Refleksi Tri Hari Suci


Refleksi Minggu Paskah
Yohanes 20:1-9
31 Maret 2013

"...dia melihat dan percaya (Yohanes 20:8)."

Suka-Cita Paskah

Banyak telah saya tulis tentang penderitaan dan makna dari harapan di tengah-tengah penderitaan manusia. Namun, ‘berharap’ bukanlah benar-benar titik terminal menjadi seorang Kristiani. Blaise Pascal, seorang filsuf Katolik dari Prancis, pernah berkomentar bahwa ‘Tidak ada yang melebihi kegembiraan orang Kristiani sejati.” Sungguh benar! Tapi, berapa banyak dari kita, dalam kenyataan, memiliki kebahagiaan yang Pascal bicarakan? Lebih dekat dengan realitas kita adalah komentar dari filsuf eksistensialis Jerman, Friedrich Nietzsche – seorang kritikus terhadap Gereja – Menurutnya ‘Murid-murid Kristus harus lebih terlihat sebagai orang tertebus!’

Benar adanya! Kita telah ditebus dan ini adalah sumber sukacita terbesar dalam hidup kita. Yesus memang telah wafat untuk menebus kita dari dosa-dosa dan kematian, tapi apa sungguh meyakinkan kita bahwa Dia benar-benar menebus kita adalah Kebangkitan-Nya. Dalam kata-kata Kardinal Luis Antonio Tagle, Uskup Agung Manila, “Kita adalah Easter People!” Jika klimaks dari Tri Hari Suci adalah Minggu Paskah, dan Minggu Paskah adalah tentang kebangkitan Kristus, maka sukacita memang sungguh menjadi karakter kita. Oleh karena ini, St Thomas Aquino pernah berkomentar bahwa ‘Joy is the noblest human act.’

Sayangnya, sebagian dari kita tidak menampakan sukacita Paskah ini. Bahkan, yang lain mengeluh tepatnya karena mereka adalah seorang Kristiani! Beberapa dari kita hanya tidur selama imam berkhotbah, dan membuat liturgi Gereja seperti lagu pengiring tidur. Di beberapa negara di mana umat Kristiani merupakan minoritas, menjadi Kristiani kadang-kadang dianggap sebagai kutukan dan bukan berkat. Orang dengan nama Kristiani didiskriminasi dan bahkan dianiaya. Namun, di mana orang-orang Kristiani adalah kelompok yang dominan, kita beralih menjadi pelaku dari ketidakadilan dan korupsi. Akhirnya, bagaimana kita bisa benar-benar bahagia dan bersukacita jika dunia kita begitu rusak dan penuh penderitaan?

Kita akan kehilangan seluruh ini makna refleksi ini jika kita hanya sekedar mengaitkan sukacita umat tertebus dengan emosi yang baik atau perasaan yang menyenangkan. Ini tidak berarti kita akan tertawa terbahak-bahak saat ritual pemakaman seorang anggota keluarga dan berkata kepada setiap orang, ‘Hi, kita adalah umat Kristiani, kita harusnya senang sepanjang waktu!’ Kebahagian ini juga tidak mengalir dari alkohol, narkoba dan tindakan seksual yang terlarang. Sukacita Kristiani adalah sesuatu yang lebih substansial dan lebih dalam.

Mari kita lihat Injil hari ini untuk melihat lebih dalam kebahagian umat Kristiani. Ketika murid-murid menemukan makam yang kosong, sangatlah alami bagi mereka untuk menjadi bingung dan sangat sedih. Di manakah Tuhan? Siapa yang berani untuk mengambil Tubuh-Nya? Petrus menatap makam dalam kebingungan dan pulang kembali, tak tahu harus berbuat apa. Maria Magdalena tetap tinggal, namun dia hanya bisa menangis. Hanya murid yang dikasihi Yesus melihat makam yang kosong, dan ia percaya. Yohanes menatap kekosongan, tapi ia tidak hanya merasakan kehampaan. Dia melihat ke dalam kekosongan makam dan menemukan makna. Hari Minggu Paskah dimulai dari tempat pemakaman yang kosong, dan sungguh iman kita kepada Yesus yang bangkit dimulai dalam kekosongan yang makam ini!

