Saturday, February 7, 2015

Doa di dalam Tradisi Yesus



Minggu Biasa ke-5
8 Februari 2015
Markus 1:29-39

“Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana. (Mrk 1:35).”

Apakah kamu pernah berdoa? Tentu saja! Kita mungkin berdoa dengan cara yang agak berbeda, tetapi pastinya kita berdoa. Beberapa dari kita berdoa rosari suci atau novena kudus setiap hari. Beberapa mungkin memulai dan mengakhiri hari dengan doa sederhana. Kita juga terbiasa mengucapkan doa sebelum dan sesudah makan. Setelah beberapa waktu tinggal di Filipina, saya menyadari bahwa orang-orang Katolik di Filipina membuat tanda salib setiap kali mereka melewati sebuah gereja sebagai tanda devosi mereka. Banyak dari kita mengunjungi dan beradorasi di hadapan Sakramen Mahakudus; belum lagi devosi kita terhadap Santa Perawan Maria dan orang-orang kudus di surga. Tidak lupa juga bahwa berpartisipasi dalam Misa Kudus adalah bentuk tertinggi dari doa kita sebagai seorang katolik .
Namun, tenggelam dalam berbagai bentuk doa setiap harinya, apakah kita pernah bertanya dan mencoba memahami, apakah arti sebuah doa? Tanpa kita sadari, kita sejatinya berdoa dalam sebuah tradisi, dan tradisi ini berbicara banyak tentang keunikan doa kita. Tradisi Katolik agak berbeda dari saudara-saudara kita Protestan. Misalnya, mereka tidak berdoa rosario seperti kita. Jalan umat Kristiani berbeda dari saudara-saudara kita Muslim. Misalnya, hari Jumat adalah hari suci mereka, sementara kita adalah hari Minggu.
Lalu, apakah tradisi yang kita ikuti? Saya berani mengatakan bahwa tradisi kita adalah tradisi Yesus. Kita berdoa sebagai mana Yesus berdoa, dan setidaknya ada tiga karakteristik dasar tradisi Yesus ini. Pertama, doa kita pada dasarnya interpersonal. Ini berarti doa kita menghubungkan dua orang atau dua pihak. Tentu saja, itu adalah antara kita dan Tuhan. Itu sebabnya dalam doa, kita berkomunikasi dengan Tuhan seolah-olah kita berbicara dengan teman kita sendiri. Bahkan, Yesus secara radikal mengajarkan kita untuk memanggil Allah kita, Bapa (lih Luk 11: 1-4). Inilah tradisi kita, tradisi yang memiliki Allah sangat dekat dengan kita!
Kedua, doa kita tidak hanya menghubungkan dua pribadi tapi juga doa kita adalah sesuatu yang personal. Personal’ disini berarti kita dapat membuka hati kita, berbagi keinginan dan impian kita dan mengekspresikan semua cerita kita kepada Tuhan. Saya sering pergi ke Gereja Quiapo di jantung kota  Manila, di mana umat yang tak terhitung jumlahnya berdoa di hadapan Black Nazarene, dan saat saya berdoa, saya menyaksikan beberapa orang berlutut dan menumpahkan air mata mereka. Doa mereka mengingatkan saya pada doa Tuhan Yesus di Taman Getsemani. Ketika hal-hal yang begitu suram dan, Yesus tidak pernah berhenti berdoa dan berkata, “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki. (Mar 14:36).
Karena doa kita pada dasarnya interpersonal, sangat masuk akal bagi kita untuk berdoa bagi orang lain. Seperti layaknya sebuah percakapan, kita tidak berbicara hanya tentang diri kita sendiri, tetapi juga berbicara tentang orang lain dan berharap hal-hal baik terjadi pada mereka. Dengan demikian, dalam doa, kita mengungkapkan juga hal baik untuk orang lain dan berharap bahwa Allah akan mewujudkannya. Pada akhir kunjungan pastoral Paus Fransiskus ke Filipina Januari lalu, Kardinal Tagle dari Manila berjanji bahwa umat katolik Filipina akan berdoa untuk Bapa Suci dan ia meyakinkan Fransiskus bahwa bahkan Yesus sendiri telah berdoa untuknya. Dalam Perjamuan Terakhir, Yesus mengatakan kepada Petrus, “Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu (Luk 22:32).”
Akhirnya, Injil hari ini mengungkapkan bahwa kita berdoa tanpa henti. Yesus berdoa di pagi hari sebelum menjalankan misi-Nya, namun dalam ayat lain, Yesus masuk ke tempat sunyi setelah pelayanan-Nya (lik Mrk 06:46). Ia berdoa sebelum Ia memilih murid-Nya dan Dia berlutut di taman, sebelum Ia memasuki penderitaan-Nya. Doa Yesus adalah realitas yang sangat esensial dalam kehidupan Yesus. Kemudian, St.Paul sendiri akan mengingatkan umat di Tesalonika untuk berdoa tanpa henti, karena ini adalah cara Kristus berdoa (1 Tes 5:17).
Kita berdoa tidak hanya karena kewajiban yang dibebankan oleh orang tua kita atau datang ke Gereja karena pastor paroki mengatakan demikian. Kita berdoa karena ini adalah tradisi kita, ini adalah identitas kita, dan ini adalah siapa kita. Kita berdoa karena Yesus juga berdoa.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

No comments:

Post a Comment