanya mencoba menawarkan yang terbaik: tangan yang aktif melayani dan telinga yang mendengarkan. Sungguh, Yesus sangat bergembira dengan keduanya.
Namun, kisah ini menjadi lebih intensif ketika Martha mulai mengeluhkan sikap saudara perempuannya. Lalu, untuk pertama kali, Yesus menyebut nama seseorang dua kali berturut-turut dengan penuh afeksi, “Marta, Marta”. Di sini, kita bisa menduga bahwa Yesus memiliki persabatan yang erat dengan Marta dan Maria. Yesus menghargai kerja keras Martha, tetapi Dia lebih menghargai hati Maria yang lembut dan mendengarkan. Kita bisa melihat Yesus dalam kemanusiaan-Nya yang sejati dan di dalam-Nya kemanusiaan kita sendiri. Kita sebagai manusia tidak hanya memerlukan kebutuhan jasmani, tetapi juga sebuah sentuhan yang mengisi jiwa kita. Kita ingin diterima, didengarkan, dipahami dan dicintai.
Yesus menunjukkan bahwa kita bisa berbicara, bekerja, dan sibuk dengan sangat mudah, namun ironisnya, kita harus mengerahkan upaya yang luar biasa hanya untuk diam, tenang dan mendengarkan untuk memahami.
Mari kita lihat generasi muda saat ini. Time Magazine edisi 20 Mei 2013 menamai generasi muda saat ini sebagai "ME generation”. Mengapa "ME (Aku)"? Menyebabnya adalah kemajuan teknologi dan terutama internet menawarkan kita tempat untuk menjadikan kita 'selebriti'. Dengan smartphone di gengaman, kita bisa menulis sentimen kita di Facebook wall, menyebarkan pesan kita melalui Twitter dan meng-upload foto-foto kita di Instagram setiap saat. Namun, ME generation” tidak hanya tentang popularitas. Baru-baru ini, seorang gadis Amerika melakukan bunuh diri, namun apa yang membuat hal lebih mengerikan adalah bahwa dia meng-upload video di YouTube yang ia rekam sendiri menjelaskan mengapa dia ingin mati dan bagaimana dia akan mengakhiri hidupnya. Jika kita teliti lebih dalam "ME generation" sesungguhnya berbicara tentang kerinduan terdalam dari genearasi muda masa kini:  kerinduan akan pribadi-pribadi yang akan mencintai dan memahami mereka. Sayangnya, bukannya pribadi yang nyata yang mereka temukan, tetapi internet, dan perlahat-lahan mulai percaya bahwa ini adalah realitas kehidupan mereka.
Kata-kata Yesus untuk Martha adalah sebuah kebijaksanaan yang juga berlaku bagi generasi kita. Yesus berbicara tentang kebenaran bahwa kerinduan terdalam manusia tidak bisa dipuaskan dengan internet, gadgets ataupun uang. Beberapa pasangan suami-istri bekerja begitu keras untuk mencari nafkah bagi keluarga mereka dan sibuk meniti tangga karir, tapi hanya sedikit waktu digunakan untuk menyentuh hati sang pendamping mereka. Beberapa orangtua mungkin berpikir mereka telah melakukan yang terbaik dengan mengirim anak-anak mereka ke sekolah terbaik, tapi berapa banyak waktu, kita menghabiskan waktu dengan anak-anak mereka untuk mendengarkan cerita dan sentimen sederhana mereka? Beberapa imam dan kaum religius menjadi begitu sibuk dengan pelayanan mereka, tetapi ironisnya, mereka tidak memiliki waktu untuk mendengarkan saudara-saudara mereka sendiri dalam komunitas. Hanya pribadi manusia yang dapat memenuhi kebutuhan terdalam sesamanya. Saat Yesus menegur Martha, Yesus juga menegur kita untuk mengambil bagian yang lebih baik dalam melayani sesame kita. Benar bahwa kebutuhan jasmani adalah penting namun tidak akan pernah menggantikan sebuah hati yang mencintai dan telinga yang mendengarkan dengan tulus. Jadilah bagian yang lebih baik!