Sukacita kita bukanlah tentang perasaan ‘baik’ atau ‘nyaman’, tetapi sukacita ini bersumber  dari rahmat Allah yang memampukan kita untuk melihat makna kehidupan kita, dan bahkan dalam kekosongan hidup itu sendiri. Untuk tetap setia dan penuh harapan dalam kepahitan hidup memang kualitas terbaik dari umat Kristiani, tetapi untuk dapat menggali makna di balik peristiwa-peristiwa ini akan membawa kita ke tingkat lain sebagai seorang Kristiani.
Ini adalah sukacita seorang istri yang bisa melihat makna kesetiaan terhadap janji pernikahannya walaupun berbagai kepahitan kehidupan berkeluarga. Ini adalah kebahagian seorang guru yang melihat murid-muridnya berhasil dalam hidup, walaupun dia tetap hidup pas-pasan. Ini kegembiraan seorang imam yang memberikan yang terbaik bagi umatnya, walaupun banyak kesulitan dan cercaan yang ia harus tanggung.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP


Perayaan Kamis Putih

Perjamuan Terakhir dan Ekaristi Pertama

 Hari ini kita memasuki episode paling dramatis dan penting dalam kehidupan Yesus dan juga  kehidupan Gereja: Perjamuan terakhir. Drama keselamatan manusia dimulai di ruangan atas di mana Yesus dan murid-murid-Nya berkumpul untuk Perjamuan Terakhir. Di sinilah Yesus merayakan untuk kali pertama Ekaristi Kudus yang menjadi puncak Liturgi dan kehidupan Gereja. Namun, mengapa Yesus harus memulai Ekaristi pertama di sini, di dalam Perjamuan Terakhir?

Jika kita melihat lebih dekat pada Perjamuan Terakhir, sejatinya perjamuan ini merupakan perayaan yang sangat hangat dari perjamuan Paskah Yahudi. Dalam tradisi Yahudi, perjamuan Paskah sejatinya memperingati Pembebasan bangsa Yahudi dari perbudakan di Mesir yang dipimpin oleh Musa. Ini adalah kisah kemenangan dan kuasa Allah. Pada masa Yesus, perjamuan Paskah Yahudi ini secara ritual dilaksanakan di dalam rumah tangga Yahudi di mana anggota keluarga berkumpul dan makan bersama. Ini adalah perayaan keintiman dan persatuan. Hanya orang-orang terdekat yang bisa duduk bersama di meja mereka dan berbagi makanan yang sama dengan mereka. Sungguh, Yesus berbagi meja dan makanan dengan sahabat-sahabat terdekat-Nya, para murid. Jadi, setiap kali kita merayakan Ekaristi, kita diajak untuk menjadi bagian dari persahabatan yang intim dengan Yesus. Oleh karenanya, dalam Ekaristi, berbagai perbedaan dan batas-batas kemanusiaan yang memisahkan kita dirobohkan. Meskipun kita berbeda dalam etnis, budaya, usia, dan kepribadian, kita menjadi sahabat dekat dan erat satu dalam Ekaristi. Inilah sebabnya mengapa Ekaristi juga disebut Komuni Kudus.

