Saturday, January 31, 2015

Kekuasaan Sejati



Minggu Biasa ke-4
1 Februari 2015
Markus 1: 21-28

Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa... (Markus 1:22)”

Bagaimana kita mendapatkan kekuasaan? Bagaimana kita bisa berbicara dengan kredibilitas? Apa yang membuat orang lain percaya kepada kita? Beberapa orang berpikir bahwa kekuasan mengalir secara alamiah dari posisi yang kita miliki. Kita mendapatkan otoritas karena kita berdiri tempat yang lebih tinggi dari orang-orang di sekitar kita, entah itu di dalam keluarga, di perusahaan, atau di Gereja. Hanya karena kita adalah kepala keluarga, kita pun mengatur segala hal bagi anggota keluarga yang lain. Hanya karena kita menjabat sebagai manajer, kita merasa lebih baik dan unggul dari karyawan lainnya. Atau hanya karena kita telah ditahbiskan sebagai imam, kita berhenti mendengarkan umat beriman lainnya dan hanya melakukan apa yang kita inginkan. Sesungguhnya, hal ini adalah semu.
Banyak ahli kepemimpinan seperti John Maxwell dan Peter Drucker berpendapat bahwa posisi adalah jenis kepemimpinan yang terendah. Dalam Injil hari ini, kita melihat masalah yang serupa dengan ahli Taurat di Kapernaum. Mereka berpikir bahwa mereka mendapat wewenang untuk menafsirkan Hukum Musa hanya karena posisi mereka yang tinggi dalam rumah ibadat, dan mereka ingin agar orang Yahudi lain mengikuti mereka. Romo Adrian Adiredjo, OP, seorang sahabat, pernah berkata kepada saya, Ketika kamu berada di atas, orang-orang hanya akan melihat bokongmu.” Tentunya, tidak ada orang yang mau mendapat ‘bokong’ kita.
Selain melihat kekuasan dari posisi, sering kitapun mengira bahwa kekuasan berasal kekuatan dan bahkan kekerasan. Beberapa orang memiliki konsepsi bahwa otot besar mereka akan memberi mereka keunggulan atas orang-orang yang lemah, memaksa mereka untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Sikap ini juga tercermin pada antagonis Injil hari ini, sang roh jahat. Sebagai malaikat yang memberontak, kekuatannya jauh melebihi manusia, dan sayangnya, pria malang di rumah ibadat tidak bisa menahan kekuatan sang roh. Kemudian dengan paksaan, tubuhnya dirasuki dan dikuasai oleh roh ganas tersebut. Hal ini sebenarnya adalah tindakan bullyingatau intimidasi, dan sungguh memperihatinkan karena intimidasi terjadi di hampir semua lapisan masyarakat, dari pelajar SMP sampai para pejabat pemerintah. Ini bukanlah kekuasan sejati. Ketika yang tertindas menemukan keberanian sejati, merekapun memperjuangkan kebebasan dan menjadikan sang penindas tidak berdaya.
Yesus mengajarkan kita makna sebenarnya dari sebuah kekuasaan. Kita tahu bahwa Ia tidak memiliki posisi apapun seperti halnya ahli Taurat, Ia pun tidak memiliki kekuatan fisik yang superior dan pun senjata, tapi orang-orang mendengarkan dan mengikuti-Nya. Mengapa? Karena kekuasaan-Nya terlahir dari kasih dan kepedulian-Nya terhadap sesama. Dia tidak hanya mengajar, tapi juga menghidupi ajaran-Nya. Dia tidak hanya menjadi satu dengan penderitaan orang-orang di sekitar-Nya dan juga aktif terlibat dalam memecahkan masalah mereka. Dia memberikan keberanian dan kekuatan sejati untuk mereka yang lemah, takut dan tertindas. Dia sungguh mengasihi dan memberdayakan teman-teman-Nya. Sebagai konsequensi yang alamiah, orang-orang pun menghormati Yesus karena mereka merasakan ada perubahan substansial yang terjadi dalam hidup mereka Karena Yesus.
Untuk mendapatkan kekuasaan melalui posisi atau kekerasaan sudahlah ketinggalan jaman. Seperti Yesus, upaya yang tulus untuk mengasihi orang lain dan membuat mereka tumbuh harus menjadi barometer kekuasan kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

No comments:

Post a Comment