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
 


Hari Minggu Biasa ke-15

14 Juli 2013
Lukas 10:25-37

Belajar Melihat Sebuah Hidup

Kisah tentang orang Samaria yang baik hati adalah kisah keutamaan hidup. Jika kita melihat lebih dalam karakter-karakter pada kisah ini (sang korban, sang imam, orang Lewi, dan orang Samaria), kita akan melihat kekayaan budaya Yahudi pada zaman Yesus. Mari kita fokus sekarang pada dua karakter utama kisah ini: sang imam dan orang Lewi.
Mengapa sang imam dan orang Lewi menolak menolong sang korban yang adalah orang Yahudi juga? Sang Imam dan Lewi meghindari sang korban bukan hanya karena jijik atau kurangnya keahlian medis, tapi itu terutama karena alasan legal/hokum Agama. Hukum Taurat Musa melarang orang Yahudi khususnya para imam dan orang-orang Lewi untuk menyentuh orang mati atau darah (Im 15 dan 21). Sang Imam dan orang Lewi dalam kisah ini pada dasarnya mentaati Hukum dengan sepenuh hati. Kitab Makabe menceritakan bagaimana seorang ibu dan tujuh anaknya lebih memilih mati daripada melanggar Hukum Taurat dengan makan makanan haram (2 Mak 7). Sang iman dan orang Lewi ini adalah orang yang pada dasarnya taat hukum, namun Yesus mengkritik mereka karena mereka gagal untuk mengenali realitas yang jauh lebih besar hukum Taurat. Mereka menolak untuk melihat kehidupan!
Namun, saya menduga bahwa ada alasan yang tersembunyi dibalik penolakan mereka. Seorang imam dan seorang Lewi terutama hidup dan melayani di sekitar Bait Allah. Setiap kali, seorang imam atau seorang Lewi menjadi najis, mereka tidak diperbolehkan untuk memasuki wilayah Bait Allah. Ini adalah pukulan yang sangat telak bagi mereka. Mereka praktis kehilangan identitas mereka yang terhormat. Tidak hanya kehilangan kehormatan mereka, kegagalan untuk melakukan tugas suci mereka di Bait Allah berarti kehilangan nafkah. Tentu, tak seorang pun ingin menjadi miskin mendadak karena kehilangan pekerjaan. Di sini, harga diri dan kepentingan ekonomi dapat menutup mata seorang imam dan seorang Lewi untuk melihat dan menyelamatkan hidup.
Setiap kali, kita menyaksikan kehormatan dan kepentingan bisnis lebih besar daripada kehidupan, kita menemukan sang imam dan orang Lewi yang hadir di antara dan bahkan di dalam kita.Ratusan bayi diaborsi setiap hari, dan hal ini dibenarkan untuk menjaga kepentingan ekonomi dan reputasi pribadi. Di beberapa daerah pedesaan, anak-anak kecil harus berjalan sangat jauh hanya untuk bersekolah di ruang kelas yang rusak dan dengan jumlah guru yang sangat minim. Dimanakah hak pendidikan mereka yang layak?
Melalui kisah orang Samaria yang baik ini, Yesus mengajak kita untuk melihat hidup kita dan bagaimana kita berhubungan dengan Tuhan dan sesama kita. Apakah kita memperlakukan teman-teman kita sebagai sumber pendapatan dan sekedar mitra bisnis untuk memenuhi kebutuhan kita? Apakah kita berdoa kepada Tuhan hanya karena ingin keinginan kita terpenuhi dan dengan demikian, menjadikan Tuhan sebagai ATM? Tidak! Mari kita kita memilih untuk menjadi orang Samaria yang baik dan memperjuangkan hidup.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP



Minggu Biasa ke-14

7 Juli 2013
Lukas 10:1-12.17-20

“Katakanlah kepada mereka: Kerajaan Allah sudah dekat (Luk 10:9).”

Cepat!

Hidup manusia ditandai dengan pertumbuhkembangan yang stabil dan terukur. Normalnya, dibutuhkan bertahun-tahun untuk mendidik seorang anak untuk tumbuh dewasa baik secara fisik, intelektual maupun emosional, dan siap menghadapi dunia orang dewasa. Saya sendiri harus menjalani pendidikan formasi lebih dari 10 tahun di seminari sebelum saya diizinkan untuk menjadi seorang imam.
Namun, hidup juga menuntut kecepatan dan ketepatan. Setiap hari, miliaran sel di dalam tubuh kita memperbanyak diri sementara miliaran lainnya rusak dan mati. Sel darah merah, sel yang bertanggung jawab membawa oksigen dan praktis seperempat dari total sel di tubuh kita adalah sel darah ini, hanya memiliki 120 hari siklus hidup. Tidak hanya dalam dunia mikrobiologi, tetapi kecepatan juga diperlukan dalam hidup manusia. Setiap hari, banyak dokter harus membuat keputusan medis kilat yang akan menentukan hidup pasiennya. Keterlambatan beberapa detik saja sama artinya dengan kematian. Sungguh, kita membutuhkan kecepatan untuk menyelamatkan orang lain!
Dalam Injil hari ini, Yesus memulai sebuah operasi kilat. Dia mengutus tidak hanya dua belas rasul, tetapi juga tujuh puluh murid lain dengan instruksi yang ketat. Janganlah membawa pundi-pundi atau bekal atau kasut, dan janganlah memberi salam kepada siapapun selama dalam perjalanan. (Luk 10:4) dan katakanlah kepada mereka: Kerajaan Allah sudah dekat (Luk 10:9).” Ada sebuah urgensi dalam perintah Yesus dan Ia menantikan hasil yang positif dan efisien dari misi para muridnya. Sungguh, misi mereka adalah sebuah sukses dan murid-murid kembali dengan gembira (Luk 10:17).
Di sini, kita melihat sisi lain dari seorang Yesus. Sering kali, Yesus digambarkan sebagai seseorang yang tenang, lembut dan tidak tergesa-gesa. Dia bahkan tidak bangun ketika badai menghantam perahu mereka (Mat 8: 24)! Namun, kali ini, Ia menunjukkan betapa pentingnya sebuah kecepatan. Dia menyadari bahwa mengutus murid-murid-Nya dengan cara seperti itu sangatlah berisiko, seperti halnya “mengirim domba di antara serigala”. Mereka mungkin menghadapi kelaparan, kegagalan dan penolakan. Namun, Yesus bertegar dalam pendiriannya karena mewartakan Kerajaan Allah berarti mewartakan kehidupan dan hidup juga menuntut kecepatan dan ketepatan.
Setiap hari, ribuan bayi diaborsi, banyak perempuan muda jatuh menjadi korban human-tracfficking dan prostitusi, jutaan menderita di daerah yang dilanda konflik. Tablet, mingguan Katolik Internasional pada tanggal 8 Juni, melaporkan bahwa 2 juta anak meninggal karena kelaparan setiap tahunnya! Ini adalah alasan mengapa Yesus memerintahkan kita untuk bergerak cepat dan efisien. Hidup manusia dipertaruhkan setiap harinya, dan jika kita ingin mengikuti Kristus untuk mewartakan Kerajaan Allah, kita perlu untuk terlibat dengan hidup (dan mati) sesama kita dengan cara yang lebih signifikan. Jadi, apakah Anda akan hanya duduk di sana, membaca refleksi ini dan merasa diberkati atau melakukan sesuatu yang lebih berarti bagi sesama Anda? Beranikah Anda?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP


Minggu dalam Pekan Biasa ke-13
30 Juni 2013
Lukas 9:51-62

Ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke sorga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem (Luk 9:51)”

Yerusalem

Setiap perjalanan memiliki sebuah tujuan akhir. Bahkan perjalanan hanya bisa dimulai jika memiliki tujuan akhir. Kita tidak akan mengunjungi Paris, kecuali kita memiliki rencana berlibur di sana. Saya tidak akan berada di Manila, jika saya tidak pernah bercita-cita menjadi iman. ‘Tujuan akhir’ ini sangat penting sampai-sampai Aristoteles menciptakan sistme filosofi berdasarkan ‘tujuan akhir’. Oleh karena ini, pertanyaan pertama dan utama yang perlu kita ajukan bagi diri kita sendiri adalah ‘apa tujuan akhir saya dalam hidup ini’. Jawabannya sangat mendasar dan menentukan segala tindakan kita di kehidupan ini.
Apakah kekayaan? Apakah kenikmatan seksual? Apakah itu kekuasaan? Jika kekayaan adalah tujuan tertinggi kita, maka korupsi bisa dibenarkan. Jika kenikmatan seksual adalah motif terakhir kita, maka seks bebas dan prostitusi adalah wajar. Jika kekuasaan adalah tujuan akhir, maka kekerasan dan intimidasi adalah aturan permainan yang lazim.
Baru-baru ini, Agence Frence-Presse (AFP) merilis berita yang menyedihkan: ‘School exam cheating rampant in graft-ridden Indonesia (Kecurangan saat ujian sekolah merajalela di Indone. sia yang penuh korupsi).’ Badan ini tidak hanya mengumumkan temuannya pada kecurangan yang merajalela di Indonesia tetapi juga menghubungkan korupsi dengan kebiasaan buruk ini. Sederhananya, kita, orang-orang Indonesia, belajar korupsi di sekolah! Berita itu mungkin benar ataupun tidak, tetapi intinya dapat merujuk pada pertanyaan yang sama: apakah tujuan akhir kita. Bagi siswa yang bertujuan mendapat nilai tinggi tanpa bekerja keras, maka kecurangan merupakan sarana yang menguntungkan. Namun, bagi siswa yang memahami tujuan pendidikan, kecurangan adalah kecurangan.
Mari kita kembali ke Injil hari ini. Yesus memutuskan untuk pergi ke Yerusalem di mana Dia akan memenuhi misi-Nya. Namun, berada di Yerusalem berarti dia harus menerima fitnah, mengalami penderitaan dan mati sebagai seorang kriminal. Para murid juga tercerai berai dalam seketika. Petrus menyangkal Dia, Yudas mengkhianati Dia, dan sisanya melarikan diri. Yerusalem adalah tempat kegagalan total. Namun, meskipun semua ini, Yesus tidak pernah goyah dan tetap bertekad bulat. Kenapa? Karena Dia tahu ke mana ia pergi. Dia yakin dengan tujuan-Nya dan bahkan ia bersedia mengorbankan nyawa-Nya sendiri. Ini adalah Yerusalem yang sama  di mana Yesus dibangkitkan. Ini adalah kota di mana para murid berkumpul lagi dan menerima Roh Kudus di hari Pentakosta. Gereja lahir di sana. Yerusalem memang tempat akhir yang mulia.
Apa dan dimanakah Yerusalem kita? Apakah kita sungguh menyadari Yerusalem kita? Apakah kita siap untuk mengubah haluan jika kita bergerak ke arah yang salah? Apakah kita bersedia untuk membuat pengorbanan untuk mencapai Yerusalem kita? Apakah kita akan menyerahkan nyawa kita untuk Yerusalem kita?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP


