8 Agustus
2013
Hari raya St. Dominikus de Guzman
Pewarta
Rahmat Ilahi
Hari ini, kita merayakan Hari
Raya St. Dominikus de Guzman, pendiri Ordo Pengkhotbah. Salah satu gelar yang
diberikan kepada St. Dominikus de Guzman adalah “sang pewarta Rahmat Ilahi”. Dia bukanlah pengkhotbah
tentang hari
kiamat, bukan juga
seorang pengkhotbah
tukang kritik, bahkan
bukan seorang pengkhotbah
keluhan, tapi dia seorang pewarta
rahmat ilahi.
Mengapa harus rahmat
ilahi? Mengutip Mary Catherine Hilkert, khotbah/pewartaan adalah sebuah seni
penamaan rahmat. Sekali lagi, pewartaan bukanlah
untuk menamai dosa, kegagalan atau sebuah cacat.
Seorang pewarta rahmat ilahi adalah seseorang
yang bisa membantu
pendengarnya menemukan bagaimana rahmat
Allah bekerja dalam setiap orang, bahkan
dalam rutinitas sehari-hari
hidup mereka.
Salah satu episode penting
dalam kehidupan St. Dominikus adalah saat
ia bertemu dengan kelompok menganut
ajaran sesat, bernama Albigensia, di Perancis selatan. Salah
satu ajaran utama dari
kelompok ini adalah dunia material adalah jahat dan
sumber dosa karena mereka berasal dari tuhan yang jahat, sementara
entitas spiritual seperti jiwa kita adalah satu-satunya hal yang baik di dalam kosmos ini. Dengan
demikian, sebagai konsekuensi moral, para pengikut ajaran ini akan bertidak dengan sangat keras
terhadap tubuh
mereka sendiri dengan
dalih untuk ‘membebaskan’ jiwa mereka dari penjara ragawi.
Kemudian, tindakan bunuh
diri bisa dibenarkan
dan bahkan menjadi ekspresi tertinggi dari ajaran mereka. Tentunya, ajaran mereka
bertentangan dengan ajaran Yesus dan Gereja: dunia, baik aspek spiritual dan
material, diciptakan dan
dirawat oleh Allah. Selain itu, Allah melihat mereka sebagai sangat
baik dan bukannya sebuah kegagalan (Kej 1:31)!
Kita tidak memiliki bukti tertulis dari
khotbah St. Dominikus di Perancis Selatan, tapi kita bisa menegaskan bahwa untuk menghadapi ajaran sesat
ini, ia
mewartakan tentang integritas dan kebaikan dunia ciptaan. Untuk mencapai hal ini, ia harus menamai rahmat ilahi. Dia menunjukkan kepada pendengarnya bagaimana
Allah telah merawat dan menyentuh
setiap umat dan ciptaan-Nya, sebuah kebenaran yang sangat yang mudah diabaikan. Kemudian, supaya pewartaannya menjadi
lebih efektif dan efisien, ia mendirikan sebuah kelompok sahabat-sahabat yang
membantunya
mewartakan rahmat ilahi ini. Akhirnya,
pada tahun 1216,
Paus Honorius III menyetujui dasar
pendirian Ordo Pengkhotbah, dan hal ini menandai
awal sebuah
komunitas yang secara signifikan telah dan akan memberikan
kontribusi pada Gereja
masa lampau, saat ini dan masa depan. Dominikan menjadi pewarta yang manis
ketika kita berani
namai
rahmat ilahi di dalam Gereja
dan dunia, tapi kita
menjadi pewarta yang
pahit ketika kita gagal untuk mewartakan
rahmat ilahi ini di antara kita.
Kita, sebagai anggota Ordo
Dominikan maupun
yang bukan, dipanggil untuk mengikuti karater St.
Dominikus sebagai pewarta
rahmat ilahi.
Dalam dunia sekarang ini yang penuh
dengan penderitaan dan kejahatan, menjadi pesimis dan bahkan
nihilistik adalah
sebuah godaan yang sangat kuat. Dua juta anak kehilangan
nyawa tahun lalu dari kelaparan. Banyak perempuan menjadi korban human-trafficking dan juga prostitusi.
Dan, ratusan ribu
orang hidup di daerah kumuh bahkan di negara-negara yang
mengklaim mereka memiliki ekonomi
yang kuat dan maju. Dengan
kondisi seperti ini, kita menjadi albigensia-albigensia baru yang tidak lagi
dapat menemukan kebaikan di dalam hidup.
Ini adalah tugas kita untuk
namai rahmat ilahi
dalam realitas yang cacat karena
penderitaan. Tuhan ada
bahkan ada di saat-saat paling gelap kemanusiaan karena ia ada bahkan di kayu
salib. Seorang
Dominikan teolog,
Edward Schillebeeckx,
berpendapat, “saat berbicara tentang iman di
tengah umat, bahkan
terutama di tengah penderitaan, penganiayaan , atau berpengalaman
ketidakhadiran Allah,
pewarta bertugas untuk
menamai kreatif kehadiran Allah”. Ini saatnya kita memilih:
menjadi si tukang
kritik yang pahit atau
sang pewarta yang penuh
rahmat!
