Saturday, July 18, 2015

Diciptakan bagi Tuhan



Minggu Biasa ke-16
19 Juli 2015
Markus 6: 30-34

Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika! (Markus 6:31)”


Apakah Anda bahagia? Apakah Anda merasakan kepenuhan dalam hidup ini? Mari kita berhenti sejenak dan merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini. Beberapa dari kita mungkin memiliki pekerjaan yang stabil dan bahkan karir yang menanjak. Beberapa dari kita mungkin memiliki keluarga yang sempurna dengan anak-anak yang lucu. Beberapa dari kita mungkin menikmati keberhasilan dalam pelayanan kita di Gereja atau di masyarakat. Namun, dibalik kesuksesan hidup ini, apakah kita benar-benar mengalami sukacita yang mendalam di dalam hati kita? Jika jawaban kita adalah 'tidak' atau 'ya' dengan keraguan, Injil hari ini mungkin memberikan sedikit cahaya karena Yesus mengundang kita untuk pergi ke tempat yang sunyi dan beristirahat.
Keinginan untuk bahagia adalah sesuatu yang alamiah bagi manusia. Bahkan, ini adalah alasan yang mendasar bagi hidup dan tingkah laku kita di dunia. Kita belajar, bekerja, menikah, membangun keluarga dan melayani karena kita ingin bahagia. Sayangnya, kita sering kehilangan arah dan melupakan tujuan sebenarnya dari hidup kita. Mengapa? Menjawab hal ini, Paul Murray, seorang imam Dominikan dari  Irlandia, berpendapat, “salah satu alasan, mungkin, mengapa begitu banyak orang di masyarakat saat ini merasa tidak terpenuhi dan tidak bahagia adalah karena visi hidup yang ditawarkan, atau yang kita tanpa sadar anut, adalah salah satu visi yang terbatas pada sisi pragmatis, pandangan yang hanya satu dimensi dari dunia ini. Ini berarti kita melihat kebahagiaan sebagai sesuatu dapat dicapai cukup melalui keuntungan materi dan kesuksesan duniawi. Jika kita melihat sistem pendidikan kita, tidak sedikit sekolah yang bertujuan untuk melatih siswa untuk menjadi tenaga kerja terampil atau pekerja yang ulung. Hal ini tidak salah, tetapi secara tidak sadar membentuk para siswa untuk memuja dan mengagungkan nilai-nilai pragmatis: mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dan mencapai posisi tertinggi. Semakin banyak yang dimiliki semakin bahagia!
Beberapa hari yang lalu, saya menghadiri seminar-lokakarya di Baguio City, Filipina. Di sini, saya mempelajari kembali hirarki kebutuhan yang digagas Maslow beberapa puluh tahun lalu. Hirarki dimulai dengan kebutuhan yang paling mendasar yakni kebutuhan fisiologis seperti makanan, tempat tinggal dan pakaian, dan hirarki ini mencapai puncaknya di pengaktualisasian diri. Tapi, saya juga belajar bahwa Abraham Maslow akhirnya menambahkan satu hal lagi di atas aktualisasi diri. Ini adalah transendensi. Tahap teratas ini berbicara tentang hasrat terdalam kita untuk terhubung kembali pada sumber utama dari kehidupan kita. Jauh di lubuk terdalam, jiwa kita menyadari bahwa kita diciptakan untuk sesuatu yang jauh lebih besar dari sekedar mengumpulkan kesuksesan materi, kenikmatan jasmani atau kemuliaan duniawi. Kita merindukan Allah. St Agustinus pun berkata, “Engkau telah menciptakan kami untuk Diri Sendiri, ya Tuhan, dan hati kami gelisah sampai menemukan istirahat dalam Engkau.”
Yesus membuat langkah yang tampaknya biasa-biasa saja ketika Dia mengundang murid-murid-Nya untuk beristirahat. Namun, konteks biblis menciptakan banyak perbedaan. Murid-murid baru saja kembali dari misi pelayanan yang sukses dan memiliki banyak hal yang bisa dibanggakan, tapi keputusan pertama Yesus bukanlah memuji mereka, tetapi untuk membawa mereka ke dalam kesendirian dan kesunyian. Yesus menunjukkan kepada mereka tujuan yang lebih tinggi dari misi dan kehidupan mereka, karena hanya dalam keheningan dan ketenangan, para murid akan bisa berhubungan kembali dengan apa yang benar-benar penting yakni Yesus sendiri.
Beberapa orang akan menyatakan bahwa agama tidak lagi relevan dan hanya sekedar ciptaan manusia untuk memberi rasa takut dan mengkontrol umatnya. Pandangan ini tampaknya dibenarkan oleh karena beberapa kelompok radikal menggunakan kekerasan atas nama agama dan Tuhan. Namun, agama yang otentik tidak ada hubungannya dengan kekerasan, tetapi tujuan sebenarnya dari agama yang sejati adalah menjadi tempat pertemuan antara manusia dan Tuhan. Yesus mendirikan Gereja-Nya untuk memungkinkan umat-Nya untuk berjumpa dengan-Nya dan untuk menemukan sukacita sejati. Kita pergi ke Gereja, bukan karena ini adalah tradisi keluarga yang dipaksakan kepada kita, atau status simbol, atau orang tua kita akan marah jika kita tidak pergi. Hari Minggu adalah hari kudus karena hari ini adalah waktu kita membebaskan diri dari ideology-ideologi yang membatasi pandangan hidup, dari pekerjaan yang melelahkan dalam mencari keuntungan, dan juga terutama bagi kita untuk memasuki Transendensi. Hanya ketika kita mampu membuka hati kita untuk undangan Allah untuk beristirahat di dalam Dia dan mengakui bahwa kita diciptakan untuk Dia, kita akan menemukan kebahagiaan sejati yang kita selalu idamkan.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

No comments:

Post a Comment