Thursday, July 30, 2015

Arti Sebuah Kemurahan Hati



Minggu Biasa Ke-17
26 Juli 2015
Yohanes 6: 1-15

“Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini? (Yohanes 6:9).”


Kisah pelipatgandaan roti dan ikan pada dasarnya adalah kisah sebuah kemurahan hati. Namun, kedermawanan hati ini bukan yang berasal dari kelebihan yang kita milik, tapi yang mengalir dari diri kita yang terdalam. Ada perbedaan besar antara seorang ayah jutawan yang dengan senang hati membeli iPhone model terbaru untuk anaknya, dan seorang ayah miskin yang dengan senang hati berbagi sepiring nasinya dengan anaknya yang masih kecil. Ayah pertama memberikan dari kelimpahan, tetapi ayah kedua membagikan hidupnya.
Ketika Yesus menyodorkan sebuah pertanyaan yang sulit tentang bagaimana memberi makan orang banyak, Filipus dengan segera mereduksi pertanyaan tersebuat menjadi sekedar masalah keuangan. “Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini.” Namun, Yesus tahu benar bahwa ini bukan hanya tentang uang. Kemudian, ketika seorang anak kecil datang dengan segala yang ia miliki, dua ikan dan lima roti, tampaknya upaya sang anak itu akan sia-sia. Namun, apa yang Yesus cari adalah bukan apa atau berapa banyak yang kita berikan, tapi ‘siapa’ kita bagikan. Anak kecil ini memberikan dirinya bagi Allah, dan Iapun mengambil alih yang lainnya. Ini adalah awal dari kemurahan hati yang luar biasa, yang memungkinkan sesuatu yang mustahil dan memberi hidup kepada orang lain.
Dunia kita saat ini begitu penuh dengan orang-orang miskin dan melebarnya kesenjangan antara orang kaya dan yang sederhana. Bahkan ketimpangan ini mempengaruhi negara-negara maju di dunia. Robert Reich, mantan Menteri Tenaga Kerja di pemerintahan Bill Clinton, menyebutkan dalam dokumenternya ‘Inequality for All’ bahwa biaya hidup terus melonjak sedangkan jumlah penghasilan tetap stagnan di beberapa tahun terakhir. Hal ini akan memaksa orang-orang Amerika untuk bekerja lebih keras, memiliki dua pekerjaan atau bahkan lebih. Beberapa menjadi pengangguran dan yang lain terjebak permasalah utang. Permasalahan sebenarnya tidak hanya tentang sistem atau kebijakan ekonomi yang salah, tapi masuk lebih dalam ke hati manusia. Paus Benediktus XVI dan Fransiskus terus menyerukan bahwa penyebab utama adalah adalah keserakahan.
Keserakahan adalah dosa dan seperti dosa yang lain, keserakahan itu mempengaruhi siapa saja, baik orang kaya maupun miskin. Orang yang kaya dan serakah dapat dengan mudah mengeksploitasi orang miskin melalui korupsi atau penipuan, dan selalu menemukan cara untuk memanipulasi rekan kerja mereka yang juga kaya. Pekerja sederhana namun serakah juga bisa menindas para pemilik usaha dengan tuntutan mereka yang tidak adil dan kadang-kadang dengan kekerasan, dan menipu sesama pekerja mereka melalui penipuan. Keserakahan menyebabkan mobilitas menurun ekonomi kita serta kemiskinan yang tidak berkesudahan. Yesus kini menawarkan kita solusinya: kemurahan hati yang total.
Ini adalah kemurahan hati yang tidak dapat diukur dengan uang, karena karunia diri memang tak ternilai harganya. Komunitas manusia dibangun di atas kemurahan hati ini. Pernikahan terbentuk ketika suami dan istri secara total memberikan diri bagi satu sama lain. Keluarga didirikan ketika orang tua berbagi seluruh hidup mereka untuk anak-anak mereka, dan pada gilirannya, anak-anak menghormati dan mencintai orang tua mereka. Masyarakat yang kuat terbangun jika setiap individu tanpa ragu mempersembahkan waktu, tenaga dan sumber daya, agar semua orang dapat tiba pada kebaikan bersama.
Ketika saya baru saja memulai perjalanan saya di Ordo Pengkhotbah, kita tidak punya rumah, tidak ada kendaraan, praktis tidak punya apa-apa. Kami, pada kenyataannya, tinggal di seminari milik keuskupan-keuskupan di Kalimantan, menempati unit kosong di sana. Bahkan ketika kondisi ekonomi tampak suram, saudara dan mentor saya, Romo Adrian Adiredjo, OP, selalu mengingatkan saya bahwa ‘uang harus selalu menjadi hal terakhir yang menguras perhatian kita.’ Kita tidak boleh tergoda untuk berpikir seperti Filipus, untuk mereduksi banyak hal sebagai masalah keuangan. Saya tidak sempurna dan juga melakukan kesalahan, tetapi melalui kemurahan hati banyak orang, saya bisa mencapai titik ini. Sesungguh, saat saya terus mempersembahkan diri saya, dua ikan dan lima roti yang saya miliki, untuk Tuhan dan pelayanan, Allah akan mengambil alih yang lainya. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan kita yang murah hati.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

No comments:

Post a Comment