 Dalam Perjamuan Terakhir, Yesus menawarkan Tubuh dan Darah-Nya untuk murid-murid-Nya dan untuk kita. Dalam budaya Yahudi, tubuh melambangkan totalitas diri seseorang dan darah diyakini menjadi sumber kehidupan makhluk hidup. Inilah sebabnya mengapa tubuh dan darah adalah persembahan yang paling menyenangkan bagi Allah dan menjadi bagian penting ritual keagamaan di zaman dahulu kala. Ketika Yesus menawarkan tubuh dan darah-Nya bagi kita, kita menerima Allah dalam totalitas-Nya. Yesus menjadi begitu miskin sehingga kita bisa menjadi begitu kaya. Ini bukan lagi kisah vampire dimana Allah yang menuntut persembahan darah untuk menyenangkan-Nya, tetapi sekarang Allah yang penuh kasih menawarkan diri-Nya untuk umat-Nya. Jadi, setiap kali kita merayakan Ekaristi, kita menyaksikan siapa sesungguhnya Tuhan kita. Ia adalah Allah yang membuat kita sahabat-sahabat terdekat-Nya, dan untuk membuktikan persahabatan sejati-Nya, Dia memecahkan tubuh-Nya sendiri dan membagikannya sehingga setiap dari kita dapat memiliki sedikit bagian dari Allah, tetapi suatu kepenuhan hidup. Ini adalah aspek misionaris Ekaristi. Setelah kita dibuat satu di dalam Kristus, kita akan dipecah dan membagi kepenuhan hidup ini kepada orang lain.

Akhirnya, Ekaristi adalah perayaan kemenangan Allah. Namun, jika kita mencoba untuk menempatkan Perjamuan Terakhir dalam konteks Tri Hari Suci, sebenarnya ini adalah perayaan komunal yang menghadapi perpecahan dan disintergrasi; perayaan syukur di tengah-tengah ketakutan. Yesus akan segera ditinggal lari oleh sahabat-sahabat terdekatnya, dijual dengan harga seorang budak, dan sangkal oleh orang yang yang bahkan bersumpah untuk membela dia dengan hidupnya sendiri. Jadi, apakah ini benar-benar tentang kemenangan? Kita harus ingat bahwa pengkhianatan dan ketakutan bukanlah pusat dari cerita Ekaristi. Ini adalah Yesus yang menolak untuk menyerah atau melarikan diri, tapi dengan kebebasan-Nya memilih untuk merayakan bersama orang-orang ini. Dengan merangkul orang-orang yang akan mengkhianati dan lari dari-Nya, Yesus telah memenangkan pergumpulan atas ketakutan, dendam dan kematian. Ini adalah kemenangan Allah!

Ekaristi adalah kisah Allah yang telah merangkul kita, bahkan sebelum kita menyangkal, mengkhianati dan lari dari-Nya. Ini adalah kisah Allah yang menyembuhkan kita bahkan sebelum kita menyakiti-Nya. Ini adalah kisah Allah yang memecahkan dan membagikan hidup-Nya sendiri bahkan sebelum kita mati dalam dosa. Ekaristi adalah kisah Allah kita dan tentang siapa kita di dalam kasih-Nya yang sangat besar, cerita kita sendiri.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP


Minggu Pra-Paskah Kelima
17 Maret 2013
Yohanes 8:1-11

“Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi (Yoh 8:11).”

