Saturday, August 22, 2015

Apakah kamu tidak mau pergi juga?



Minggu Biasa ke-21
23 Agustus 2015
Yohanes 6: 60-69

Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal (Yoh 6:68).”
 
Iman Katolik adalah sesuatu yang diwariskan dari orang tua dan keluarga kita. Bagi banyak dari kita, kita dibaptis beberapa saat setelah kita dilahirkan. Melalui berbagai kegiatan katekese, seperti sekolah Minggu, pelajaran agama dan Misa Mingguan, kita  menerima pembelajaran dasar agama Kristiani. Saya sendiri punya kenangan indah tentang bagaimana ibu saya mengajarkan saya berdoa rosario, serta ayah saya membawa seluruh keluarga untuk menghadiri Ekaristi setiap hari Minggu. Seperti halnya saya, banyak dari kita menerima iman kita dari orang tua dan Gereja, dan kita menerima iman apa adanya, tanpa merasa perlu untuk mempertanyakannya.
Namun, waktunya akan datang ketika iman kita digoyahkan. Saat kita tumbuh dewasa, kita menjadi lebih kritis dan menyadari bahwa banyak hal dalam iman kita benar-benar melampaui akal budi kita. Bagaimana mungkin ada tiga pribadi dalam satu Allah? Kenapa Yesus bisa menjadi sungguh Allah dan sungguh manusia? Untuk memperkeruh keadaan ini, beberapa orang mungkin melemparkan argumen kritis pada validitas ajaran Gereja yang kita yakini. Kebingungan kemudian ditambahkan dengan berbagai masalah moral dan sosial yang melibatkan anggota Gereja. Apakah kejam untuk tidak mengijinkan perceraian sebagai solusi dari pernikahan yang tidak bahagia? Mengapa agama tampaknya  menjadi sumber kekerasan dan terorisme? Bagaimana dengan pasangan homoseksual yang saling mencintai, mengapa mereka tidak bisa menikah di Gereja?
Namun, jika kita kembali membaca dengan seksama Injil kita hari ini, murid-murid itu tidak hanya mempertanyakan hal-hal sepele. Mereka tidak mengeluh karena mereka tidak memiliki sesuatu untuk dimakan, mereka sudah lelah berjalan dengan Yesus, atau mereka ketakutan oleh lawan-lawan Yesus. Mereka sekarang mempertanyakan kata-kata dan otoritas Yesus. Penginjil-penginjil lain menulis juga perselisihan antara para murid, tetapi karena alasan yang sepele, seperti isu posisi (lih Mrk 10: 35), tetapi hanya Yohanes yang menulis situasi ambang batas dalam lingkaran para murid: apakah untuk percaya pada Yesus atau meninggalkan-Nya.
Ketika kita memasuki persimpangan iman dan hidup, kita menjadi satu dengan para murid dalam berseru, “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?” Tapi, apa yang menarik adalah bahwa Yesus tidak memanjakan mereka, dengan mengatakan, Jangan pergi! Aku butuh kalian!” atau Ayolah, kita bisa berkompromi.Tidak! Jawaban Yesus kepada mereka adalah tegas, bahkan memprovokasi, Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Saya percaya bahwa perlakuan yang sama akan diberikan juga kepada kita. Di tengah tantangan dan pergulatan iman, Dia tidak akan memanjakan kita. Dia, pada kenyataannya, menantang kita untuk pergi dari-Nya.
Namun, cara Yesus adalah yang terbaik. Kita perlu terjun memasuki angin puting peliung kebingungan, dan berjuang untuk menemukan cahaya yang benar dan sejati. Kita bukanlah bayi lagi yang menerima dan menelan semua yang disodorkan kepada kita. Kita adalah orang-orang Kristiani dewasa yang terus mencari, bergulat dan akhirnya merangkul iman kita. Tidak salah jika Rm. Timothy Radcliffe, OP berpendapat bahwa kita perlu hilang dan tersesat, agar kita dapat ditemukan lagi, penuh dengan hidup dan vitalitas.
Sungguh, tantangan Yesus yang berat telah melahirkan murid-murid yang berani namun rendah hati di berbagai zaman. Para Bapa Gereja menyumbangkan tulisan-tulisan terbaik tentang iman ketika mereka dihadapkan oleh ajaran-ajaran sesat yang rumit. St. Justinus (ca.165 AD) membela imannya dihadapan pemikir-pemikir filosofis terbaik pada masanya, tidak hanya melalui tulisan-tulisannya tetapi juga darahnya. BundaTeresa dari Kalkuta, harus menanggung kegelapan jiwa selama 10 tahun, namun bukannya menyerah dalam pelayanan, dia bahkan terus melayani orang miskin dengan penuh semangat.
Saat Yesus menantang kita, Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Semoga kita, dengan iman yang diperbarui dan ditemukan kembali, bergabung dalam satu suara Santo Petrus, Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal.”


Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

No comments:

Post a Comment