Saturday, October 12, 2013

Belajar Berterima Kasih



Minggu Biasa ke-28
13 Oktober 2013
Lukas 17:11-19

“Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria. (Luk 17:15-16)”



Sepertinya sembilan orang Yahudi ini tidak tahu artinya terima kasih. Mereka telah disembuhkan, namun mereka tidak mau repot-repot untuk kembali kepada Yesus dan berterima kasih. Mengingat bahwa kusta adalah penyakit yang mematikan di zamanya Yesus, sembilan orang Yahudi ini tampaknya memiliki kecongkakan hati yang menutup mata mereka untuk bersyukur. Tetapi, tunggu! Apakah ini sungguh karena mereka sombong, atau apakah ada alasan yang lebih dalam lagi dibalik tindakan mereka? Fakta bahwa hanya orang Samaria yang kembali memberi kita sebuah fenomena yang mengejutkan di sini.
Mengapa orang Samaria lari kembali kepada Yesus? Melihat ke dalam struktur budaya masyarakat Yahudi, orang Samaria ini tidak punya kewajiban legal untuk menampilkan dirinya kepada imam-imam Yahudi dan melakukan ritual pemurnian sebelum ia bisa kembali ke dalam masyarakat (Im 14). Untuk menuduh sembilan orang Yahudi ini sebagai orang yang tidak tahu berterima kasih sepertinya terlalu naif. Mereka benar-benar taat kepada Hukum Taurat dan memang melakukan apa yang Yesus katakan kepada mereka.
Apakah orang-orang Yahudi kembali ke Yesus setelah melaksanakan Hukum yang ditentukan? Nah , Injil memang diam, meskipun ada kemungkinan terbuka lebar untuk hal ini. Sekarang, kita memiliki pemahaman yang lebih baik mengapa sembilan orang Yahudi ini gagal untuk bersyukur secara cepat. Ada mentalitas di dalam diri mereka yang menghapus pilihan untuk segera kembali ke Yesus. Ini adalah mekanisme yang menempatkan manusia dan semua kecerdikan mereka terlebih dahulu sebelum Allah dan rahmat -Nya. Seringkali, tanpa disadari, struktur ini yang dimiliki orang Yahudi hampir dua ribu tahun yang silam juga tertanam di dalam jiwa kita.
Pada zaman modern ini, kita menghirup atmosphere kompetisi dan menghembuskan prestasi pribadi. Kita dilatih untuk percaya pada diri kita sendiri lebih dari apa pun dan membuat sesuatu terjadi dengan kekuatan dan keyakinan kita. Buku-buku, seminar dan berbagai pelatihan tentang kepribadian yang sukses dan juara praktis membanjiri masyarakat kita. Dengan demikian, kita disibukkan dengan mencari nafkah dan mencapai kesuksesan dalam hidup, namun melewatkan bagian penting dari kehidupan ini. Kita lupa bahwa segala sesuatu adalah kasih karunia Allah. Mengutip Thomas Merton,  Untuk bersyukur adalah mengakui Kasih Allah di dalam segala hal yang telah Dia berikan kepada kita - dan Dia telah memberi kita segalanya. Setiap napas kita hirup adalah karunia dari kasih-Nya, setiap saat dari kehidupan adalah rahmat, untuk itu membawa serta rahmat besar dari-Nya.
Saya ingin berbagi pengalaman saya ketika saya mengunjungi sekelompok narapidana remaja di Penjara New Bilibid di kota Muntinlupa, Filipina. Saya mendekati mereka dan mulai obralan ringan. Namun, setelah mendengarkan cerita mereka dengan saksama, hati saya tersayat. Pada usia yang sangat muda, sebagian dari mereka terlibat dalam kejahatan yang sangat serius: Perampokan, perilaku kekerasan dan bahkan pembunuhan. Beberapa dari mereka akhirnya harus menghabiskan hidup mereka praktis di lama penjara. Bagaimana bisa hal-hal yang mengerikan ini menimpa kehidupan muda mereka?
Keluhan, kekesalan, dan bahkan kutukan adalah hal-hal yang saya pikir akan keluar dari mulut mereka. Namun, saya benar-benar keliru. Meskipun menghadapi gelap dan perihnya kehidupan, rasa syukur yang kecil masih mengalir dari hati mereka. Mereka menyambut saya dan frater-frater lainya dengan hangat dan bahkan menghibur kami dengan sebuah drama musikal sederhana yang berbicara tentang arti mendalam sebuah kebebasan: sel penjara yang sesungguhnya berada di dalam hati manusia. Hati kita sering terpenjara kemarahan, egoisme dan kesombongan. Semua ini membutakan mata hati kita untuk dapat melihat kasih karunia Allah di dalam hidup kita.
Melanjutkan perkataan Thomas Merton,“Rasa syukur tidak akan pernah menyia-yiakan apapun, tidak pernah tidak responsif, selalu takjub akan keajaiban-keajaiban baru dan memuji kebaikan Tuhan selalu. Bagi orang yang selalu bersyukur, mereka menyadari bahwa Tuhan itu baik, bukan karena dari desas-desus tetapi dari pengalaman pribadi. Dan itulah yang membuat hidup kita berbeda.”
Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno , OP

No comments:

Post a Comment