Saturday, January 3, 2015

Epifani: Sebuah Perubahan yang Radikal



Hari Raya Penampakan Tuhan
4 Januari 2015
Matius 2: 1-12

... Mereka melihat Anak itu bersama Maria ibunya. Mereka bersujud dan melakukan penghormatan kepadanya (Mat 2:11).”

 Hari ini kita merayakan Hari Raya Epifani. Epifani berasal dari kata Yunani epiphananie’, yang berarti penampakan’. Oleh karena itu, hari ini juga dikenal sebagai hari raya Penampakan Tuhan. Perayaan ini dianggap sebagai salah satu yang tertua dan paling penting karena Sang Bayi ilahi mengundang tiga orang Majus untuk mengunjungi dan akhirnya menyembah Dia. Peristiwa ini ternyata menjadi titik kritis bagi identitas dan misi Yesus di dunia.
Ia lahir sebagai orang Yahudi, dari orang tua Yahudi (bahkan Joseph adalah keturuan bangsawan), di kota Betlehem, kota kelahiran Daud, raja besar. Yesus adalah bayi Yahudi di dalam berbagai aspek. Benar bahwa Ia adalah bayi sederhana, tahta pertama-Nya adalah palungan hina, dan kehadiran-Nya disambut oleh para gembala yang merupakan Yahudi kelas bawah, namun tetap saja fakta-fakta ini menguatkan bahwa ia adalah seorang Yahudi dan terlahir untuk orang-orang Yahudi. Semua hal di sekitar kelahiran-Nya menunjuk pada tradisi dan budaya Israel. Jika kita berhenti pada titik ini, misi Yesus di masa depan akan secara eksklusif tertuju pada bangsa Israel saja. Tetapi, syukurlah, hal itu tidak pernah terjadi.
Kita bersyukur bahwa ada tiga orang Majus yang tentunya bukan dari bangsa Yahudi. Tiga Orang Majus dari Timur berani melakukan perjalanan ratusan mil, mengikuti bintang terang dan melakukan penghormatan kepada Raja yang baru lahir. Ini ternyata menjadi peristiwa penting dalam kehidupan Kristus dan Gereja. Penerimaan bangsa-bangsa lain menandai perubahan radikal dari orientasi eksklusif terhadap bangsa Yahudi menuju visi inklusif dan universal bagi segala bangsa. Yesus diutus bukan hanya untuk menyelamatkan orang-orang Yahudi, tetapi juga semua manusia dari segala bangsa. Yesus bukan hanya milik keluarga, klan dan bangsa-Nya, tetapi Ia membentangkan diri-Nya sampai ke ujung dunia.
Semagat universal dan inklusif ini adalah karakter utama dari misi dan aksi Yesus, dan Gereja sebagai tubuh-Nya, mengambil nilai-nilai inti ini sebagai bagian dirinya. Dengan demikian, dalam Kredo Nicea, kita mengatakan bahwa kita percaya pada Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik. Kata Katolik umumnya diterjemahkan sebagai ‘universal’. Seperti Yesus menyambut semua orang, dari berbagai bahasa, budaya, ras dan bangsa, Gereja juga menerima orang dari semua bangsa dalam pelukannya. Paus Fransiskus selalu menekankan bahwa Gereja adalah pengasih dan penyayang, seperti Tuhan Yesus, dan  Gereja menerima dalam pelukannya semua orang, terutama kaum miskin, kaum marjinal dan orang-orang berdosa.
Sekarang, waktunya bagi kita untuk menjadi ‘katolik’. Lebih mudah untuk berbicara tentang Katolisitas identitas kita, tetapi untuk berbuah dalam tindakan di kehidupan sehari-hari belum tentu semudah yang dikatakan. Siapa di antara kita yang terlibat dalam kegiatan membangun perdamaian dan dialog dengan kelompok-kelompok etnis yang bertentangan? Siapa di antara kita, yang benar-benar yakin dengan kebenaran Injil, sekaligus juga terlibat dalam diskusi yang sehat dengan agama-agama lain? Siapa di antara kita yang mampu menolong orang lain yang sangat membutuhkan makanan tanpa melihat siapa mereka? Ya, aksi-aksi ini sangat sulit, tetapi jika bayi kecil dan lucu saja bisa memulai usaha ini, mengapa kita tidak bisa?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

No comments:

Post a Comment