St. Dominikus,
pewarta rahmat
ilahi, doakanlah kita.
Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Vocation and Profession
Apa yang membedakan antara panggilan hidup
(vocation) dan profesi (profession)? Tanpa sengaja saya merenungkan pertanyaan
ini ketika saya bertanya kepada seorang teman, “Mengapa kamu ingin menjadi
seorang dokter?” Dia menjawab, “Saya ‘terdampar’ ter! Sebenarnya saya ingin
menjadi seorang akuntan dan bukan dokter.” Jawabannya tidaklah mengejutkan
karena dia bukanlah dokter pertama yang mengungkapkan jawaban seperti itu.
Namun, saya tahu bahwa pertanyaan selanjutnyalah yang sebenarnya jauh lebih
penting, “Kamu tahu bahwa menjadi dokter bukanlah pilihan awalmu, dan kamu juga
perlu mengorbankan banyak hal untuk menjadi seorang dokter, tapi kenapa kamu
masih berjuang untuk tetap menjadi dokter?” Jawabannya ini yang sungguh saya
nantikan. “Saya merasakan kedamaian batin dan sukacita setiap kali pasien
dengan tulus berterimakasih. Saya tahu bahwa semua usaha dan kerja keras saya
untuk membantu mereka pulih sungguh berbuah.” Setelah dia mengatakan hal ini,
dia berbalik bertanya, “Frater, kenapa mau jadi imam?” Jawab saya singkat,
“Secret!”
Pembimbing rohani saya pernah berkata bahwa
bukanlah masalah jika kita masuk (seminari) karena alasan yang kurang tepat,
tapi kita harus memiliki alasan yang tepat untuk tinggal (sebagai seorang
frater). Kita mungkin menjadi seorang dokter, guru, dan bahkan seorang frater
karena ‘terdampar’, tapi hal ini bukanlah yang utama. Yang penting adalah bahwa
kita tetap bertahan karena alasan yang benar. Alasan ini memampukan dan
memberanikan kita untuk menghadapai situasi sangat sulit sekalipun dan masih
bisa menemukan sepotong kecil kebahagiaan di tengah-tengah pergulatan yang kita
alami. Inilah alasan yang tepat, inilah panggilan hidup.
Tidak seperti halnya sebuah profesi,
panggilan hidup tidak mengenal batas waktu. Seorang ibu tidak bisa mengatakan
bahwa ia akan menjadi ibu hanya dari jam 8 pagi sampai 5 sore saja! Atau dalam
situasi darurat, seorang dokter tidak bisa mengatakan kepada orang yang
membutuhkannya, “Oh, silahkan cari dokter lain saja. Saya sedang berakhir
pekan!” Atau, seorang imam tidak bisa hanya menjadi imam ketika hari Minggu
saja, tetapi bermain perempuan keesokan harinya! Panggilan adalah komitmen seumur
hidup.
Tidak seperti halnya sebuah profesi,
panggilan hidup tidak mengenal jenjang karir. Setelah berbagai pengorbanan,
seorang suami tidak dapat mengharapkan memperoleh miliaran rupiah dari
pernikahannya. Benar bahwa ada jabatan dan prestasi akademik yang dapat dicapai
di dunia pendidikan, tetapi sebagian besar guru khususnya di Filipina dan
Indonesia, akan tetap menjadi guru sederhana sepanjang hidup mereka. Sebagai
seorang frater, saya sendiri tidak dapat menentukan bahwa setelah 20 tahun,
saya akan menjadi rector University of Santo Tomas! Panggilan adalah
pengorbanan.
Jika panggilan tidak memberikan sesuatu
yang baik, tapi mengapa orang tetap menjalani panggilan hidup yang mereka
dipilih? Ini karena panggilan hidup membawa kita kepada sesuatu yang bahkan
profesi terbaik di bumi ini tidak bisa menawarkan. Ini adalah menemukan bahwa
setelah semua perjuangan dan perngorbanan yang harus kita lalui, kita tahu
bahwa hidup kita tidaklah sia-sia, tetapi telah menjadi hidup yang bermakna dan
berbuah. Dalam dunia pendidikan, hadiah terbesar bisa didapatkan seorang guru
bukanlah harta kekayaan atau mobil BMW seri terbaru, tetapi melihat
murid-muridnya berhasil dalam hidup dan bahkan melampaui dia.
Panggilan hidup bukan tentang mendapatkan
kekayaan, kemuliaan atau kekuasaan, ini adalah tentang kepenuhan sukacita dalam
membantu seseorang tumbuh dan berkembang. Ini adalah sukacita dalam melayani
dan mencintai orang lain. Inilah sebabnya mengapa St. Theresa dari Lisieux
mengatakan bahwa panggilannya adalah untuk mencintai. Setiap kita dipanggil
untuk mencintai, tidak peduli profesi yang kita miliki.
Frater
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment