Saturday, February 21, 2015

Mengapa ke Padang Gurun?



Minggu Pertama Prapaskah
22 Februari 2015
Markus 1: 12-15

Segera sesudah itu Roh memimpin Dia ke padang gurun. (Markus 1:12)”

Hari ini, kita memasuki hari Minggu pertama Prapaskah. Masa liturgi ini mempersiapkan kita  menyambut Paskah. Hal ini ditandai dengan semangat pertobatan dan pembaharuan baptis. Injil hari ini memberi kita dasar mengapa ada empat puluh hari dalam masa Prapaskah. Pada dasarnya, kita ingin mengikuti Yesus ke padang gurun selama 40 hari. Seperti Yesus dibawa oleh Roh, kita akan juga membuka diri untuk bimbingan Roh. Kemudian, pertanyaannya adalah: bagaimana rasanya berada di padang gurun?
Jujur, saya belum pernah ke gurun manapun. Kecuali melalui beberapa film dan 'Google', pengalaman gurun tidak pernah mencapai indra saya. Tapi, belajar dari Alkitab, kita setuju bahwa gurun memang sebuah tempat yang penting. Dalam Buku Keluaran, Musa dan orang Israel  berjalan melalui padang gurun selama empat puluh tahun sebelum memasuki Tanah Perjanjian. Daud mencari perlindungan yang aman di gurun ketika musuh-musuhnya mengejarnya. Kemudian, Yohanes Pembaptis sendiri mempersiapkan diri di padang gurun, tidak makan apa-apa kecuali belalang dan madu. Gurun di Alkitab ternyata menjadi tempat pembentukan orang-orang pilihan Allah. Tetapi, mengapa harus di padang gurun?
Beberapa studi menyebutkan bahwa gurun di Israel bukanlah seperti di Sahara, Afrika di mana pasir menutupi seluruh bumi dan kehidupan praktis tidak mungkin. Namun, gurun di Israel adalah tanah yang tidak produktif karena kurangnya curah hujan, dan dengan demikian, kehidupan masih mungkin ada. Namun, perlu diingat gurun di Palestina bukanlah tempat yang ramah karena binatang liar berkeliaran dan sebuah percayaan bahwa roh-roh jahat mencari korbannya di sini. Melihat fitur ini, kita dapat menyimpulkan bahwa gurun di Israel memang bisa menjadi tempat pelatihan. Namun, formasi seperti apa yang akan kita terima di tempat semacam ini?
Antonio de Saint-Exupery melalui dalam bukunya ‘Little Prince’ pernah berkata, “Inilah rahasia saya. Hal ini sangat sederhana. Hanya dengan hati seseorang dapat melihat dengan benar; Apa yang penting tidak terlihat mata.Tidak mengejutkan bahwa sang penulis mendapat inspirasi ini ketika ia terdampar di gurun Sahara. Ternyata bahwa kesendirian dan kekosongan gurun menanggalkan kompleksitas dari hidup kita dan membawa kita untuk menghadapi kemanusiaan kita yang sejati. Tenggelam dalam dunia yang serba cepat ini, banyak dari kita telah kehilangan kemampuan untuk melihat apa yang benar-benar penting, dan oleh karena ini, kita semakin perlu pergi ke padang gurun. Saya sendiri adalah korban dari zaman ini, karena saya mengerjakan banyak hal yang tidak terlalu penting sekaligus, dari membaca buku, update status FB saya, dan chatting dengan teman-teman. Beruntung bahwa saya masih bisa menyisihkan waktu untuk menulis refleksi ini.
Paulo Coelho memulai bukunya Warrior of Light dengan kisah seorang anak yang mencari suara lonceng di tepi pantai. Awalnya ia tidak mendengar apa-apa kecuali gemuruh ombak dan ia terganggu oleh suara tersebut, tapi setelah beberapa waktu, dia tidak lagi terganggu, dan bahkan menikmati keindahan gemuruh ombak tersebut. Dan saat ia masuk ke dalam keheningan di tepi laut, ia secara bertahap mendengar suara lonceng dari dalam laut. Ini adalah pengalaman yang kita butuhkan; berada di padang gurun. Saya cukup beruntung bahwa saya memiliki momen gurun ini di novisiat pada 2010. Selama hampir empat belas bulan, kita tidak diperbolehkan untuk memiliki komunikasi dengan dunia luar, tidak ada ponsel, tidak ada berita, tidak ada internet. Tapi, kita selamat dan bahkan tumbuh berkembang karena kita berani menghadapi diri kita yang terdalam.
Bagaimana umat awam yang tidak memiliki kesempatan untuk masuk novisiat bisa mengalami pengalaman gurun? Gereja telah menyediakan masa ini dan kita diundang untuk menghirup semangat Prapaskah. Apakah kita pergi ke Gereja dan mendengarkan dengan sepenuh hati bacaan-bacaan yang indah? Apakah kita benar-benar berlatih puasa dan pantang, dan mengambil jarak dengan gadget kita? Apakah kita bisa menghabiskan lebih banyak waktu dalam doa dan refleksi pribadi, dan bertanya pada diri kita sendiri tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup kita? Prapaskah memberi kita kesempatan untuk berjalan melalui padang gurun dengan Yesus dan melihat hal yang paling penting yang sering tak terlihat oleh mata.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

No comments:

Post a Comment