Saturday, March 29, 2014

Lumpur yang Membebaskan

Minggu Pra-Paskah keempat
30 Maret 2014
Yohanes 9:1-41

“Tuhan, aku percaya (Yoh 9:38)”


Ada mentalitas di zaman Yesus bahwa penyakit dan penderitaan adalah hukuman dari Allah. Mereka dihukum karena dosa-dosa mereka atau orang tua mereka. Inilah sebabnya mengapa dalam Injil hari ini kita mendengar bahwa para Farisi bisa dengan mudanya berkata kepada orang buta yang baru disembuhkan, Engkau ini lahir sama sekali dalam dosa dan engkau hendak mengajar kami?” Dia dilahirkan dengan cacat di matanya dan dia harus mengemis untuk hidup. Pastinya si buta ini adalah pendosa besar dan layak menderita.
Ini adalah sebuah penjelasan kuno terhadap realitas penderitaan, namun percaya atau tidak, pola pikir seperti ini masih mencengkram pemahaman kita. Ketika hujan deras menyebabkan banjir besar di Metro Manila bulan Agustus tahun lalu, beberapa orang mulai membuat hubungan dengan murka Allah kepada pemerintah Filipina saat ini. Mereka berpendapat bahwa rakyat Filipina dihukum karena DPR and pemerintah Filipina bersekutu untuk membuat Reproductive Health Bill (yang mendukung kontrasepsi buatan) menjadi undang-undang. Interpretasi lain tentang banjir besar ini datang dari Nanay Lina (bukan nama sebenarnya). Dia tinggal di dekat Gereja Santo Domingo, dan ketika rumahnya terendam banjir, ia berlindung dan mengungsi di Gereja Santo Domingo. Dia menceritakan kisahnya dengan beberapa frater, “Tuhan menghukum kita karena ada banyak pecandu obat terlarang di dekat rumah saya!”
Mengapa kita berpikir seperti ini? Realitas penderitaan dan kematian memang tak terhindari dan menjangkiti semua orang, dan di dalam lubuk hati kita, kita tidak bisa mengerti misteri penderitaan harus terjadi ini. Mengapa hal-hal ini terjadi di dalam hidup kita? Kemudian, untuk menemukan pelipur lara, kita mulai memproyeksikan kelemahan ini kepada orang lain yang lebih menderita. “Oh, ia bernasib  lebih buruk, maka saya harus bergembira!” Lebih buruk lagi, kita mengalihkan ketidaksempurnaan kita kepada Allah. Kita membalas dendam setiap kali kita menerima perlakuan buruk, dan karena itu, Allah kita pastinya akan juga membalas tindakan jahat manusia dengan penderitaan yang setimpal. Namun, ini adalah kesalahan fundamental! Tanpa disadari, kita membentuk Allah kita menurut gambar dan rupa kita dan bukan kita menurut gambar dan rupa-Nya.
Untungnya, Tuhan yang pendendam dan suke menghukum ini bukanlah Tuhannya Yesus, Allah Israel yang sejati. Yesus menjadi sensasi instan bukan hanya karena Dia menyembuhkan banyak orang dengan cara eksentrik (Dia menggunakan lumpur yang dicampur dengan air liur-Nya!), tetapi juga membebaskan mereka dari mentalitas negatif dan memuakkan ini. Yesus menantang status quo para pemuka agama Yahudi dan Dia memperkenalkan pemahaman yang benar tentang Allah. Dia tidak hanya memulihkan kesehatan, tetapi lebih mendasar lagi, Dia menaanamkan iman yang benar di hati orang-orang yang disentuh-Nya. Tuhan kita bukanlah pendendam ataupun Tuhan yang haus akan darah, tapi penuh kasih dan siap memaafkan kesalahan kita. Aku datang bukan untuk memanggil orang benar melainkan orang berdosa.”  Inilah sebabnya mengapa setelah penyembuhan, Yesus meminta pengakuan iman dari mereka. “Apakah kamu percaya pada Anak Manusia?” Yesus tanya pria itu. Dia kemudian menyerukan imannya kepada Yesus, “Tuhan , saya percaya.
Masa Pra-Paskah menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk berintrospeksi, “Siapakah Allah kita?” Ambil napas dalam-dalam dan berhenti sejenak. Dalam kedalaman hati kita, kita mencari jawaban yang jujur: Apakah Dia sekedar refleksi kemanusiaan kita yang lemah? Atau Dia adalah Allah yang benar dan hidup?" Kebenaran yang kita temukan mungkin menyakitkan, dan kita mulai menolaknya seperti halnya orang-orang Farisi di Injil hari ini, tetapi kita juga berbahagia karena Yesus secara perlahan telah membuka mata kita dan kita dapat dibentuk menurut gambar-Nya dan rupa.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

No comments:

Post a Comment