Thursday, April 17, 2014

Mengasihi Sampai Akhir



Jumat Agung
April 18, 2014
Yoh 18:1 – 19:42

“Sudah Selesai (Yohanes 19:30)”

Setiap orang memiliki tujuan hidup dan kita hidup untuk mencapai tujuan ini. Hanya melalui pemenuhan tujuan hidup ini, kita dapat merasakan apa itu kebahagiaan sejati. Pertanyaannya kemudian, apakah tujuan hidup kita? Tuhanpun bersabda, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan, kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Markus 12:30-31).” Namun, tujuan hidup kita yang besar ini hanya dapat dicapai dengan mencapai tujuan hidup kita sehari-hari. Jika kita adalah pelajar, belajar dengan ketekunan adalah tujuan hidup kita. Jika Anda adalah seorang suami, maka kasih yang total dan kesetiaan yang tulus untuk istri anda adalah tujuan hidup Anda. Jika saya seorang frater biasa yang memiliki misi untuk memberitakan Injil, tujuan hidup saya sekarang adalah untuk menulis refleksi ini denga baik dan untuk menunjukkan kepada anda semua kasih Allah yang bahkan lebih besar lagi dalam hidup anda.
Sekarang, mari kita berhenti sejenak dan mencoba untuk merefleksikan tujuan hidup Yesus. Tidak diragukan lagi, Ia dikirim untuk menyelamatkan kita. Namun, pertanyaan yang membingungkan kita hari ini: Mengapa Dia harus menderita dan mati di kayu salib untuk menyelamatkan kita? Dalam Injil hari ini , Yesus mengalami siksaan mengerikan dan akhirnya meninggal sebagai penjahat. Tentunya, hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari ketaatan-Nya kepada Bapa. Tunggu dulu! Apakah ini berarti bahwa Tuhan Allah menginginkan kematian Anak-Nya secara kejam? Tapi, mengapa? Apakah Allah menghukum Yesus? Namun, Yesus tidak berdosa dan tidak layak dihukum. Apakah ini berarti Allah menghukum Yesus karena kesalahan-kesalahan kita? Jika kita setuju dengan pendapat ini, kita menempatkan Allah dalam perspektif yang sangat negatif: jika kita melihat bahwa Dia merencanakan penderitaan dan pembunuhan Anak-Nya, maka kita melihat Allah sekedar sebagai pembunuh!
Tentunya, untuk melihat Tuhan sebagai pembunuh Anak-Nya sendiri sesuatu yang tidak terpikirkan. Tapi kemudian, bagaimana kita akan memahami misteri penderitaan dan kematian Yesus ini ? St. Yohanes mengatakan bahwa Allah adalah kasih dan hanya melalui kasih, kita dapat memahami jalan-Nya (lih. 1 Yohanes 4:16). Allah Bapa tidak pernah bertujuan pada kematian Yesus, tetapi apa yang Dia ingin adalah bahwa Yesus mengasihi kita sampai akhir dan memberikan nyawa-Nya sendiri untuk demi kasih adalah sebuah kemungkinan dan konsequensi nyata. Pengkhianatan, siksaan dan kematian fisik mungkin menjadi konsekuensi yang tidak dapat dihindari, tetapi meskipun hal-hal terburuk menimpa-Nya, Yesus mengasihi kita sampai akhir. Seperti St. Petrus berkata, “Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa (1 Pet 4:8). Sungguh, kasih Kristus tak terkira dasyatnya dan menghapus semua dosa-dosa kita.
Untuk mengasihi secara total adalah sangat sulit, berbahaya dan bahkan mematikan, tetapi tanpa itu, kita tidak pernah mencapai tujuan hidup kita. Saya ingat cerita oleh Uskup Pablo David dari Philippines tentang seorang istri yang ditinggalkan oleh suaminya dan lari dengan wanita lain. Dia ditinggalkan sendirian untuk membesarkan tiga anak kecilnya. Namun, alih-alih mencari pria lain, ia tetap setia kepada janji pernikahannya. Kemudian, ketika suaminya dilanda penyakit serius dan ditinggalkan oleh kekasih gelapnya, sang istri membawa suaminya pulang dan merawatnya sampai kematiannya. Saat pemakaman, seorang teman bertanya mengapa dia melakukan semua ini. Jawabannya sederhana, Dia adalah suami saya dan saya istrinya.” Lihat apa yang kasih dapat lalukan dalam hidup kita!
Jumat Agung tidak hanya mengingatkan kita tentang penderitaan dan kematian Kristus, tetapi terutama tentang kasih-Nya yang sungguh besar. Ia memaafkan mereka yang mengolok-olok Dia, Dia membela orang-orang yang menyalibkan Dia depan Bapa, dan Dia memeluk sahabat-sahabat-Nya yang mengkhianati dan lari dari-Nya. Di kayu salib, Dia mengajarkan kita bagaimana mengasihi ditengah-tengah penderitaan. Untuk mengasihi pasangan hidup kita yang semakin tua tidak pernah mudah, tapi kasih itu sabar (1 Kor 13:4). Untuk mengasihi anak-anak kita yang terkadang keras kepala dan tidak pernah menghargai kerja keras kita untuk mereka adalah sangat sulit, tapi kasih sabar menanggung segala hal (1 Kor 13:7) . Meskipun hal terburuk di dunia ini melanda kita, kasih-Nya tidak pernah gagal dan tidak berkesudahan (1 Kor 13:8). Ini adalah kasih Kristus bagi Anda dan saya. Dan kemudian, ketika kita telah mengasihi sampai akhir, bersama-sama dengan Yesus, kita berani berkata, “Hal ini terpenuhi”.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

No comments:

Post a Comment