Minggu Ke-12 dalam Masa Biasa
23 Juni 2013
Lukas 9:18-24

"Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku (Luk 9:24)”

Realitas Salib

Hari ini, Yesus mengajarkan kita bagaimana menghadapi penderitaan. Hanya dua kata: Rangkullah mereka! Hal ini mungkin terdengar sangat salah. Tentu, sebagai manusia, kita selalu menghindari rasa sakit dan ingin selalu bahagia. Ini mengapa kita menyukai cerita-cerita klasik (seperti Cinderella, Snow White, dll) yang berakhir dengan pernikahan dan kedua karakter utamanya hidup bersama bahagia selamanya. Maka, saat Yesus memerintahkan murid-murid-Nya untuk “menyangkal diri mereka dan memikul salib mereka setiap hari”, Yesus sepertinya tidak begitu waras. Sungguhkah demikian?
Mari kita melihat realitas salib pada zaman Yesus. Disalib adalah cara yang paling brutal dan memalukan untuk menghukum seorang penjahat. Setiap ancaman bagi Kekaisaran Romawi tidak hanya akan dipaku di batang kayu salib tetapi juga menjadi tontonan khalak ramai. Para korban akan mati perlahan-lahan karena mereka pelan-pelan kehilangan darah dan air. Tidak hanya sangat menyiksa bagi yang tergantung di pohon, tetapi juga menyakiti perasaan orang yang dicintai melihat dia tergantung dan putus asa. Penyaliban pasti menuju kematian, tapi semakin lama penderitaan yang ditimbulkan semakin baik pula penyaliban itu.
Sekarang, realitas salib menjadi sangat jelek ketika Yesus, Tuhan kita, dengan bebas memilih untuk menerimanya dan mati dengan salib. Apakah Dia cukup gila ketika ia memutuskan untuk mengambil bagian terburuk dari kematian? Apakah dia cukup gila untuk mempromosikan hal ini kepada para pengikutnya?
Kita kehilangan maknanya jika kita hanya terpusat pada penderitaan itu sendiri. Mari kita lihat gambaran yang lebih besar. Teologi Kristiani menjelaskan bahwa penderitaan dan kematian adalah konsekuensi dari dosa kita. Karena semua orang melakukan dosa, penderitaan adalah nasib kita. Dalam Kemurahan-Nya, Tuhan selalu dapat menghapus penderitaan, tetapi Dia tidak melakukannya. Kenapa? St. Paulus memiliki jawabannya: “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah (1 Kor 1:18).”
Dengan merangkul salib, Yesus membuat penderitaan sumber perkembangan, kebijaksanaan dan bahkan kekudusan. Fokus sebuah salib bukanlah pada pada penderitaan itu sendiri, melainkan pada Allah yang tergantung di sana. Bukan paku yang menahan Yesus di kayu salib, tetapi kasih. Kita diajak untuk melihat Allah bahkan di saat-saat paling suram kehidupan. Ketika seorang ibu mengetahui bahwa putri satu-satunya hanya hamil di luar nikah, ia bisa memilih untuk menghujat Allah. Namun, iapun bisa menemukan Tuhan dalam putrinya yang menolak untuk menggugurkan sang bayi dan dalam komunitas Kristiani yang selalu mendukung.
Salib bukanlah tentang penderitaan, tetapi bagaimana kita menemukan Allah dalam penderitaan dan membuat salib sungguh berbuah.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP




Minggu ke-10 dalam Masa Biasa
9 Juni 2013
Lukas 7:11-17

“ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan (Luk 7:11-17)”


Lebih Besar dari Hidup

Kata kunci dalam Injil hari ini adalah belas kasih. Yesus tergerak oleh belas kasihan dan kemudian membangkitkan kembali anak seorang janda yang telah meninggal itu. Yesus mengajarkan kita untuk tidak khawatir akan kematian. Ada sesuatu yang lebih besar daripada kematian, bahkan lebih besar daripada kehidupan itu sendiri. Ini adalah belas kasih.

Namun, jika kita melihat secara menyeluruh cerita Injil hari ini. Sebenarnya orang-orang sekota dari janda itu juga memiliki belas kasih. Mereka mungkin mencoba untuk menghibur wanita itu, menemaninya dan mengurus jenazah sang anak sampai ke kuburan. Mereka bahkan menyewa sekelompok pelayat profesional untuk menangis sepanjang acara pemakaman agar simpati mereka untuk sang janda sungguh terlihat.

Yesus tentu memiliki kekuatan ilahi untuk membangkitkan sang anak, tapi toh orang-orang sekotapun melakukan apa yang mereka bisa untuk berbelas kasih. Lalu apa bedanya Yesus dengan orang-orang sekota sang Janda?  Dari perspektif ini, Injil tidak sekedar menyoroti kuasa Yesus atas kehidupan dan kematian, tapi kritik Yesus terhadap orang-orang Yahudi sejaman-Nya. Ada kesalahpahaman mendasar tentang belas kasih. Ini adalah kekuatan yang sangat besar, namun tanpa pemahaman yang tepat, ini hanya berubah menjadi sangat mematikan dan menghancurkan. Tindakan Yesus hari ini adalah terutama untuk menekuk aliran belas kasih yang hanya mengalir menuju liang kubur. "Hai, berhenti! Anda bergerak ke arah yang salah!

 Optimus Prime, pemimpin Autobots, pernah berkata bahwa manusia adalah makhluk yang mampu menghancurkan tetapi juga berbelas kasih. Memang, kebangkitan atau kejatuhan dari umat manusia tergantung pada belas kasih yang kita berikan bagi sesama. Mengapa kemiskinan masih bertahan sampai saat ini? Ini bukan hanya masalah kurangnya sumber daya alam. Dalam arti yang lebih dalam, alasannya dapat ditelusuri kembali ke belas kasih yang kita miliki. Beberapa orang tidak lagi berbelas kasih sehingga mereka mencuri bahkan dari mereka yang tidak memiliki apa-apa, dan beberapa orang lain bahkan memanipulasi belas kasih dari orang-orang yang bersemangat untuk berbagi. Seluruh umat manusia tampaknya bingung dalam mengekspresikan belas kasih yang mereka miliki. Ini adalah masalah serius bagaimana kita gagal menaktualisasikan belas kasih kita.

Kita mungkin seperti orang-orang dalam Injil yang memiliki simpati untuk sang ibu yang anaknya meninggal, tapi perasaan kita hanya membawa mereka ke kuburan. Injil hari ini mengajak kita untuk merubah pola pikir kita secara radikal untuk memahami bagaimana Yesus mengungkapkan belas kasih-Nya. Belas kasih yang menyentuh dan mengubah hidup (dan mati) dalam cara yang paling mendalam. Belas kasih yang memberi hidup dalam kompleksitas dunia kita saat ini. Belas kasih yang berani bertanya secara kritis pada diri kita sendiri, “Apakah belas kasih yang kita miliki telah menjadikan kita lebih besar dari kehidupan atau sekedar membawa kita menuju kuburan umat manusia?”
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP




Hari Raya Tritunggal Mahakudus
Yohanes 16: 12-15
26 Mei 2013

Menjadi Trinitas-Trinitas Kecil

Kekhasan kita sebagai seorang Kristiani adalah keyakinan pada Allah Tritunggal Mahakudus. Kita berbagi klaim monoteisme dengan agama-agama lain, namun keyakinan kita pada satu Tuhan dengan tiga pribadi ini memungkinkan kita untuk menjadi unik diantara yang lain. Tanpa ragu, Allah kita adalah satu, namun tanpa ragu juga kita berikan kepada tiga pribadi di dalam satu Allah kita. Bapa berbeda dari Putra dan Roh Kudus. Sang Putra ini juga benar-benar unik dari yang lain. Dan, Roh Kudus pasti memiliki identitas pribadi-Nya sendiri berbeda dengan Bapa dan Putra. Namun, mereka tetap selalu satu! Bagaimana ini mungkin?!
Relax! Saya belajar selama satu semester untuk memahami Trinitas tetapi sedikit sekali yang saya pahami. Ini adalah inti dari iman kita, namun ajaran Gereja ini adalah yang paling sulit dimengerti. Mengapa Allah memilih untuk mewahyukan kebenaran semacam ini?
Jawabannya sangat mudah, segala hal yang diwahyukan Allah adalah diperlukan untuk kesalamatan kita. Pertanyaan berikutnya: bagaimana konkritnya keyakinan kita pada Trinitas bisa menyelamatkan kita? Kunci terletak pada hakekat kita yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
Diciptakan menurut citra dan rupa Allah berarti kita dipanggil untuk menjadi suci dan digariskan untuk berbagi kebahagiaan abadi dengan-Nya. Tapi, jika kita menelaah lebih dalam tentang Allah kita, kita tahu bahwa Dia tidak hanya Allah yang satu dan suci tetapi juga Allah Trinitas. Jadi, lebih dari sekedar suci, kita juga dipanggil untuk menjadi ‘trinitas-trinitas kecil'! Kita secara fundamental diundang untuk mencerminkan keselarasan sempurna akan keanekaragaman di bumi seperti halnya di sorga.
Kita lahir sebagai pribadi yang unik dan tumbuh menjadi lebih unik! Saya laki-laki, Indonesia, Katolik Roma, Dominikan, anak sulung, mahasiswa Teologi di Manila dan banyak lagi. Bagaimana dengan Anda? Bagaimana tentang orang-orang kita temui pagi ini? Dalam perjalanan saya dari Pontianak ke Jakarta kemarin, saya duduk disebelah orang Prancis yang berkulit hitam namun berbicara bahasa Indonesia dengan lancar. Kita berbeda dan kita banyak! Tapi, jangan khawatir. Keragaman tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi sumber konflik dan permusuhan. Hal ini sesungguhnya mencerminkan Tuhan kita yang Trinitas!
 Namun, perbedaan adalah hanya sebuah permulaan. Kita juga harus menyelesaikan pekerjaan yang selanjutnya. Seperti tiga pribadi ilahi hidup sebagai komunitas kasih yang sempurna, kita juga mendapat mandat ilahi untuk membuat perbedaan yang ada sebagai harmoni kasih. Tentunya hal ini sangat keren dalam teori teologis, tetapi dalam kenyataannya, ini adalah pilihan yang radikal untuk mencintai keragaman, menerobos dinding kebencian, untuk membersihkan kesalahpahaman yang telah berakar.
Percaya pada Trinitas berarti kita berani dengan tulus berbicara dengan mayoritas yang telah mendiskriminasikan kelompok kita. Percaya kepada Trinitas berarti berani menurunkan posisi kita ke tingkat orang-orang yang kita anggap rendah dan berbicara sebagai partner yang sederajat. Ya, sangat sulit! Namun, jika kita percaya pada Trinitas, kita perlu untuk memenuhi panggilan Allah di dalam kita: menjadi ‘trinitas-trinitas kecil’ di dunia.


