Refleksi Perayaan Kamis Putih
Hari ini kita memasuki episode paling dramatis dan penting dalam
kehidupan Yesus dan juga kehidupan
Gereja: Perjamuan terakhir. Drama keselamatan manusia dimulai di ruangan atas
di mana Yesus dan murid-murid-Nya berkumpul untuk Perjamuan Terakhir. Di
sinilah Yesus merayakan untuk kali pertama Ekaristi Kudus yang menjadi puncak
Liturgi dan kehidupan Gereja. Namun, mengapa Yesus harus memulai Ekaristi
pertama di sini, di dalam Perjamuan Terakhir?
Jika kita melihat lebih dekat pada Perjamuan Terakhir, sejatinya
perjamuan ini merupakan perayaan yang sangat hangat dari perjamuan Paskah
Yahudi. Dalam tradisi Yahudi, perjamuan Paskah sejatinya memperingati
Pembebasan bangsa Yahudi dari perbudakan di Mesir yang dipimpin oleh Musa. Ini
adalah kisah kemenangan dan kuasa Allah. Pada masa Yesus, perjamuan Paskah
Yahudi ini secara ritual dilaksanakan di dalam rumah tangga Yahudi di mana
anggota keluarga berkumpul dan makan bersama. Ini adalah perayaan keintiman dan
persatuan. Hanya orang-orang terdekat yang bisa duduk bersama di meja mereka
dan berbagi makanan yang sama dengan mereka. Sungguh, Yesus berbagi meja dan
makanan dengan sahabat-sahabat terdekat-Nya, para murid. Jadi, setiap kali kita
merayakan Ekaristi, kita diajak untuk menjadi bagian dari persahabatan yang
intim dengan Yesus. Oleh karenanya, dalam Ekaristi, berbagai perbedaan dan
batas-batas kemanusiaan yang memisahkan kita dirobohkan. Meskipun kita berbeda dalam
etnis, budaya, usia, dan kepribadian, kita menjadi sahabat dekat dan erat satu
dalam Ekaristi. Inilah sebabnya mengapa Ekaristi juga disebut Komuni Kudus.
Dalam Perjamuan Terakhir, Yesus menawarkan Tubuh dan Darah-Nya
untuk murid-murid-Nya dan untuk kita. Dalam budaya Yahudi, tubuh melambangkan
totalitas diri seseorang dan darah diyakini menjadi sumber kehidupan makhluk
hidup. Inilah sebabnya mengapa tubuh dan darah adalah persembahan yang paling
menyenangkan bagi Allah dan menjadi bagian penting ritual keagamaan di zaman
dahulu kala. Ketika Yesus menawarkan tubuh dan darah-Nya bagi kita, kita
menerima Allah dalam totalitas-Nya. Yesus menjadi begitu miskin sehingga kita
bisa menjadi begitu kaya. Ini bukan lagi kisah vampire dimana Allah yang
menuntut persembahan darah untuk menyenangkan-Nya, tetapi sekarang Allah yang
penuh kasih menawarkan diri-Nya untuk umat-Nya. Jadi, setiap kali kita
merayakan Ekaristi, kita menyaksikan siapa sesungguhnya Tuhan kita. Ia adalah
Allah yang membuat kita sahabat-sahabat terdekat-Nya, dan untuk membuktikan
persahabatan sejati-Nya, Dia memecahkan tubuh-Nya sendiri dan membagikannya
sehingga setiap dari kita dapat memiliki sedikit bagian dari Allah, tetapi suatu
kepenuhan hidup. Ini adalah aspek misionaris Ekaristi. Setelah kita dibuat satu
di dalam Kristus, kita akan dipecah dan membagi kepenuhan hidup ini kepada
orang lain.
Akhirnya, Ekaristi adalah perayaan kemenangan Allah. Namun, jika kita
mencoba untuk menempatkan Perjamuan Terakhir dalam konteks Tri Hari Suci,
sebenarnya ini adalah perayaan komunal yang menghadapi perpecahan dan
disintergrasi; perayaan syukur di tengah-tengah ketakutan. Yesus akan segera
ditinggal lari oleh sahabat-sahabat terdekatnya, dijual dengan harga seorang
budak, dan sangkal oleh orang yang yang bahkan bersumpah untuk membela dia
dengan hidupnya sendiri. Jadi, apakah ini benar-benar tentang kemenangan? Kita
harus ingat bahwa pengkhianatan dan ketakutan bukanlah pusat dari cerita
Ekaristi. Ini adalah Yesus yang menolak untuk menyerah atau melarikan diri,
tapi dengan kebebasan-Nya memilih untuk merayakan bersama orang-orang ini.
Dengan merangkul orang-orang yang akan mengkhianati dan lari dari-Nya, Yesus
telah memenangkan pergumpulan atas ketakutan, dendam dan kematian. Ini adalah
kemenangan Allah!
Ekaristi adalah kisah Allah yang telah merangkul kita, bahkan sebelum
kita menyangkal, mengkhianati dan lari dari-Nya. Ini adalah kisah Allah yang
menyembuhkan kita bahkan sebelum kita menyakiti-Nya. Ini adalah kisah Allah
yang memecahkan dan membagikan hidup-Nya sendiri bahkan sebelum kita mati dalam
dosa. Ekaristi adalah kisah Allah kita dan tentang siapa kita di dalam
kasih-Nya yang sangat besar, cerita kita sendiri.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment