Minggu Ke-12 dalam Masa Biasa
23 Juni 2013
Lukas
9:18-24
"Setiap orang
yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap
hari dan mengikut Aku
(Luk 9:24)”
Hari ini,
Yesus mengajarkan kita bagaimana menghadapi penderitaan. Hanya dua kata: Rangkullah
mereka! Hal ini mungkin terdengar sangat salah. Tentu, sebagai manusia, kita
selalu menghindari rasa sakit dan ingin selalu bahagia. Ini mengapa kita
menyukai cerita-cerita klasik (seperti Cinderella, Snow White, dll) yang
berakhir dengan pernikahan dan kedua karakter utamanya hidup bersama bahagia
selamanya. Maka, saat Yesus memerintahkan murid-murid-Nya untuk “menyangkal
diri mereka dan memikul salib mereka setiap hari”, Yesus sepertinya tidak
begitu waras. Sungguhkah demikian?
Mari kita
melihat realitas salib pada zaman Yesus. Disalib adalah cara yang paling brutal
dan memalukan untuk menghukum seorang penjahat. Setiap ancaman bagi Kekaisaran
Romawi tidak hanya akan dipaku di batang kayu salib tetapi juga menjadi
tontonan khalak ramai. Para korban akan mati perlahan-lahan karena mereka
pelan-pelan kehilangan darah dan air. Tidak hanya sangat menyiksa bagi yang
tergantung di pohon, tetapi juga menyakiti perasaan orang yang dicintai melihat
dia tergantung dan putus asa. Penyaliban pasti menuju kematian, tapi semakin
lama penderitaan yang ditimbulkan semakin baik pula penyaliban itu.
Sekarang,
realitas salib menjadi sangat jelek ketika Yesus, Tuhan kita, dengan bebas memilih
untuk menerimanya dan mati dengan salib. Apakah Dia cukup gila ketika ia
memutuskan untuk mengambil bagian terburuk dari kematian? Apakah dia cukup gila
untuk mempromosikan hal ini kepada para pengikutnya?
Kita
kehilangan maknanya jika kita hanya terpusat pada penderitaan itu sendiri. Mari
kita lihat gambaran yang lebih besar. Teologi Kristiani menjelaskan bahwa
penderitaan dan kematian adalah konsekuensi dari dosa kita. Karena semua orang
melakukan dosa, penderitaan adalah nasib kita. Dalam Kemurahan-Nya, Tuhan
selalu dapat menghapus penderitaan, tetapi Dia tidak melakukannya. Kenapa? St.
Paulus memiliki jawabannya: “Sebab
pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa,
tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah (1 Kor
1:18).”
Dengan
merangkul salib, Yesus membuat penderitaan sumber perkembangan, kebijaksanaan
dan bahkan kekudusan. Fokus sebuah salib bukanlah pada pada penderitaan itu
sendiri, melainkan pada Allah yang tergantung di sana. Bukan paku yang menahan
Yesus di kayu salib, tetapi kasih. Kita diajak untuk melihat Allah bahkan di
saat-saat paling suram kehidupan. Ketika seorang ibu mengetahui bahwa putri
satu-satunya hanya hamil di luar nikah, ia bisa memilih untuk menghujat Allah.
Namun, iapun bisa menemukan Tuhan dalam putrinya yang menolak untuk
menggugurkan sang bayi dan dalam komunitas Kristiani yang selalu mendukung.
Salib
bukanlah tentang penderitaan, tetapi bagaimana kita menemukan Allah dalam
penderitaan dan membuat salib sungguh berbuah.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
No comments:
Post a Comment