Membagikan Kepingan Hati Kita

Banyak orang yang pribadinya terluka dan hatinya terpecah. Beberapa dari kita tidak  diinginkan. Beberapa tidak dicintai. Sedangkan yang lain dikhianati oleh orang-orang yang mereka paling percaya. Seorang remaja laki-laki menipu pacarnya. Seorang pria berlaku tidak jujur kepada teman baiknya sendiri. Beberapa orang bahkan mengalami kekerasan psikologis dan fisik datang dari orang-orang terdekat di dalam hidup mereka. Seorang suami lari dengan wanita lain dan meninggalkan istrinya dengan tiga anak yang masih kecil. Seorang ibu melihat putri tunggalnya hamil di luar pernikahan. Dunia ini begitu hancur dan bertabur kebohongan dan kekerasan.
Beberapa dari kita, terbakar oleh kemarahan dan kebencian, hanya bisa berharap satu hal: pembalasan dendam. Kita terus menunggu waktu terbaik untuk melihat orang-orang yang menyebabkan rasa sakit di hati kita untuk menderita melebihi penderitaan kita. Beberapa dari kita akhirnya meledak dan melukai lebih banyak orang, bahkan mereka yang tidak terlibat. Hal ini hanya memperdalam dan memperburuk lingkaran setan kebencian di dunia. Semakin banyak orang yang terluka dan patah.
Mari kita masuk ke dalam Injil hari ini. Beberapa orang Yahudi membawa  wanita pezina kepada Yesus dan menginginkan Yesus untuk menyetujui tindakan mereka untuk menghukum mati wanita tersebut. Namun, jika Yesus tidak menyetujui, mereka akan menemukan alasan untuk membunuh Yesus karena Ia telah melanggar hukum Taurat (Im 20:10). Yesus dipaksa untuk meneruskan budaya pembalasan dendam di dalam bangsa Yahudi. Namun, Yesus tahu dengan baik bahwa kekerasan tidak pernah menjadi solusi. Dengan demikian, dalam kebijaksanaan ilahi-Nya, Yesus berkata, “Biarkan mereka yang tanpa dosa melemparkan batu pertama. Yesus tahu persis bahwa semua orang berdosa dan layak untuk dirajam. Mereka, para penegak hukum, tidaklah lebih baik daripada sang pezina. Yesus tahu bahwa semua orang disekitarnya adalah pribadi-pribadi yang terluka.
Yesus menghadapkan orang-orang Yahudi dengan motivasi jahat yang ada di jauh dalam benak hati mereka. Motivasi ini adalah penyakit psikologis yang membenarkan dosa seseorang dengan mengutuk dosa orang lain. Dalam novel "Kite Runner", Assef, seorang pemimpin pasukan Taliban di Afghanistan, memimpin perajaman pasangan zinah di depan umum, namun diam-diam di dalam kediamannya, dia memperkosa anak-anak, kadang-kadang anak perempuan tetapi seringkali anak laki-laki. Kekerasan muncul sebagai solusi satu-satunya, yang sebenarnya hanya memperdalam dan memperburuk lingkaran setan kebencian ini di dunia.
Yesus menghentikan budaya kebencian ini. Dia mengungkapkan kepada para penuduh bahwa mereka tidak punya hak untuk menyentuh wanita tersebut, karena merekapun berdosa. Akhirnya merekapun pergi meninggalkan Yesus.
Namun, yang lebih mengejutkan adalah cara Yesus menghadapi sang wanita. Yesus mengampuniwanita itu dan memintanya untuk pergi dan ‘tidak berdosa lagi. Yesus mengajarkan kita bahwa hanya dengan bersikap jujur ​​dengan diri kita sendiri, kerapuhan dan kerentanan kita, kita dapat mematahkan lingkaran setan kebencian. Yesus merangkul hati wanita yang hancur tersebut bahkan kepingan hati para penuduhnya. Yesus meminta mereka untuk pergi dan ‘membagikan’ kepingan-kepingan diri mereka kepada orang lain sehingga hal yang terburuk di dunia ini dapat menjadi berkat. Yesus tahu bahwa banyak orang terluka dan hancur hatinya, tapi kehancuran hati kita bukanlah kutukan, tetapi dapat menjadi berkat yang luar biasa bagi orang lain saat kita berani memerangkul dan membagikannya.
Seorang gadis yang patah hati akhirnya mampu berharap bahwa mantan pacarnya hidup bahagia. Seorang ibu memeluk putrinya yang hamil di luar nikah meski berat hati. Saya sendiri adalah seorang yang terluka dan remuk hatinya, tapi saya menolak untuk menjadi canel kekerasan, namun memilih untuk lebih mempromosikan pengampunan dan kedamaian hati melalui refleksi saya. Orang-orang mungkin hancur, tapi itu bukanlah akhir dari segalanya.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Minggu ketiga Pra-Paskah
3 Maret 2013
Lukas 13:1-9

“Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah (Luk 13:8)”

Kisah Sebuah Pohon Ara

Biasanya membutuhkan waktu sekitar tiga tahun bagi pohon ara untuk mencapai masa dewasa dan berbuah. Jika tidak menghasilkan buah pada saat ini, kemungkinan besar pohon ara tersebut tidak akan berbuah sama sekali. Tentunya, Sang pemilik memiliki hak untuk menebang pohon tersebut dan menanam pohon baru. Tetapi, melalui upaya sang tukang kebun, pohon ara diberi kesempatan baru. Seperti pohon ara, melalui upaya Sang Tukang Kebun kita, Adam yang baru di taman Eden yang abadi, Yesus Kristus, kita diberi kesempatan baru untuk berubah dan berbuah.
Namun, hal ini tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Dalam kenyataan sehari-hari, perubahan bukanlah sesuatu yang instan seperti halnya menghapus kesalahan pada papan tulis. Perubahan yang sangat cepat dari orang jahat menjadi orang baik, dari penjahat menjadi pahlawan sangatlah jarang. Beberapa dari kita terperangkap dalam struktur atau sistem kedosaan yang membuat kita terus melakukan dosa dan kita tidak tahu bagaimana untuk keluar dari struktur tersebut. Beberapa sebenarnya adalah korban dari lingkaran setan kekerasan dalam keluarga kita atau masyarakat kita dan membuat kita cepat atau lambat menjadi pelaku, dan kita berdaya untuk menemukan jalan keluar dari lingkaran setan tersebut. Sangat sulit bagi seorang anak yang dibesarkan sebagai korban kekerasaan dalam ‘rumah tangga’ untuk tidak melakukan kekerasaan terhadap saudara atau teman yang lebih lemah.
Lalu, apa artinya bertobat, apa artinya berubah? Apakah maknanya jika kita merayakan masa Pra-Paskah setiap tahun, namun tidak ada perubahan yang tampaknya terjadi? Kita kehilangan maknanya jika kita hanya berpikir bahwa masa Pra-Paskah hanya tentang perubahan yang instan.
Kisah kita adalah kisah tentang pohon ara yang berjuang untuk berbuah tetapi menemukan dirinya dalam kenyataan pahit keputusaasaan. Ini adalah kisah tentang seorang ‘Tukang Kebun yang menolak untuk menyerah pada pohon aranya yang tidak berbuah, cerita tentang Allah yang tidak pernah kehilangan harapan dalam kemanusiaan kita yang lemah. Musim Pra-Paskah berarti bahwa meskipun hidup kita tidak pernah sempurna dan bahkan penuh cacat, kita menolak untuk menyerah dan menjadi putus asa. Ini berarti kita mengambil keberanian untuk melawan keputusasaan bahkan ketika buah perubahan tampaknya tidak terlihat dalam kehidupan kita. Masa Pra-Paskah berarti kita selalu berharap bahwa Tuhan tidak pernah kehilangan harapan dalam diri kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Minggu Prapaskah Pertama
Februari 17, 2013
Lukas 4:1-13

“Yesus dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun. Di situ Ia tinggal empat puluh hari lamanya dan dicobai Iblis (Lk 4:1-2).”