Fr. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP


Hari Raya Kenaikan Tuhan ke Surga
Lukas 24: 46-53
12 Mai 2013
      

“Goodbye”


‘…dan ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia berpisah dari mereka dan terangkat ke sorga (Luke 24:51).’

Piscine “Pi” Molitor Patel, karakter utama dalam film Life of Pi, mengatakan bahwa hidup ini sebenarnya adalah sebuah rangkaian perpisahan, namun bagian yang paling sulit adalah ketika kita tidak bisa mengucapkan ‘goodbye’. Memang, hakekat dari dunia ini adalah kesementaraan. Manusia lahir kemarin dan pergi keesokan harinya, dan sebagai pemazmur menulis, “manusia seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu (Mazmur 90:6).”

Hubungan setiap manusia di bumi ini pasti akan berakhir. Bahkan orang-orang yang kita paling kasihi, cepat atau lambat, kita harus melihat mereka berada jauh dari kita. Saya ingat ketika saya hendak masuk novisiat di Filipina, ibu saya menangis dan memelukku erat seolah-olah dia tidak akan membiarkan saya pergi. Namun, ia melepaskan pelukannya. Dia memberi saya kebebasan untuk menghidupi panggilan saya.

Perpisahan tidak dapat kita dihindari dan biasanya hal ini sangat melukai kita. Namun, Tuhan Yesus hari ini mengajarkan kita untuk menerimanya, belajar untuk mengucapkan ‘goodbye’ dan membuat perpisahan ini berbuah. Saat Ia naik ke surga, Ia menunjukkan murid-Nya bahwa perpisahan adalah nyata dan menyakitkan, tapi Ia juga mengungkapkan keyakinan-Nya dalam murid-murid-Nya bahwa mereka akan sungguh-sungguh tumbuh, justru tanpa kehadiran fisik-Nya. Datang dan pergi adalah dua sisi dari dinamika kehidupan. Tanpa hal ini, kita akan memulai membusuk dan manusia akan menghadapi kepunahannya. Seorang ibu hamil perlu untuk membiarkan bayinya meninggalkan rahimnya dan bernapas dengan paru-paru sendiri dan hidup. Orang tua harus merelakan anak-anak mereka untuk keluar dari rumah mereka dan membangun keluarga mereka sendiri dan hidup.
 
Kembali ke Pi, dia mengingatkan kita untuk mengatakan ‘goodbye’ karena suatu alasan yang mendalam. ‘Goodbye’ bukan hanya sebuah kata yang menunjukkan perpisahan, tapi ‘goodbye’ sebenarnya adalah versi singkat dari ‘God be (with) ye’ (Tuhan besertamu). ‘Goodbye’ sesungguhnya adalah sebuah berkat dan doa. Ketika kita membiarkan goodbye’ keluar dari luar mulut, kita mempercayakan orang yang kita kasihi kepada Tuhan. Kita yakin bahwa bahkan tanpa kehadiran kita, mereka akan lebih bertambah dewasa karena Allah bersama mereka. Yesus sendiri memberkati murid-murid-Nya sebelum keberangkatannya ke surga, sebuah tindakan yang mewujudkan kepercayaan Yesus pada murid-murid-Nya dan bimbingan Roh Kudus. Memang, setelah hampir 2 ribu tahun ditinggalkan oleh Kristus secara fisik, Gereja telah berubah menjadi komunitas hidup terbesar di seluruh dunia. Saat mendekati kematiannya, St. Dominikus berbisik kepada saudara-saudaranya bahwa mereka tidak harus menangisi kepergiannya karena dia akan lebih berguna bagi mereka di surga. Tak dapat disangkal, Ordo Pengkhotbah tetap menjadi salah satu tarekat religius paling vibran sampai sekarang, hamper 800 tahun setelah Dominikus wafat.

