Friday, July 3, 2015

Menjadi Seorang Nabi



Minggu Biasa ke-14
4 Juli 2015
Markus 6:1-6

“Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya (Mrk 6:4).”

Disalah mengerti, dihakimi, dan ditolak bahkan oleh orang-orang terdekat kita adalah pengalaman kita semua. Yesus sendiri mengalami hal ini. Dia pulang ke kampung halaman dan mewartakan Kabar Baik. Namun, bukannya disambut yang hangat, orang-orang Nazareth melihat Dia secara negatif dan menghina Dia. Orang-orang yang seharusnya paling menerima-Nya menjadi yang pertama menolak-Nya.
Namun, menghadapi penolakan yang kejam ini, Yesus tidak bergeming dan terus melanjutkan misi-Nya. Dia tidak gentar karena Dia tahu siapa sesungguhnya diri-Nya. Yesus adalah seorang nabi dan sebagai seorang nabi, Ia juga harus menerima bagian dari para nabi pendahulu-Nya: disalah mengerti, diadili, diperlakukan dengan buruk dan bahkan dibunuh. Tetapi, siapakah seorang nabi itu, dan kenapa beberapa orang tidak suka dengan seorang nabi? Secara sederhana, nabi adalah seorang yang mengatakan kebenaran, tetapi komitmennya yang teguh terhadap kebenaran bukanlah karena dia berpikir bahwa ia adalah yang paling benar, tetapi karena dia sungguh memperhatikan dan mengasihi umat yang ia layani. Seorang nabi tidak bisa hanya diam saat dia melihat umatnya mulai berprilaku yang salah dan menjadikan hidup mereka sebagai kesengsaraan dan permasalahan.
Setiap pengikut Kristus dipanggil sebagai seorang nabi dan ini berarti dipanggil untuk mewartakan kebenaran ditengah kemungkinan disalah mengerti, diperlakukan dengan buruk dan bahkan penolakan. Saya sendiri mengalami betapa tidak mudahnya mewartakan kebenaran. Beberapa minggu lalu, Mahkamah Agung Amerika Serikat telah menetapkan bahwa pernikahan sesama jenis adalah hak dasar bagi setiap warga negara Amerika dan hal ini memberi gelombang segar melawan mereka yang berpegang teguh pada pernikahan tradisional, termasuk Gereja Katolik. Tentunya, sayapun terpanggil untuk membela Gereja kita dan mewartakan kebenaran akan kodrat manusia sebagai ciptaan dan citra Allah. Berdebat secara online tidaklah sulit, tetapi saat beberapa sahabat mulai berubah haluan, situasi menjadi tidaklah mudah dan sangat riskan. Saya tidak ingin disalah mengerti dan dianggap sebagai ‘mau tahu urusan orang’ atau ‘sok suci’, tetapi kasih bagi mereka lebih besar dari takut yang saya miliki. Sayapun memutuskan untuk mengajak mereka untuk berpikir secara kritikal tetapi di sisi lain, tetap mengekspresikan kasih Yesus Kristus.
Menjadi seorang nabi sesungguhnya adalah misi kita setiap hari. Orang tua yang melakukan yang terbaik dan menginginkan yang terbaik bagi anak-anak mereka, tetapi terkadang mereka disalah mengerti oleh anak mereka sendiri dan dicap sebagai ‘suka mengatur’. Seorang guru yang mencoba menanamkan nilai dan budaya disiplin kemudian disebut sebagai ‘teror’. Namun ada waktunya, menjadi seorang nabi berarti sebuah pengorbanan yang total. Banyak imam, rohaniawan dan kaum awam yang bekerja tanpa lelah di daerah-daerah paling berbahaya bagi kaum miskin dan menderita. Beberapa dari mereka akhirnya diculik, disiksa dan bahkan dibunuh. Secara khusus, kita perlu mengingat almarhum Uskup Agung San Salvador Oscar Arnulfo Romero dari El Salvador. Kasihnya bagi umatnya dan juga lawannya mendorongnya untuk mewartakan kebenaran dan melawan segala bentuk korupsi dan penindasan di negaranya. Diapun akhirnya menerima murka dari musuh-musuhnya. Pada tahun 1980, dia ditembak mati saat merayakan perayaan Ekaristi di kapel Divine Providence Hospital. Darahnya menyatu dengan Darah Suci Yesus Kristus di dalam Ekaristi.
Sungguh, tidak mudah untuk menjadi seorang nabi, tetapi ini adalah panggilan dan misi kita. Jika kita sungguh sayang dan mengasihi orang-orang dan umat yang kita layani, mewartakan kebenaran adalah hal yang terbaik yang dapat kita lakukan untuk mereka.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

No comments:

Post a Comment