Hati-Hati dengan Iblis



Secara mengejutkan kita mendengarkan 'cerita hantu' dari bacaan Injil Minggu Prapaskah Pertama ini: Yesus diganggu oleh Iblis! Namun, jauh sekedar membuat kita takut, Injil hari ini menjelaskan bahwa meskipun roh-roh jahat sungguh nyata, Yesus jauh lebih kuat dari mereka
Roh-roh jahat atau yang lebih dikenal sebagai setan bukanlah sekedar produk dari imajinasi kita. Iman kita mengatakan bahwa mereka memang sungguh ada! Credo Nicea dengan tegas menyatakan bahwa Allah adalah sang pencipta bagi yang terlihat maupun yang tak terlihat.
“Yang
tak terlihat" di sini mengacu pada para malaikat. St Thomas Aquinas, yang mendapat gelar sebagai Dokter Malaikat karena tulisan-tulisannya mengenai kodrat para malaikat, mengemukakan bahwa malaikat adalah jauh lebih unggul dari kita manusia karena mereka adalah roh murni tanpa raga. Secara luar biasa mereka melampaui akal budi dan kekuatan kita.
Sayangnya, tidak semua malaikat itu baik. St. Yohanes secara rinci menceritakan kepada kita Perang Besar di surga. Naga dan para malaikatnya memberontak terhadap Allah, namun St. Michael, Sang Malaikat Agung, dan bersama seluruh malaikat yang baik mengusir roh-roh pemberontak ini dari surga dan melempar mereka ke dunia (Wahyu 12). Sang Naga, juga disebut sebagai Setan atau Iblis, pada mulanya adalah malaikat seperti Michael, namun mereka akhirnya memutuskan untuk membelot dan memilih jalur permusuhan dengan Allah. Tapi, mengapa mereka memilih bermusuhan dengan Allah jika mereka diciptakan dalam bentuk yang hampir sempurna dan sesungguhnya bisa menikmati kebahagiaan yang kekal di surga?
Beberapa Bapa Gereja mencoba memberikan jawaban mengapa sejumlah malaikat di surga akhirnyajatuh. Alasannya tidak lain karena keangkuhan dan iri hati. Para malaikat melihat bahwa suatu hari nanti, Allah Putra akan menjadi manusia biasa dan mereka akan menjadi hamba Yesus dari Nazaret, sang manusia sederhana. Selain itu, karena kasih-Nya luar biasa, Allah akan menderita dan mati demi manusia dan bukan demi para malaikat! Ini benar-benar kebenaran yang tidak bisa diterima bagi beberapa malaikat, Apa yang ada pada manusia bahwa Allah sungguh mencintai mereka melebihi para malaikat?” Akhirnya, mereka menolak untuk menghormati keputusan Allah dan menyatakan permusuhan terhadap kemanusiaan.
Terkutuk dalam hukuman abadi, mereka bersumpah untuk menyeret umat manusia bersama-sama dengan mereka ke neraka. Karya pertama iblis yang pernah tercatat dalam Kitab Suci adalah ketika sang “ular” mengoda orang tua pertama kita untuk melanggar perintah Allah dan usahanya sungguh berhasil (Kej 3). Adam dan Hawa diusir dari surga dan kita, keturunan mereka, menderita konsekuensinya. Sejak saat itu, Setan dan para pengikutnya tidak pernah berhenti mengganggu dan mengoda pria dan wanita dari segala zaman untuk berpaling dari Allah. Mereka tahu bahwa mereka tidak akan pernah masuk kembali ke surga, tetapi untuk membawa semua manusia ke dalam kehancuran mereka adalah lebih dari cukup.
Meskipun mereka telah jatuh, secara kodrat mereka masih seorang malaikat. Dengan demikian, mereka tetap makhluk yang jauh lebih unggul dari kita manusia. Berdiri sendiri, kita tidak pernah bisa memiliki kesempatan untuk mengalahkan setan. Namun, Injil hari ini memberitahu kita bahwa kita tidak perlu khawatir karena Yesus telah mengalahkan Setan secara meyakinkan, bahkan dalam kodratnya sebagai manusia! Pada minggu pertama prapaskah ini, kita diingatkan bahwa betapa rapuhnya kita sebagai manusia dan betapa kuatnya musuh kita, namun kita tidak perlu khawatir karena pergulatan bukanlah milik kita, tetapi terutama dan akhirnya Tuhan. Kita diundang untuk mengusir Iblis dan karya-karyanya dari hidup kita dan bergerak mendekati Allah yang adalah kekuatan dan keselamatan kita. St. Paulus menguatkan kita dalam pencobaan dan berkata, “Akhirnya, hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya. Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis” (Efesus 6:10-11). "
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

No comments:

Post a Comment