Dalam Kenaikan-Nya, Yesus menjelaskan kepada kita arti yang lebih dalam dari sebuah perpisahan, sebuah pertumbuhan dan kehidupan. Kita diajak untuk merangkul moment perpisahan, berani mengatakan berkat dan membuat setiap perpisahan sebuah kesempatan untuk berbuah. Kita adalah orang Kristiani, dan kita bisa hidup sebagai orang Kristiani karena Kristus berani untuk memerdekakan kita dan memungkinkan kita untuk hidup dan bersinar dalam Roh Kudus.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP


Minggu Paskah kelima
28 April 2013
Yohanes 13:31-33; 34-35
“…semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi (Yoh 13:15).”

Menjadi Murid-Nya

Beberapa waktu lalu, saya terlibat dalam sebuah diskusi di Facebook. Topik-topik yang kita berbincangkan antara lain tentang beberapa skandal yang mengguncang Gereja. Sebagai wakil Gereja, tentunya saya tergoda untuk membela Gereja sehabis-habisnya dan menyerang balik. Namun, saya sadar bahwa diskusi yang menarik tersebut dapat berubah menjadi perang kata-kata. Bukannya menjembatani perbedaan, saya justru membangun sebuah dinding pemisah yang lebih tinggi. Dengan demikian, saya mencoba mendengarkan dan menggali beberapa point kebenaran. Akhirnya, saya dapat mengambil sebuah kesimpulan: ‘Memang benar bahwa ada realitas yang baik dan juga kurang begitu baik di dalam Gereja dan dunia ini. Sekarang, terserah kepada kita untuk melihat ini melalui perspectif yang lebih optimis atau melihat mereka dalam mata yang pesimis; untuk tetap berharap dan memperbaiki keadaan, atau kehilangan harapan dan melemparkan semuanya ke tong sampah.
Beberapa tahun ini, saya bertemu beberapa orang yang meninggalkan Gereja dan bahkan berbalik menyerangnya. Mereka tidak bisa melihat masa depan mereka dalam Gereja karena Gereja sendiri tidak memiliki masa depan. Kita tidak bisa hanya menyalahkan mereka karena memiliki perspektif suram terhadap Gereja. Bagian dari penyebabnya terletak pada diri kita, orang-orang yang menyebut diri murid-murid Kristus! Beberapa dari kita gagal untuk menjadi orang Kristiani sejati, dan sayangnya, beberapa orang lain memilih untuk focus pada kegagalan tersebut. Benar, ada orang-orang munafik, koruptor, pelaku pelecehan seksual dan skandal lainnya di dalam Gereja. Mahatma Gandhi pernah mengatakan bahwa ia memilih Kristus, tetapi bukan orang Kristiani! Kata-katanya menunjukkan kenyataan bahwa Yesus mengajarkan kasih, tetapi beberapa orang Inggris, yang mengaku sebagai pengikut Yesus, mengeksploitasi India.
Injil hari ini akrab dikenal sebagai ‘amanat perpisahan’. Yesus membuat jelas kehendaknya kepada murid-murid-Nya sebelum Ia meninggalkan kehidupan duniawi-Nya. Ketika Yesus mengingatkan kita bahwa kita perlu untuk dikenal sebagai murid-murid-Nya dengan mengasihi sesama, Yesus mengesahkan sebuah ‘undang-undang dasar. Orang lain melihat kita, sikap kita, dan dari kita, mereka sampai pada kesimpulan Tuhan macam apa yang kita percaya. Kita memproyeksikan citra Allah kita karena kita diciptakan menurut citra-Nya. Terutama bagi kami, kaum rohaniawan, orang-orang lebih ingin mengenal Allah melalui refleksi perbuatan kami. Sayangnya, beberapa dari kita gagal, dan bahkan sejumlah imam jatuh ke dalam skandal seksual. Di dalam situasi yang menyedihkan ini, beberapa orang tidak menemukan Kristus dalam para murid-Nya.
 
Saya percaya, bagaimanapun, ini bukanlah akhir dari segalanya. Injil hari ini memberi semagat baru dalam mengikuti Kristus. Kita semua pernah gagal dalam berbagai aspek kehidupan, tetapi kita dipanggil untuk tidak kehilangan harapan dan bangkit lagi. Gereja memang jemaat yang terdiri dari orang-orang berdosa, tapi ingat bahwa orang kudus juga dulunya adalah pendosa. Satu-satunya hal yang para kudus miliki adalah tidak kehilangan harapan pada rahmat Tuhan. Paus Franciskus memulai masa kepausannya dengan pesan bahwa Gereja bukan hanya organisasi sosial, tetapi itu adalah umat Allah yang berpusat pada Kristus. Dalam era baru evangelisasi, saya pikir, meskipun sangat penting, untuk memahami ajaran dasar iman kita tidaklah cukup. Kita tertantang untuk membuat ‘Dia’ yang kita yakini, sebuah realitas yang bersinar di tengah-tengah dunia yang terkadang pesimistik. Kita harus mengasihi satu sama lain dalam cara yang sangat konkret dan radikal; termasuk untuk mengasihi orang-orang Kristiani yang kehilangan harapan dan bahkan orang-orang yang sekarang berdiri melawan kita.
Fr. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Minggu Paskah Ketiga
Yohanes 21:1-19
April 14, 2013
Kata Yesus kepada mereka: “Marilah dan sarapanlah.” … mereka tahu, bahwa Ia adalah Tuhan
 (Yoh 21:12).

Tuhan yang ‘Biasa-Biasa Saja’

Hal-hal terbaik dalam hidup sejatinya gratis dan hampir ditemukan dimana-mana. Kehidupan, cinta-kasih, perdamaian, persahabatan, dan kesehatan adalah beberapa hal terbaik dalam hidup yang banyak orang inginkan. Sungguh, hal-hal ini tidak membutuhkan biaya apapun, tetapi jangan salah, bukan berarti hal-hal in murahan. Seringkali, nilai sejati dari hal-hal ini baru kita sadari ketika hal-hal sederhana ini diambil dari kita. Saat kita kehilangan kemampuan untuk ‘tidur’, kita mulai merasakan betapa tidak enaknya membuka mata lebih dari 24 jam. Kita mungkin bisa pergi berbelanja ke berbagai mal, dan membeli tempat tidur besar yang nyaman, tapi tidak ada toko yang mampu menjual ‘tidur’ yang nyenyak dan alami.
Sayangnya, karena hal-hal terbaik ini gratis dan seringkali berada dalam genggaman kita, kita cenderung untuk tidak memperdulikan hal-hal ini. Seringkali, kita melupakan hal-hal ini sangatlah berharga. Lebih buruk lagi, kita menyebut hal-hal ini sebagai hal yang ‘biasa, monoton dan bahkan membosankan. Siapa di antara kita yang benar-benar menghargai ibu kita yang bangun setiap pagi buta untuk mempersiapkan sarapan yang bergizi untuk seluruh keluarga? Siapa yang menghargai detak jantung kita yang sangat monoton dan hampir tak terdengar? Kita gagal untuk menjaga hal-hal terbaik dalam hidup kita dan akhirnya hal-hal ini terlepas dari tangan kita. Yang terburuk adalah kita mulai melupakan realitas yang paling penting dalam kehidupan kita yakni Tuhan sendiri, hanya karena Dia begitu biasa.
Rm. Roberto Reyes, seorang imam diosesan dan aktifis dari Manila, baru-baru ini berkomentar bahwa penurunan jumlah umat yang pergi ke gereja di Filipina adalah karena homili para romo cenderung membosankan dan liturgi kita kering. Rm. Reyes menyimpulkan bahwa jika umat Katolik menjauh dari Gereja, ini karena liturgi Gereja membosankan, dan umat lalu berkesimpulan bahwa ‘Allah yang Gereja coba tawarkan pasti juga ‘membosankan. Kita adalah generasi yang  begitu terhanyut dalam media massa yang setiap detik menyuap kita dengan hiburan-hiburan instan dan sangat sensual. Generasi ini menjadi selalu haus akan sesuatu yang menghibur dan menyenangkan, dan kita menjadi begitu tidak sabar dengan hal-hal yang ‘biasa dan ‘sederhana’. Kita bahkan tidak bisa lagi menghargai ‘kesederhanaan hidup dan bahkan melihat Allah di balik ‘kesahajaan hidup’.
Para murid dalam Injil hari ini membawa kita ke tingkat yang lebih dalam untuk memahami Tuhan. Mereka mengajak kita untuk melihat Allah bahkan dalam kesederhanaan dan rutinitas hidup. Mereka menemukan Tuhan dalam sarapan pagi yang sederhana (Yoh 21:12)! Gerakan memecahkan roti dan membagikan ikan adalah sangat ‘biasa’, tetapi gerakan yang sama mengungkapkan Tuhan yang telah Bangkit. Hal-hal terbaik dalam hidup tidak menampilkan sesuatu yang luar biasa, tetapi dalam kesahajaan, hal-hal ini mengungkap kehidupan dan sumber kehidupan itu sendiri, yakni Tuhan.
Bersabarlah jika liturgi Gereja cenderung ‘berulang-ulang dan homili berubah menjadi obat tidur, karena hal ini tidak berarti Tuhan kita juga ‘boring’. Rahmat-Nya sungguh bekerja dan membentuk kita dengan cara yang paling sederhana, bahkan di luar kesadaran kita. Saya juga tidak berasumsi bahwa anda akan berubah secara instan setalah membaca refleksi ini, tapi saya berharap untuk berpartisipasi dalam rahmat Tuhan yang membentuk kita secara perlahan-lahan. Cobalah kita berhenti sejenak dan menghitung berkat yang luar biasa yang kita terima dalam hidup: sahabat-sahabat kita, keluarga, rekan kerja, para pendidik dan bahkan petani yang kita tidak kenal tapi menanam padi, sumber makanan kita. Allah mengungkapkan diri-Nya dan  membentuk kita melalui hal-hal biasa dan sederhana, yang sejatinya adalah hal-hal terbaik dalam hidup.
Fr. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

No comments:

Post a Comment